23 Mei 2009

Deary Putriku



Masih pagi, tapi udara pagi ini sudah tidak dingin. Langitnya sangat cerah. Berwarna biru keputihan karena matahari sudah mulai beranjak naik, bersih tanpa awan sedikitpun. Itu tadi kulihat saat aku berdiri di depan pintu , mengantarkan suami berangkat ke kantor dengan mobil pribadinya dan anakku menuju halte di samping rumah menunggu bus jemputan yang disediakan perusahaan untuk berangkat ke sekolah. Lumayan, agak hemat BBM. Aku tersenyum dan melambaikan tangan mengiringi keberangkatan mereka.
Dan setelah tidak kelihatan, kututup lagi pintunya. Tak lama, kudengar suara bus yang akan mengantar anakku ke sekolah, berhenti di halte menaikkan penumpang. Biasanya, ada beberapa anak sekolah menunggu di halte itu. Beberapa saat kemudian suara bus itu lamat-lamat mulai hilang, tanda bus sudah berangkat.

Sekarang, jarum pendek jam dinding diruang tamu mulai merambat meninggalkan angka tujuh dan panjangnya juga sudah mulai bergeser mendekati angka satu. Ini berarti, seperempat jam yang lalu anak bungsuku baru saja meninggalkan rumah menuju sekolah naik bus jemputan yang biasanya tidak banyak penumpangnya, kebanyakan pada diantar orang tua. Meskipun sebenarnya jarak rumah dan sekolah dekat saja. Ini yang menyebabkan anak-anak dikomplek ini, rasa mandirinya kurang. Seperempat jam yang lalu, suami juga baru saja meninggalkan rumah menuju kantor dengan sedan birun yang telah menemani bertahun-tahun. Suara knalpotnya semakin keras saja dari hari ke hari.

Sekarang tinggal aku dan seorang pembantu perempuan yang sudah ikut lama, kalau tidak salah ada lima tahun. Umurnya kurang lebih seumuran anak sulungku, sekitar dua puluh tahun. Untung punya pembantu seperti dia, selain jujur, kalau disuruh atau diajari cepat nangkap, rajin, dan pekerjaannya beres. Tidak perlu menyuruh-nyuruh terus, dia sudah mengerti pekerjaannya. Kapan harus bangun pagi, kapan harus menyiapkan teh, menyiapkan sarapan pagi walau hanya mie rebus, mie goreng, nasi goreng, roti bakar, singkong atau pisang goreng. Dia juga tahu kapan harus menyirami pohon-pohon koleksiku, kapan harus membersihkan kamar mandi dan lain lain.

Pagi ini, Aku mulai merapikan ruang keluarga yang masih banyak barang-barang anakku karena semalam diangkut dari kamar. Biasanya dibawa untuk menemani belajar. Ada hand phone, komik, pianika, buku-buku tambahan, boneka dan masih banyak lagi. Aku memang tidak mengharuskan belajar di kamar atau di meja belajarnya, terserah saja mau belajar dimana, yang penting nyaman. Kakak-kakaknya dulu juga begitu . Kadang saja, dia mau belajar di kamar. Tapi akhir-akhir ini sudah jadi kebiasaan maunya di ruang keluarga. “Nggak enak Ma belajar di kamar, sepi” katanya waktu itu. Iya juga, apalagi sekarang tinggal dia sendiri. Kakak-kakaknya sudah tidak tinggal serumah. Yang paling besar kuliah di Bandung sedang yang nomor dua minta sekolah di asrama, sekarang di Magelang. Karena sepi, kubiarkan saja belajarnya pindah ke ruang keluarga. Yang penting mau belajar. Sebenarnya malah lebih enak bisa mengawasi langsung. Kalau dia belajar di kamar, aku harus bolak-balik memantau, apa masih belajar, apa main-main, apa malah sudah ketiduran. Dengan pindah ke ruang keluarga, kalau dia mulai main-main, bisa langsung diingatkan. ”Ayo dik, bukunya dibaca lagi” Maka dia akan kembali serius dengan bukunya. Jadilah ruang keluarga digunakan sebagai ruang belajarnya.

