14 Juni 2012

hasrat

gerakan secara perlahan telah kucobakan
kalimat-kalimat secara perlahan pula kucoba lantunkan
dan bersujudpun menjadi lebih lama dari biasanya
tapi mengapa tak menjadikanku lebih tenang

duduk bersila dengan telapak tangan menyatu menengadah
mulutku menggumam seraya memejamkan mata
memohon keharibaanMu dengan berbekal sepenuh harap
tapi mengapa tak menjadikanku lebih tenang

mengapa mata ini tak lagi sembab
mengapa kerongkongan ini tak lagi tercekat
apa aku kurang bersungguh-sungguh mendekatiMu
apa hiasan dunia lebih menguasaiku

Allah...
aku merindukan anak-anak sungai mengalir hangat dalam pipiku
aku merindukan sesenggukan menghiasi nafasku
aku merindukan ketenangan saat bersamaMu

10 November 2011

catatan perjalanan umrah Ramadhan kami-24

Perpisahan Ini Terasa Berat

Mengingat kesehatan Bapak yang butuh perhatian khusus dan nyaman untuk semuanya maka kami perlu bicarakan kapan sebaiknya waktu yang tepat mengerjakan tawaf wada’. Bagaimanapun mengerjakan tawaf itu butuh tenaga yang tak sedikit meskipun hanya berjalan santai. Yang kami pikirkan jangan sampai setelah tawaf malah dehidrasi dan nggak bisa melanjutkan puasa, sayang kan kalau sampai batal. Untuk itu kami berembug dan mengadakan pertemuan di Grand Zam Zam sekalian buka puasa disana. Dari pembicaraan yang rada-rada alot, hallah..., akhirnya kami sepakat kalau kami semua akan mengerjakan tawaf setelah makan sahur, dengan alasan setelah selesai tawaf masih ada waktu karena belum masuk waktu imsak jadi yang masih ingin minum silahkan minum, mumpung masih ada waktu. Deal kan dengan keputusan ini? Deal!

Usai shalat maghrib kami kembali ke hotel untuk menyempurnakan buka puasa di ruang makan hotel. Waktu yang sangat sedikit ini kami gunakan sebaik-baiknya dan saling mengingatkan kembali rencana yang sudah kami susun sebelum kami berpisah lagi untuk shalat isya’ dan tarawih. Intinya kami akan berangkat bersama-sama setelah makan sahur di hotel.

Tarawih malam ini ternyata lebih lama dari tarawih sebelumnya karena malam ini ternyata malam kataman tarawih. Sebelumnya kami tak tahu kalau malam ini malam terakhir tarawih bahkan menurut kami kataman masih besok tanggal 29 dan kami tak bisa ikut kataman. Wah, ternyata perkiraan kami meleset. Di rakaat kedua setelah imam membaca surat, imam melanjutkan dengan doa yang sangat panjang, kamipun serempak mengaminkannya. Ada kurang lebih satu jam kami berdiri mengaminkan doanya. Kami berusaha tetap berdiri dan berusaha tak bergerak walau kaki sudah pegal dan telapak kaki rasanya sudah menebal dan panas. Untung saja kami tadi telah sepakat kalau kami akan mengerjakan tawaf wada’ usai makan sahur, kalau saja tadi kesepakatannya setelah tarawih... waduh, tak bisa membayangkan bakal seperti apa capeknya malam ini nanti.

Rencananya setelah tarawih kami akan langsung kembali ke hotel, mengemas perbekalan yang sudah tak dipakai lagi dan istirahat. Tapi begitu sampai di jalan dan melihat begitu ramai suasananya kamipun mengurungkan niat. Ini suasana paling padat dari sepanjang malam yang pernah kami lihat dan pemandangan seperti ini tak akan bisa kami nikmati lagi karena besok kami sudah harus meninggalkan Mekah, mungkin malam tarawih akan kami lalui di bandara Jedah atau mungkin kami sudah didalam pesawat. Beberapa saat kami berdiri di pinggir jalan sambil mengamati seluruh penjuru yang mampu kami lihat. Tak ingin melewatkan suasanya maka langsung kuambil camera yang selalu ada di tas lalu kubidikkan beberapa kali. Malam ini akan jadi kenangan yang indah dan akan jadi salah satu ceritaku nanti saat sampai di tanah air.

Rasanya baru saja kami menapakkan kaki ke masjidil haram untuk mengerjakan rukun, wajib dan sunah umrah, duduk berlama-lama di masjid sambil menunggu waktu dhuha seraya jari ini terus membalik lembar demi lembar kalam Ilahi dan sesekali membasahi wajah dengan zam zam agar kantuk lenyap terganti kesegaran. Rasanya baru saja kami mengantri berdesak-desakan di keran yang berjejer di tempat-tempat tertentu di dalam masjid untuk sebotol zam zam dan rasanya juga baru saja mengantarkan bungsuku memegang ka’bah, ke multazam dan ke hajar aswad lalu shalat di hijir ismail dan di belakang makam ibrahim. Ternyata hari yang kami lalui berjalan amatlah cepat, tak terasa beberapa saat lagi kami sudah harus meninggalkan tanah haram. Kami harus segera mengemasi barang-barang perbekalan untuk dipak dan dibawa kembali ke tanah air. Sekarang tinggal menunggu waktu mengerjakan tawaf wada’ sebagai perpisahan dengan ka’bah dan masjidil haram.

Usai makan sahur kami langsung berangkat ke masjidil haram, kali ini tanpa Bapak karena Bapak sudah mengerjakan tawaf wada’nya semalam saat kami sedang tarawih. Itulah Bapakku, yang merasa sehat padahal kami mengkhawatirkan kondisinya. Obatnya juga jarang diminum, kalau kami ingatkan kenapa nggak minum obatnya, dijawabnya besok saja didobel. Kemaki kan? Merasa sehat wal’afiat padahal harus konsumsi obat tiap hari. Ini yang kadang bikin yang lain getem-getem apalagi kalau melihat pola makannya yang nggak ada kata diet. Tapi Alhamdulillah, nyatanya tawaf wada’ bisa dikerjakannya dengan baik dan Bapak masih dalam keadaan sehat. Alhamdulillah.

Kami telah berada di masjidil haram, berjalan menuju pelataran dan berusaha lebih mendekat ke ka’bah. Kupandangi terus dari atas ke bawah seakan tak mau lepas pandangan ini sambil kaki terus melangkah pelan menuju hajar aswad sebagai start tawaf wada’ku. Akhirnya sampai juga saatnya berpisah dengan Baitullah, perasaan sedih, haru dan penuh harap bercampur jadi satu. Betapa nikmatnya berada dekat-dekat denganmu, memandangmu, berjalan mengelilingimu, apalagi kalau saat ini aku mampu menyentuhmu, mendekatkan pipi ini dan bisa menciummu serta dapat berlama-lama memanjatkan do’a disekitarmu. Akankah dapat kunikmati lagi dan sedekat ini lagi denganmu dilain waktu? Disetiap langkahku, aku larut dalam doa dan disetiap satu putaran selesai.. perasaan sedih makin terasa, semakin dekat saja perpisahan ini hingga tak terbendung lagi air mataku. Yah... karena begitu puaran ke tujuh selesai, begitulah aku akan segera meninggalkanmu, berjalan membelakangimu tanpa menengok lagi ke arahmu dan setelah itu aku hanya dapat melihat gambarmu di album fotoku, di televisi, di gambar-gambar yang terpajang didinding sebagai hiasan dan juga di sajadahku. Kapankah sampai waktuku mengunjungimu lagi setelah kepulanganku ke tanah air? Ku berharap secepatnya dapat kembali kesini, berada dekat-dekat denganmu lagi, memandangmu lagi dan berjalan mengelilimu, aku akan berusaha lagi mendekatkan pipiku dan berusaha lagi menciummu serta berlama-lama memanjatkan do’a di sekitarmu. Ya Allah, penuhilah harapanku ini, perjalankanlah aku beserta seluruh keluargaku untuk kembali datang ke rumah-Mu secepatnya baik untuk berhaji maupun umrah. Amin Allahumma Amin.

5 November 2011

Tragedi Mina 8 Dzulhijjah 1417 H

Masih terekam dalam ingatanku, tentang peristiwa terbakarnya tenda-tenda jamaah haji di Mina bertahun-tahun silam, tepatnya tanggal 8 Dzulhijjah 1417 H atau 15 April 1997. Bukan karena aku mengoleksi lembar beritanya di koran atau punya rekaman videonya dari televisi, tapi karena aku turut mengalaminya waktu itu, karena aku turut dalam kepanikan bersama ribuan jamaah, ah... bukan ribuan, mungkin puluhan ribu atau mungkin ratusan ribu manusia yang berusaha menyelamatkan diri dari amukan si jago merah. Dada ini berdegup kencang, berlomba antara takut dan ingin menyelamatkan ihram kami, antara tangis dan segala harap, entah mana yang lebih dominan kala itu. Apakah semua seirama? Saling melengkapi?

Hari telah menjelang dhuhur waktu itu, kami serombongan dengan bendera jamaah haji dan umrah Hidayatullah dari Bontang dan Balikpapan telah sampai di Mina lebih awal dari jamaah kebanyakan karena kami mengambil napak tilas Rasulullah sebelum berangkat ke Arafah. Kami datang dengan mengendarai bus hingga kami diturunkan tepat disamping blok tenda kami. Kami menempati salah satu tenda yang lumayan besar yang disediakan pemerintah Arab Saudi di salah satu blok untuk Indonesia, cukup untuk seluruh rombongan jamaah kami. Ada papan nama diatas pintu gerbang masuknya menunjukkan peruntukan tenda yang ada, rencananya tenda ini akan kami tempati selama kami berada di Mina. Makanya saat kami sudah diperbolehkan mengatur barang bawaan ke dalam tenda, aku dan suami segera mengambil tempat di sudut dengan maksud supaya tak banyak dilewati orang yang lalu lalang. Kami atur sedemikian rupa tikar dan tas perbekalan selama di Mina sebagai pembatas bahwa inilah wilayah kami untuk tidur malam ini nanti. Semua jamaahpun melakukan hal yang sama. Sejauh mata memandang, yang terlihat hanyalah hamparan tenda putih berbaris-baris, entah ada berapa banyak jumlahnya dan semuanya berukuran besar tapi keadaannya masih banyak yang kosong karena memang jamaah lebih banyak masih berada di Mekah dan baru akan berangkat esok hari langsung menuju Arafah untuk wukuf. Malah dari sepenglihatan dan sepengetahuanku, dari blok dimana tenda kami berdiri, baru rombongan kamilah yang datang ke Mina.

Walaupun pemerintah Arab Saudi telah menyediakan tenda-tenda yang begitu banyaknya dan tertata rapi untuk setiap negara dan daerah asalnya, ternyata masih ada saja tenda-tenda terpancang di perbukitan, entah siapa penghuninya. Dengar-dengar katanya tenda-tenda yang ada dibukit itu dari jamaah yang datangnya sendiri-sendiri, maksudnya mereka bukan rombongan atau yang terorganisir seperti kami. Wah, tentunya butuh perjuangan yang sangat berat untuk melalui semuanya sendiri apalagi letaknya yang sulit dijangkau, pasti susah sekali mobilisasinya. Mungkin saja mereka penduduk setempat atau penduduk sekitar. Katanya sih keadaan seperti itu biasa saja, setiap tahun haji datang pasti ada saja yang mendirikan tenda di perbukitan.

Waktu semakin mendekati adzan dhuhur, kami segera diminta untuk mengambil wudhu dan akan melakukan shalat dhuhur berjamaah. Aku dan beberapa teman segera mencari air untuk wudhu. Entah kenapa kami waktu itu tak mengambil wudhu di kamar mandi yang disediakan pemerintah Arab Saudi, padahal jumlahnya cukup banyak. Apa karena airnya tidak mengalir ya? Ah... tak tahulah, lupa keadaannya waktu itu, yang jelas kami keluar dari blok tenda kami menuju blok lainnya dan mengambil wudhu. Itupun kami mengambil wudhunya dari seember air yang kami gayungkan. Masih ingat percakapan kami waktu kami wudhu bersama. Saat itu teman kami namanya Yuri mengomentari salah satu dari kami cara berwudhunya karena mengambil wudhu langsung dari ember.

“Nggak begitu caranya wudhu, kalau begitu kan airnya netes lagi ke ember” sambil dia mempraktekkan mengambil air dengan gayung lalu mengucurkannya dan yang lain mulai berwudhu.