Kalau belajarnya pindah, mestinya meja belajarnya rapi. Ini enggak, tetap saja berantakan. Buku-buku masih saja banyak menumpuk dimeja, barang-barang apa aja bisa-bisanya dipakai mainan. Biasanya, selesai pakai langsung taruh saja di meja. Nggak ada rapi-rapinya. Mauku ya dirapikan atau ditaruh lagi di tempatnya. Jadi kalau mau mengambil atau mencari yang diperlukan, tidak kesulitan. Nggak lama mencari-cari, karena barang yang dicari suka terselip diantara tumpukan.

Selesai juga ngangkutin barang-barang dari ruang keluarga. Satu per satu buku kuatur lagi. Buku pelajaran dan buku tulisnya yang habis dipakai kemarin berhambur di tempat tidur, sepertinya baru dikeluarkan dari tas. Ada juga kotak pensil, jepit rambut, pin, sobekan-sobekan kertas, spidol dan pensil warna. Aku nggak habis pikir, ruang keluarga, meja belajar sampai tempat tidur, bisa-bisanya berantakan. Ada dua meja belajar di kamarnya. Yang satu memang meja belajarnya, khusus untuk buku pelajaran dan perlengkapan sekolahnya, beberapa buku tambahan, buku soal-soal untuk memperkaya pengetahuan, dan beberapa barang yang memang sering dipakainya. Meja satunya, sebenarnya dulu meja kakaknya, untuk menaruh buku-buku bacaan atau buku-buku kakaknya dulu. Siapa tahu masih bisa dipakai dan masih diperlukan. Dan memang benar, kadang-kadang diperlukan, karena dibukunya sendiri kurang lengkap keterangannya. Ada juga ditaruh buku-buku bacaan, komic, cerita dan lain-lain.

Waktu menata buku, ada satu buku "ORGI", satu lembar kubuka. Ternyata catatan hariannya, ”Diary”. Kulihat sepintas lembar-lembarnya. Tidak banyak yang ditulis. Yang menarik, ada judul di tiap halaman. Jadi ingin tahu. ”Penasaran”, apa sebenarnya yang ditulis. Kembali ke halaman pertamanya. Diberi judul ”Tentang Aku”, dibawahnya tertulis namanya, dan berderet-derat identitas lain memenuhi halaman. Ada tercatat hobby, cita-cita, nama teman-teman akrabnya, makanan kesukaan, kegiatan yang disukai dan masih banyak lagi. Halaman ini dihiasi dengan gambar-gambar lucu yang diwarnai spidol, ditempeli stiker pahlawan komic kesukaannya ”naruto”. Halaman kedua. Masih dengan lukisan-lukisan lucu dan stiker-stiker lucu. Diberi judul "Tentang temanku". Menceritakan senangnya bermain bersama teman-teman. Menceritakan beberapa teman akrabnya, menikmati hari-hari disekolah dengan guru dan teman sekelas. Pintar juga menulis. Sepertinya dia bisa menulis lebih baik lagi nanti. Kata-kata sederhana, wajar, tapi bagus merangkainya.

Lembar selanjutnya. Diberi judul sama "Tentang Temanku" masih bercerita tentang dia dan teman-temannya, sewaktu berenang bersama, bersepeda bersama, menceritakan kenakalan-kenalan kecil yang diperbuat bersama teman-temannya, menikmati kehidupan. Lembar selanjutnya "Bermain di parit", kemudian "Bermain hujan" dan banyak lagi.