Saat kami sedang dalam antrian wudhu, kulihat dari salah satu bukit yang ada di Mina, ada asap hitam mengepul dari arah balik bukit itu. Kalau bukit yang jaraknya begitu jauh dari kami berdiri saat ini, asapnya bisa terlihat dengan jelas, pasti ada apa-apa dibalik sana. Iya, sepertinya ada kebakaran dibalik bukit itu. Spontan terucap dari bibir ini “Kasihannya mereka, bagaimana keadaannya ya? Semoga mereka selamat”. Yah, sebatas itu saja yang kami lakukan, tak mungkin kami menaiki bukit yang jauh dan menolongnya. Lalu kami menyelesaikan wudhu, semua telah mendapatkan wudhunya sekarang. Kami segera kembali ke tenda bersiap-siap shalat dhuhur berjamaah karena adzan baru saja dikumandangkan dari tenda kami. Tapi baru saja kami masuk dan belum juga siap apa-apanya, tiba-tiba kami dikejutkan dengan suara dari luar gerbang blok tenda kami. Kami semua diminta keluar tenda secepatnya karena kebakaran sudah dekat dengan tempat kami. Ya Allah! Apa yang akan terjadi dengan kami semua, baru saja kami masuk tenda, baru saja kami lihat kepulan asapnya masih di balik bukit yang jaraknya sangat jauh dari tenda kami, sekarang sudah dekat dengan tenda kami. Kami akan mengungsi kemana? Disekitar kami hanyalah tenda-tenda kain yang kering, sebentar saja pasti terlalap api semuanya dan kami akan dikelillingi api. Api yang tinggi dan berkobar diiringi kepulan asap hitam yang akan menyesakkan pernafasan kami, bahkan mungkin bisa membakar paru-paru kami. Duh Gusti Allah..., kumohon pertolongamu, lindungilah kami semua dari cobaan ini. Kami semua panik, bingung, keluar-masuk tenda. Lalu kami dengar lagi teriakan “Selamatkan diri, tidak usah membawa apa-apa, apinya sudah dekat, tinggalkan saja barang-barangnya”. Kami semakin panik, sedekat apa sih api yang berkobar saat ini sampai kami tak diijinkan membawa barang-barang kami padahal perbekalan untuk wukuf dan selama di Mina ada disini semua.

Untuk membawanya sendiri jelas aku tak mampu karena tas tentengan ini berat jika membawanya harus sambil berlari, jelas-jelas aku tak kuat membawanya sendiri. Untuk mengurangi beratnya juga tak memungkinkan lagi karena kami memang harus secepatnya meninggalkan tenda. Yah... kalau memang harus ditinggal, ya apa boleh buat, diikhlaskan saja. Tapi tidak, suamiku bersikukuh membawanya, dua tas perbekalan harus dibawanya sedang yang lain boleh ditinggal. Ini bekal kami selama di Mina, harus dibawa yang lainnya bolehlah ditinggal. Satu tas ditentengnya di tangan satunya sedang tas lainnya kami tenteng berdua. Sambil berjalan cepat kami menenteng tas perbekalan keluar tenda.

Kami telah berada dijalur beraspal dimana kami diturunkan pertama kali sampai di perkemahan. Begitu banyak jamaah dalam kepanikan, berjalan ke kanan, kekiri, berlari-lari tak tahu arah yang dituju. Semua panik tak tahu harus kemana, semua bingung tak tahu harus menghubungi siapa. Tak ada alat komunikasi, hand phone waktu itu masih langka. Seingatku, dari kami serombongan hanya satu orang yang mempunyai hand phone saat itu, Pak Harry Sulistyadi yang selalu mengabarkan keadaan kami ke teman-teman di tanah air. Tapi kami tak tahu sekarang ini beliau ada dimana, kami benar-benar tak tahu apa yang harus kami kerjakan. Mengikuti arus kekiri ternyata salah, setelah diikuti ternyata dari arah berlawanan orang-orang berlarian dan berteriak jangan kesini, apinya sedang mengarah kemari, kamipun berbalik arah. Suara dentuman berkali-kali terdengar dari arah yang berbeda-beda. Salah satu sumber menyebutkan itu suara tabung gas yang meledak, api cepat menyebar karena tabung gas yang satu eledak mengakibatkan tabung gas yang lain meledak juga terkena imbasnya, meledak bergantianlah tabung-tabung yang dibawa penduduk untuk keperluan selama di Mina, api cepat sekali menjalar. Apa yang bisa kami lakukan sekarang?

Ya Allah, akan sampai kapan keadaan ini berlangsung dan apakah kami akan selamat dari kobaran api? Ya Allah, kami pasrah padamu, disekeliling kami... tenda-tenda dari berbagai arah telah terbakar, kami tak tahu lagi harus menyelamatkan diri kearah mana, segala penjuru telah terkepung api, kami tak bisa bergerak. Lalu aku dan suami duduk dipinggir jalan, dibatas jalan. Memperhatikan orang-orang yang panik dan lalu lalang, aku juga panik dan ketakutan tapi ikutan berlari-lari dan mondar-mandir tak tentu arah sangat menghabiskan tenaga karena kami tak tahu harus kemana. Baru ingat kalau kami tadi keluar tenda belum shalat dhuhur tapi kami akan shalat dimana. Situasi tak mengijinkan untuk shalat dengan sikap sempurna karena kami harus waspada dengan keadaan sekitar, jangan sampai kami malah tertabrak saat sedang mengerjakan shalat. Maka kami putuskan untuk shalat dengan posisi duduk seperti posisi shalat di kendaraan. Kami kerjakan dengan gerakan isyarat untuk semua gerakan shalatnya. Semoga Allah memaklumi keadaan shalat kami. Akhirnya usai sudah shalat kami walau dalam keadaan tertekan, kepanikan, dan ketakutan. Baru tersadar setelah mengucap salam, ternyata saat kami duduk dan mengerjakan shalat, kami duduk disebelah bangunan yang didalamnya ternyata travo yang sangat besar. Ya Allah, kalau saja tadi saat kami sedang shalat terjadi apa-apa dengan alat disebelah kami ini, entah apa yang terjadi dengan kami. Puji syukur kami panjatkan hanya pada-Mu ya Allah, Engkau masih menyelamatkan kami. Kami lalu beranjak menjauh dari peralatan listrik yang super besar itu.

Tiba-tiba jamaah berlarian sambil berteriak “Api... api...!” semua berlarian sekencang-kencangnya, kocar-kacir, aku dan suami juga. Kali ini aku dan suami menuju ke arah kanan, menuju tempat yang lebih tinggi kearah bukit, tapi kami harus melewati tenda-tenda, yah... mau gimana lagi , ini jalan satu-satunya menuju bukit. Padahal bila tenda ini satu terkena percikan api sedikit saja, ludeslah semuanya dan kami masih di dalamnya. Kami harus secepatnya menghindari tenda-tenda ini. Kami terus merangsek kedalam dan... ternyata buntu. Kami terjebak di diantara tenda-tenda, ternyata jalan yang kami tempuh bukan jalan umum, ini jalan pembatas antar tenda. Ya Allah..., api semakin dekat, selamatkan kami ya Allah....

Kami semakin panik, api semakin dekat, keringat mengucur semakin deras, jantung berdegup semakin kencang, nafas terengah-engah ketakutan, sambil bibir ini terus berdzikir, berucap pasrah penuh permohonan. Kalaulah sampai waktuku hari ini, matikanlah kami dalam khusnul khotimah ya Allah.... Suara takbir begitu riuh dari segala penjuru penuh kepasrahan. Kami tetap akan berusaha menyelamatkan diri tapi kami juga pasrah atas kehendak-Mu.

Suami terus mendobrak pembatas, yang lain ikutan membantu. Kami berlomba cepat-cepatan dengan api. Hayuk... duluan siapa sampainya. Tak mudah membuka pembatas sengnya, selain hanya menggunakan tangan kosong dan kaki, tentunya takut terluka terkena ujung seng atau paku yang terkuak tak sempurna. Buah dari hasil kerja keras dan pantang menyerahpun terlihat. Kini kami bisa melewatinya satu persatu, harus cepat melewatinya karena antriannya panjang. Semoga saja semua bisa selamat melewati pembatas yang sudah terbuka ini.

Tak sampai disini, kami harus menaiki bukit yang lumayan tinggi dengan berbagai rintangan. Batu besar menghalani perjalanan kami, kami harus menaikinya dengan susah payah dan yang lebih beratnya lagi karena kami masih membawa dua tas perbekalan yang lumayan berat.

“Ditinggal saja Pa tasnya!” kataku pasrah karena melihat suami yang kesulitan antara menyelamatkan diri dan menyelamatkan perbekalan sehingga jalannya kepayahan.

“Enggak, Insya Allah masih kuat” katanya penuh keyakinan.

Kami terus mendaki setinggi-tingginya, menghindari api sampai kami melihat tak ada sesuatu yang bisa memicu kebakaran disekeliling kami. Barulah setelah merasa aman kami berhenti. Tak tahu siapa saja yang ikut dengan kami, apakah akhirnya mereka menghentikan langkah apa malah meneruskan naik lebih tinggi lagi. Yang jelas setelah aku dan suami duduk, kami bertemu mbak Indri dan pak Mursito, teman satu biro perjalanan dan satu perusahaan. Dari atas bukit kami melihat sebegitu banyaknya tenda-tenda telah habis terbakar, termasuk tenda kami. Entah ada berapa orang yang terluka atau menjadi korban kebakaran dan entah nanti kami akan tidur dimana malam ini.

Matahari sudah mulai condong ke barat, apinya sudah padam, kebakaran sudah bisa diatasi. Setelah benar-benar merasa aman, kamipun turun dari bukit. Tak terkira tingginya bukit yang kami panjat, kok bisa-bisanya kami mendaki secepat itu. Yang lebih mengherankan lagi saat kami berpapasan dengan teman kami yang sudah tua dan berbadan sangat gemuk. Untuk jalan saja beliaunya kepayahan, lha ini kok bisa naik bukit yang begitu terjal dan sulit didaki. Tak bisa membayangkan bagaimana caranya naik. Subhanallah, Alhamdulillah... Inilah pertolongan Allah yang diberikan pada kami semua.

Kami telah sampai di bawah, tenda kami sudah tak ada. Dinas kebersihan bekerja keras membersihkan supaya bisa segera dipasang lagi tenda-tenda penggantinya. Tapi ini butuh waktu yang tak sebentar karena area yang terbakar sangat luas. Intinya malam ini kami tak punya tempat untuk tidur. Tak mungkin kami menempati tenda milik jamaah lain karena mereka akan memakainya nanti setelah dari Arafah dan kami juga tak diijinkan menempatinya. Terpaksalah malam ini kami tidur dijalanan. Tetap saja harus bersyukur, ternyata masih ada alas untuk kami tidur walau hanya tikar-tikar tipis. Inilah ujian ihram kami, apakah kami mampu melaluinya dengan sabar dan berjiwa besar karena dalam keadaan seperti ini tingkat emosi biasanya meninggi. Yah, jangan sampai kami bersitegang dengan sesama jamaah. Ya Allah, kami berlindung kepada-Mu jagalah ihram kami. Penuhilah hati kami untuk selalu berdzikir, sabar, pasrah kepada-Mu. Amin ya Rabbal ‘alamin.

3 November 2011

catatan perjalanan umroh Ramadhan kami-23

Begitu nikmatnya malam ini

Malam dua tujuh Ramadhannya sudah lewat, doa panjang di malam tahajudnya tak sempat kunikmati karena mata ini terasa lebih berat dan tak juga cepat bisa dibuka yang akibatnya Ibu berangkat sendiri karena aku tak juga segera membuka selimut. Sebenarnya sudah diusahakan niat bangun dari sebelum tidur tapi kok ya nggak mempan juga, sudah diusahakan membuka mata saat Ibu mengajak mau ikutan nggak tahajut... kok susah sekali membukanya, kepala kok berat diangkat dan posisi yang paling nyaman itu kok ya tiduran sambil memejamkan mata, jadi paslah kalau mata ini akhirnya tak juga bisa dibuka. Lagi-lagi menyalahkan obat batuk pilek yang diberi Atik, dia yang jadi kambing hitamnya, dia yang jadi terdakwanya. Eh salah, bukan obatnya yang salah tapi yang memberi obat jadi ini semua gara-gara Atik, dialah yang jadi terdakwanya, obatnya bikin pada nggak bisa bangun. Dan Atik lagi-lagi juga mengelak dan menyalahkan yang ngasih resepnya, katanya dia kan cuma nurut apa kata pak dokternya. Benar... benar... sekarang ayo kita salahkan pak dokternya, dia yang kasih resepnya, gara-gara dia kita-kita nggak ikutan tahajut dan nggak sempat ikut do’a malam terakhirnya. Nanti kalau kita pulang mari kita salahkan pak dokternya. Pokoknya ini semua akibat dia ngasih resep yang bikin ngantuk, apa nggak ada resep obat yang nggak bikin ngantuk. Ah... Rasanya aksi mencari kambing hitam itu enak sekali ya, hehehehe... bukannya berterima kasih sudah dibantu diringankan sakitnya malah protes. Malas bangun saja pakai seribu alasan, berasa nggak bersalah dan nggak menyesal lagi nggak ikutan tahajud tapi benar kok ini semua gara-gara obatnya, hi hi hi hi.... masih berusaha ngeles.

Beberapa kali Ibu bercerita suasana malam dua tujuh, beberapa kali itu pula ada rasa kosong dan ada rasa terlewatkan, yah... waktu tak bisa diulang. Tapi beberapa kali pula Ibu menghibur kami, masih ada kesempatan ikut do’a, nanti pas malam terakhir tarawih ada doa kataman tarawih, cuma kapan tarawih terakhirnya kami-kami belum tahu. Kalau menurut waktu di tanah air, lebaran versi Muhammadiyah tanggal 30 Agustus 2011 sedang pemerintah tanggal 1. Nah lhoh Mekah ikutan yang mana ya? Kalau hitung-hitungan sisa surat qur’an yang belum dibaca masih panjang, jangan-jangan katamannya atau tarawih terakhirnya tanggal 29 Agustus, wah berarti tak ada kesempatan lagi mengikuti doanya karena kami tanggal 29 sudah meninggalkan Mekah menuju Jedah. Yah, apa memang harus diulang lagi perjalan umrahnya tahun depan?

Malam ini tanggal 28 Agustus 2011 kami sudah berada di Grand zam zam untuk sholat tarawaih, suasana disini sudah benar-benar ribut saking banyaknya yang datang. Ini sudah terjadi sejak dua harian yang lalu. Ini sepertinya penduduk setempat yang sudah mulai keluar rumah. Beberapa membawa anggota keluarga, yang remaja, anak-anak bahkan bayi-bayipun dibawanya serta. Diletakkan di stroller sementara ibunya shalat disampingnya. Yang bikin gaduh jika yang kanak-kanak ribut main atau menangis entah apa yang dimauinya. Belum lagi mesin pembersih lantai yang dijalankan saat jamaah sedang melaksanakan shalat, wah benar-benar mengganggu konsentrasi shalat. Bagaimana bisa mendengarkan bacaan surat imam masjid dengan jelas kalau mesin pembersih ada disamping dengan bunyinya yang super bising. Ditambah lagi polisi-polisi yang bicara keras-keras malah bisa dibilang teriak-teriak karena bicaranya dalam jarak berjauhan. Haiyah... ini gimana toh ya... ya..., mbok ya mbersihinnya nanti setelah shalat selesai atau pak polisinya kalau ngomong mbok dipelankan suaranya supaya yang lagi shalat bisa tenang mengerjakannya.

Tarawih masjidil haram mengambil dua puluh rakaat sedang witirnya bisa dikerjakan sendiri atau nanti setelah tahajut berjamaah. Untuk tarawihnya tiap dua rakaat salam, kadang menghitungnya bisa pas kadang suka kacau padahal sudah menandai dengan menggeser atau menekuk jari-jari untuk menghitung ini sudah rakaat yang keberapa ya, hehehhe... Tapi ya namanya lupa, akhirnya nggak tahu dan ngikut saja sama imam. Saat imam sudah membaca juz ‘amma berarti ini sudah tarawih terakhir bersiap-siaplah mendengarkan doa dari imam dan mengaminkannya. Saat dirakaat kedua dibaca surat-surat pendek dilanjutkan dengan doa, Qur’an yang tadi kubaca untuk menyimak bacaan imam kini kudekap lalu kuaminkan doa yang dibaca imam. Menit demi menit berlalu, imam membaca doa dengan lantang dan jamaah dengan riuh serempak mengaminkannya. Isak tangis terdengar dari berbagai penjuru jamaah, semua larut dalam doa yang dibacanya. Beberapa kali imam terhenti membaca karena sesenggukan yang tak bisa dihindarinya. Berlinangan air mata kesedihan meninggalkan ramadhan dan entah apakah akan sampai waktu menjumpainya lagi. Berlinangan air mata karena merasa kurang apa yang kami usahakan dalam mengisi ramadhan. Berlinangan air mata memohonkan kebaikan untuk semua umat. Semua doa yang ada di qur’an keluar dalam doa malam ini. Begitu indah doa yang terpanjat malam ini dan kami mengaminkannya.

Kaki ini begitu pegal, tumit ini sudah panas, lutut rasanya sudah tak bisa digerakkan lagi bahkan untuk menggeser sedikit saja. Tapi kucoba tetap bertahan dalam posisiku, yang teringat hanyalah bagaimana rasanya Rosulullah berdiri dalam shalat hingga kakinya bengkak. Ya Allah aku belum ada apa-apanya, ini baru beberapa menit saja sedang Rosulullah berdiri sepanjang malam. Ya Allah kuatkanlah kakiku menyangga badanku ini hingga ruku’ tiba nanti. Catatlah dalam kebaikan amal ibadahku malam ini. Mungkin ada satu jam kami berdiri dalam doa ditambah lagi bacaan surat waktu rakaat ke dua tadi. Ya Allah, baru sekali-sekalinya ini aku berdiri dalam shalat yang begitu lama hingga tumit terasa panas dan tebal, hingga lutut menjadi kaku tak bisa digerakkan, hingga raga ini seakan terasa melayang tak menyentuh lantai karena telapak kaki terasa tebal dan berat.

Hingga kemudian “Allahu Akbar”, imam memimpin ruku’. Kami mengikuti gerakan ruku’. Apa yang terjadi? Haduuh! Urat-urat lutut bagian belakang ini rasanya mau putus, sakiit... sekali. Harus pelan-pelan mengerakkannya, begitupun gerakan i’didal dan sujud, sekujur tubuh rasanya sakit semua. Sampai kemudian dibacanya salam tanda usai sudah tarawih malam ini. Yah, selesai sudah tarawih sebulan ini, inilah puncak dari semua tarawih yang pernah kualami dengan bacaan surat-suratnya yang panjang dan doa yang juga begitu panjang, betapa nikmatnya melalui semua ini. Kini tinggal puasa sehari lagi yaitu besok kemudian lebaran. Ah... kapan lagi akan kurasakan kenikmatan malam kataman tarawih di masjidil haram seperti malam ini, tahun depankah? Semoga Engkau perkenankan kami menjalani ramadhan disii lagi tahun depan. Amin Allahumma Amin.

29 Oktober 2011

Pelajaran Dari Kandang Sapi

Ini obrolanku dengan jagoanku Mirza saat kami sekeluarga berlibur kerumah orang tua suami. Saat itu aku dan dia sedang berada diluar kandang sapi. Karena orang tua suami punya usaha jagal sapi jadi harus punya stok sapi dikandang.

“Mama, kenapa sih kandangnya bau sekali?”

“karena banyak kotoran sapinya”

“Kok kotorannya nggak dibersihkan?”

“Nanti juga dibersihkan, mungkin pak tukangnya masih menyelesaikan pekerjaan lainnya”

“Tapi ini kan sudah banyak kotorannya, itu malah ada yang ditidurin sama sapinya. Ih jorok ya Ma?”

“Iya jorok, tapi pak tukangnya kan nggak tahu kapan sapinya mau buang kotoran, pekerjaannya kan nggak hanya bersihkan kotoran. Jadi dia punya jadwal kapan harus bersihkan kandangnya”

“Sapinya kok mau-maunya tiduran di kotorannya ya Ma?”

“Namanya juga hewan, punya otak tapi nggak diberi akal sama Allah jadi nggak tahu itu bersih atau kotor. Makanya jadi manusia itu harus bisa jaga kebersihan karena manusia itu selain diberi otak juga diberi akal oleh Allah supaya bisa berpikir dan bisa membedakan mana yang baik mana yang buruk. Nah, kalau seandainya manusia nggak menggunakan akalnya, terus gimana dong kalau seperti sapi itu”

“Ih, jorok ih... nggak mau ah. Masak mau tiduran sama kotoran”

Aku tersenyum mendengar jawabannya, ternyata dari obrolan kami yang semula dia cuma menanyakan masalah “Kandang sapinya yang bau” bisa kuselipkan satu pelajaran tentang Allah yang meberikan akal, gunanya akal untuk berpikir supaya bisa membedakan baik dan buruk serta harus hidup bersih.

Info lomba

Bunda pasti sering mendapatkan pertanyaan dari buah hati baik itu tentang, ibadah, keluarga, sex, tentang alam, tentang tuhan dan tentang apa saja.tulis pertanyaan buah hati yang disertai jawaban dari bunda tentunya.

1.posting cerita di blog http://seuntaikatahati.blogspot.com/2011/09/lomba-1001-pertanyaan-anak.html minimal 150 kata boleh lebih.(sekitar 1 halaman )

2. bila gak punya blog, tulis cerita di notes beserta info lomba di fb masing-masing dengan mentag teman-teman sebanyak2nya beserta fb kontributor naskah parenting .

3. boleh kirim lebih dari satu cerita. akan dipilih 200 kisah utk dibukukan. jadi kemungkinan gak lolos kecil...

akan diseleksi 6 orang pemenang 3 pemenang utama akan mendapatkan reward uang tunai masing2 @100 ribu3 orang pemenang hiburan masing2 akan mendapatkan paket cantik ditunggu sampe akhir nop 2011 yah.

pengumuman awal tahun baru 2012 Insya allah semua pertanyaan anak akan ditawarkan ke penerbit mayor. namun tidak ada pembagian royalti bagi cerita yg terpilih

25 Oktober 2011

catatan perjalanan umroh Ramadhan kami-22

Malam Dua Tujuhnya Lewat


Setelah beberapa hari mencoba bertahan tak mengkonsumsi obat batuk, pilek dan antibiotik yang ditawarkan Atik, ternyata akhirnya aku harus menyerah juga karena sudah nggak kuat lagi dengan kondisi ingus yang meler tiada henti seperti keran bocor dan kepala yang nyut-nyutan terus-menerus apalagi kalau dipakai rukuk dan sujud, rasanya dari dahi, mata sampai tulang pipi mau copot saja. Kalau orang jawa bilangnya “Cumleng”. Bukan kok menyepelekan sakit atau tak percaya sama obat yang dia berikan, ini karena ada sebab lain. Takut maagku belum kuat kena obat, beberap hari sebelum berangkat umroh sempat sampai limbung gara-gara kebanyakan obat. Yang dirasa adalah mual dan muntah berkepanjangan sampai berhari-hari. Tapi sekarang terpaksa harus mengesampingkan rasa takut itu karena memang aku benar-benar sudah nggak tahan lagi dengan flu yang menyerangku. Tadinya mencoba tetap bertahan dengan hanya mengkonsumsi vitaminnya saja sambil makan dan minum yang banyak dengan harapan bisa mengurangi flu dan berangsur-angsur sembuh sendiri tanpa obat, ternyata yang kulakukan tak membuahkan hasil malah semakin parah. Ya bagaimana lagi dalam kondisi puasa tentunya makan dan minumnya terbatas saat sahur dan buka puasa saja serta waktu untuk istirahatnya juga tak cukup karena harus bolak-balik ke masjid untuk sholat lima waktu dan berjuang mendapatkan tempat yang menguras tenaga. Walau dalam keadaan tak enak badan, rasanya kok ya sayang melewati hari-hari untuk istirahat saja dikamar apalagi mengingat begitu istimewanya Ramadhan di sepuluh hari terakhir, juga niatan dari awal untuk mengkatamkan qur’an yang tak habis-habis halamannya. Ini juga yang membuatku betah berlama-lama di dalam masjid seusai sholat subuh dan baru balik ke hotel setelah dhuha.

Malam lailatul qadar adanya di sepuluh hari terakhir Ramadhan, aku tahu itu dari beberapa ceramah agama yang pernah kudengar. Adanya di salah satu malam di malam ganjil dan nilainya sama dengan seribu bulan, itu juga yang kudengar. Siapa yang tak menginginkan mendapatkannya? Tentunya semua berharap mendapatkannya ya, tapi untuk mendapatkan lailatul qadar tentunya harus didahului dengan persiapan sejak awal Ramadhan dan selalu ada peningkatan ibadahnya, iya kan? Kalau dari awal sudah malas-malasan, ngaji juga ogah, tarawihnya kadang-kadang saja, sholat malamnya apalagi, bagaimana bisa berharap akan mendapatkan lailatul qadar ya? Ah, semua berhak berharap, makanya setiap datangnya 10 malam terakhir Ramadhan, masjid-masjid banyak yang mengadakan kegiatan i’tikaf bersama-sama di sepertiga terakhir malam. Qiyamul lail, tadarus, dzikir, dan ceramah biasanya menghiasi akhir malamnya.

Masih ingat yang dikatakan Pak Helmy waktu menjemput kami untuk ziarah Mekah, katanya nanti kalau malam dua tujuh, diperkirakan jamaah akan sampai jembatan Mizfalah padahal jaraknya sekitar satu kilo dari masjidil haram. Lalu saat usai tarawih Ibu bilang kalau nanti malam akan ada kataman tahajut. Kenapa aku jadi tulalit ya... yang dikatakan Pak Helmy itu malam dua tujuh sedang ibu bilang nanti malam kataman sedang sekarang ini masih hari Jum’at, tanggalnya 26 Agustus 2011. Yang benar gimana sih menghitungnya? Pas tanggal 26nya apa tanggal 27nya? Ini sepertinya akibat obat yang kuminum ini, kok jadi error gini. Heheheheh...

Jam dua dini hari ibu sudah siap-siap akan berangkat ke masjid untuk sholat lail, aku tahu itu karena aku juga terbangun cuma mataku ini susah melek. Terdengar juga Ibu menanyakan apa mau ikut sholat lail? Mulutku bilang “Nggih” tapi aku malah memperbaiki selimut dan mata tetap saja terpejam. Mungkin karena aku nggak bangun-bangun malah menutupkan selimut sampai ke kepala, Ibu berangkat sendiri dan datang-datang sudah waktunya mau berangkat ke ruang makan untuk sahur. Aku bangun tapi masih tetap mengantuk sekali, ini memang akibat obat batuk, pilek dan antibiotik yang kuminum sebelum tidur. Begini ini akibatnya... mata susah sekali dimelekkan. Terus Ibu bercerita diantara kantukku dan siap-siapku. “Wah, rugi kamu nggak ikut tahajut tadi. Semua yang datang ini mengharapkan doa dari imam masjid, doanya panjang sekali, imamnya sampai nangis, jamaahnya juga nangis. Wes pokoknya senang banget kalau tadi ikut” Ada rasa sesal juga, kenapa bela-belain ngantuk sedang yang lainnya rela berjalan jauh dari penginapan, rela berdiri dalam udara yang dingin, benar-benar kalah tekat dan semangat sama Ibu. Tapi kemudian Ibu bilang “Nanti tarawih terakhir masih ada kesempatan ikut kataman di masjid” Ya Allah, semoga masih bisa menjumpai kataman tarawihnya. Namanya juga perempuan yah, takut ada halangan sehingga tak bisa ikut tarawih terakhirnya.

Kami sudah berada di ruang makan hotel untuk makan sahur bersama keluarga dan jamaah travel. Ada keceriaan menghiasi wajah Ibu dan beberapa orang yang sedang makan sahur bersama. Ah, wajah-wajah ceria ini pasti tadi baru saja selesai mengikuti sholat lail berjamaah dan mendapat kesempatan ikut doa kataman seperti Ibu dan suamiku, pikirku. Ah... aku ngiri sama mereka semua, tapi mau apalagi... waktu tak bisa diulang. Dan sekarang baru sadar kalau di sepertiga terakhir malam tadi, dimana dibacakan doa yang panjang oleh imam masjidil haram, hingga iman dan jamaah yang mengikutinya sesenggukan itu... ternyata sudah masuk tanggal 27. Aih....! Berharap saja kedepannya akan mendapat kesempatan lagi menjumpai Ramadhan dan berkesempatan berada di tanah haram lagi. Ya Allah, penuhilah harapanku berkunjung kembali di rumah-Mu yang agung ini di Ramadhan berikutnya. Amin Allahumma Amin.

23 Oktober 2011

catatan perjalanan umroh Ramadhan kami-21

“Masjidil Haram... Full”


“Umrah di bulan Ramadhan memang beda rasanya dengan umrah dibulan lainnya”, ini kesan dari beberapa jamaah yang pernah melakukan umrah di luar Ramadhan saat aku berbincang dengan mereka. Ya jelas saja beda, karena siang harinya puasa jadi kegiatan jalan-jalannya akan lebih sedikit, lebih baik waktunya dipakai istirahat dan ibadah. Katanya lagi, kalau ada rizki pengen datang lagi ke kesini saat Ramadhan. Iya, aku juga pengen berangkat lagi kalau ada rizki dan ada kesempatan. Tiap kali berdoa, yang terluncur juga salah satunya semoga diberi kesempatan secepatnya bisa datang kesini bersama keluargaku. Kalau bisa sesering mungkin, tak hanya dibulan Ramadhan. Sampai terbayang-bayang betapa nikmatnya menjalani kebersamaan beribadah bersama, berangkat dari penginapan menuju masjid bersama, tawaf bersama, sa’i bersama, i’tikaf bersama, tadarus bersama, ziarah bersama dan tentunya masih banyak lagi yang bisa kami lakukan bersama-sama. Ya Allah, meski saat ini kami masih berada di dalam masjid-Mu, tapi kerinduan untuk bisa beribadah bersama keluargaku disini sungguh sangat jelas terpatri di benakku. Semoga Engkau berkenan memperjalankan kami secepatnya. Amin ya Rabbal ‘alamin.

Semua kegiatan begitu nikmat kami kerjakan walau sebenarnya yang kami kerjakan dari hari ke harinya itu-itu saja, hampir sama. Bangun pagi-pagi sekali untuk sahur bersama keluarga dan jamaah travel di ruang makan hotel dilanjutkan berangkat ke masjid untuk sholat subuh sampai waktu dhuha. Biasanya menunggu waktu dhuha ini kugunakan untuk mengkatamkan qur’an yang sebenarnya halamannya masih banyak sekali yang belum kubaca, pesimis juga sih apakah bisa menyelesaikannya sampai akhir Ramadhan nanti tapi tetap saja kuusahakan membaca ayat demi ayatnya, makanya aku suka berlama-lama di dalam masjid usai subuh. Bila rasa kantuk menyerang akan kubasuh mukaku dengan air zam zam yang selalu siap dibotol dan kusimpan didalam tas, kalau memang benar-benar tak tertahankan kantuknya atau kecapekan sekali aku akan istirahat dan tiduran sebentar diatas sajadahku, mengantri mengambil zam-zam dari keran-keran yang ada di dalam masjid untuk bekal buka puasa. Setelah sholat dhuha kira-kira jam sembilan kami kembali ke hotel dan istirahat. Mandi pagi biasanya nanti saja waktu mau ke masjid untuk sholat dhuhur. Jadi berangkatnya masih segar apalagi kalau diguyur dari kepala, akan mengurangi panasnya matahari saat berangkat. Untuk menghemat tenaga sengaja habis dhuhur kami tak balik hotel tapi nanti saja setelah ashar dan berangkat lagi menjelang buka puasa dan sholat magrib, biasanya ini ke Grand zam zam. Usai maghrib kembali ke hotel untuk menyempurnakan buka puasa dengan nasi, rasanya kalau hanya makan kurma, roti, air zam zam dan kopi arab kok ya nggak afdol. Setelah kenyang kami akan kembali lagi untuk sholat isya berjamaah serta sholat tarawih, ini juga biasanya ke Grand zam zam juga. Begitulah yang kami kerjakan setiap harinya, tapi kok ya nikmat-nikmat saja menjalaninya.

Nah kali ini kami mau berangkat ke masjid, niatnya sih mau sholat jum’at berjamaah di masjid. Ini hari ke enam kami di Mekah, Jum’at 26 Agustus 2011. Kami hanya akan menjumpai sholat Jum’at di Mekah sekali saja karena untuk minggu depan kami sudah balik ke tanah air, makanya kami niat banget berangkat ke masjid. Suami, Bapak dan Uul sudah berangkat lebih dulu mungkin sebelum jam sepuluh. Kupikir karena waktunya masih panjang dan penginapan kami kan dekat saja dengan masjidil haram, kami memutuskan untuk berangkat ya setengah jam lagi, paling lama ya sejam lagi dari mereka berangkat. Lagian aku dan bungsuku juga baru saja masuk kamar, baru saja balik dari masjid. Namanya juga perempuan, mau berangkat ke masjid saja ribet, tapi ini memang penting mengingat diluar panas sekali. Pakai sunblock itu pasti, masker juga, kacamata hitam ndak boleh ketinggalan, sebotol air untuk mengusap muka kalau kepanasan dan untuk jaga-jaga kalau batal wudhu, handuk kecil supaya kalau wudhu tidak mengotori masjid, qur’an, sajadah, juga dompet dengan isinya tentunya. Setelah kami berempat siap kami langsung turun ke lobby hotel dan menyerahkan kunci kamar ke penjaga resepsionis hotel.

Lobby hotel ini tidak luas, di depan pintu masuknya terdapat sofa panjang yang berhadapan yang ditengah-tengahnya ada sela untuk lalu lalang orang keluar masuk hotel, lebarnya kurang lebih 1,5 meter langsung menuju meja resepsionis. Disamping resepsionis ada dua lift dan di depan lift ada ruang seluas kurang lebih tiga meter persegi. Beberapa ibu dan bapak kami lihat masih duduk di sofa mungkin sedang menunggu teman atau familinya untuk berangkat ke masjid bareng-bareng. Kami lalui saja mereka. Beberapa orang duduk di tandakan pas di depan pintu keluar hotel sehingga untuk melewatinya rada-rada susah. Setelah kami berhasil keluar dan berada di jalan gang depan hotel, ternyata sepanjang lorong gang ini telah banyak orang duduk mepet ke dinding padahal kalau diamati sih tempatnya tak layak untuk duduk-duduk. Kenapa juga mereka nggak berangkat-berangkat ke masjid, kan laki-laki itu wajib sholat Jum’at tapi kok malah nggak cepat-cepat mencari tempat di masjid. Kami lalui saja mereka dan terus menuju jalan raya. Wah lalu lintasnya padat banget, semua berjalan menuju masjidil haram. Begitu keluar gang kami langsung berbaur dengan mereka. Jangan dikira gampang melewati jamaah didepan kami, lha untuk melangkah normal saja susahnya bukan main. Kalau orang jawa bilangnya mlaku thimik-thimik, saking melangkahnya kecil-kecil. Kapan sampainya kalau jalannya pelan banget. Ada beberapa meter kami berjalan, makin lama semakin susah malah macet. Sepertinya untuk sampai ke masjid tak bisa lagi karena memang sepertinya kami tak banyak bergerak. Apalagi kemudian kami lihat orang-orang yang badannya besar-besar pada balik arah sambil ngomong entah apa, sepertinya mereka tak bisa maju lagi makanya balik. Kami pikir lha yang orang yang gede-gede saja nggak sanggup nerusin ke masjid apalagi kami yang imut-imut semua. Bisa nggak sampai-sampai dan ketabrak-tabrak mereka yang pada balik arah. Maka kami putuskan kembali ke hotel saja toh sholat di hotel juga masih nyambung shafnya dengan asjidil haram. Kalau melihat ke jam, sebenarnya masih lama masuk waktu sholat Jum’atnya.

Kami masuk lagi ke hotel, ternyata sudah bertambah lagi yang duduk di lobby. Wah buru-buru ngambil tempat duduk sebelum kehabisan tempat. Tak berapa lama beberapa bapak-bapak entah dari negara mana mereka keluar dari lift, dengan pedenya langsung keluar hotel. Aku yakin mereka akan ke masjid, semoga saja mereka bisa berjuang mendapatkan tempat. Amin. Tambah lama tambah banyak juga yang ada di lobby. Daripada nggak kebagian tempat, kami lalu menyusun sajadah membentuk shaf di lobby. Baru saja kami menggelar sajadah, bapak-bapak yang dari negara mana tadi yang barusan keluar hotel dengan pedenya kembali masuk. Tanpa ba bi bu, tanpa permisi, tanpa ngomong apa-apa langsung saja menerobos shaf yang sudah terbentuk dan menginjak sajadah yang baru saja kami gelar. Weit! Nggak sopan. Kemudian entah ngomong apa mereka, intinya kami yang perempuan disuruh mundur, mereka lebih berhak menggunakan shafnya karena bagi laki-laki sholat jum’at itu wajib. “Hajjah! Hajjah!” sambil tangannya menyuruh kami berdiri dan meninggalkan tempat. Terpaksa kami mundur mengambil tempat di belakang padahal lobby ini ukurannya juga tak luas. Kami nyempil-nyempillah menggelar sajadah.

Banyak jamaah yang bukan penghuni hotel ini berusaha masuk mau ikutan sholat disini, tapi karena ruangan sempit dan tak muat lagi petugas hotel segera menyuruh mereka keluar. Ada televisi yang terpajang di dinding lobby, menyiarkan live dari masjidil haram. Kami bisa mengetahui seperti apa kondisi masjidil haram saat ini. Memang benar-benar penuh, baik di dalam sampai di halaman luar. Full! Pantas saja kalau banyak yang tak kebagian tempat dan sholat di aspal padahal matahari pas terik-teriknya. Adzan berkumandang dilanjutkan kotbah sholat jum’at. Kami mendengarkan dari televisi, walau tak mengerti artinya tapi kami tetap mendengarkan, begitu iqomah kami segera berdiri dan mengikuti sholat dengan imam masjidil haram. Yah, sholat jum’at kami di lobby hotel Baity Bakkah. Masjidil haramnya full ! sampai sepanjang jalan beraspal di dekat hotelpun full.