Kubolak-balik halaman. Halaman ke sepuluh. Lumayan untuk sebuah diary. Aku kembali hanyut dalam tulisannya. Kata-kata yang sederhana, menunjukkan usianya. Pengakuan di kertas menunjukkan apa yang dirasakan saat ia menulis. Halaman kesepuluh, diberinya judul “Tentang keluargaku”. Badala...! Sepertinya ada juga cerita tentang aku, papanya dan kakaknya. Dia menyebut dirinya anak yang aneh, lucu, imut, kadang suka jahil, suka ngambek, cengeng. "Yak, betul nduk. Wong kamu sebentar-sebentar nangis" Aku mengiyakan. Tapi anak ini memang bener-bener lucu dan nggemesin. Kalau punya mau atau hatinya lagi jengkel, dikasih tahu nggak mau ngerti-ngerti. Apalagi kalau udah pakai nangis. Satu-satunya jalan, kudiamkan saja, lama-lama juga diam sendiri. Wajahnya memang imut, mungil. Betul juga. Masih dalam satu judul, dia menceritakan kakaknya yang paling besar. Dia cerita kalau kakaknya suka menggoda, mengganggu, jahil. Tapi dari cara menulis, dia suka dijahili kakaknya. Dia tahu kalau kakaknya sebenarnya sayang. Ditulisnya ”kakakku ini suka mau menciumku, tapi bibirnya dimonyongkan dan penuh ludah. Hiii menjijikkan, benci aku! sampai aku jadi nangis karena dikejar-kejar mau dicium”. Lumayan ceritanya. Giliran kakak perempuannya yang diceritakan. Tidak banyak tapi inti dari tulisannya, dia sangat sayang kakaknya dan kakaknya juga, walaupun kutahu kalau kadang-kadang sering terjadi adu mulut, ribut, bertengkar berebut sesuatu, nggak ada yang mau ngalah. Kalaupun mengalah, pasti dengan perasaan jengkel, bisa dilihat dari cara jalannya atau cara bicaranya. Yah... namanya juga anak-anak. Giliran papanya yang diceritakan. Ditulisnya, "papaku ini baik, suka ngajak jalan-jalan, suka beliin oleh-oleh kalau pergi, tapi kadang-kadang papaku ini suka teriak-teriak, marah-marah, jahat, hih mengerikan". Kemudian dilanjutkan dengan menulis tentangku. Dia tulis ”Mamaku sama saja seperti ceritanya papaku tapi berlebihan”.

Kubuka lagi lembar selanjutnya, sudah tidak ada cerita lagi. Aku tersenyum puas, ternyata dia bisa bercerita. Ternyata dia punya kekuatan untuk menulis, walau sekarang tulisannya hanya sebatas banyak menceritakan dirinya dan teman-temannya. Mudah-mudahan nanti bisa berkembang lebih baik. Mudah-mudahan nanti ketemu orang yang bisa membimbingnya dengan baik.
Kututup buku diarinya. Menarik nafas agak dalam. Menunjukkan kepuasanku setelah membaca. Mudah-mudahan saja ada yang bisa membimbingnya menulis nanti.

Kebangetan

Kuamati perlengkapan bayi satu paket dalam kemasan tas ransel plastik bening yang kubeli beberapa waktu lalu. Didalamnya ada sabun mandi, samphoo, bedak, lotion, cologne dan beberapa barang lagi. Masih dalam posisi yang sama, tergeletak diatas meja sudut, diruang makan.
Aku jadi ingat cerita-cerita dibalik pembelian barang-barang itu. Tapi kapan ya pastinya…? kucoba mengingat-ingat. Ternyata kalau sudah pikun, untuk mengingat-ingat susah. Nggak ingat sama sekali kapan kejadiannya. Karena sudah kelamaan, ada beberapa bulan yang lalu, sebelum pergantian tahun.
Dan sekarang, aku di ruang makan sedang menyeruput teh manis yang digelasnya ada remah-remah kue karena kucelupin biscuit. Kulihat perlengkapan bayi satu paket itu lagi. Kejadian lampau kembali melintas, menari-nari dalam kepalaku. “Temanku Melahirkan”. Inilah judulnya.
Apa benar teman? bisa saja karena sudah pernah dikenalkan dan lagi tinggal dilingkungan yang sama, satu komplek perumahan perusahaan. Tapi kalau dilihat dari pergaulanku, seharusnya ada hubungan pertemanan. Seperti telpon, bertandang, bertemu dan lain-lain. Ya umumnya teman. Lha ini..., enggak. Sepertinya aku juga tidak pernah ingin tahu nama kecilnya, mungkin diapun juga begitu. Satu-satunya yang kutahu, hanya nama suaminya “Riz”. Ini juga karena suami beberapa kali menyebut namanya waktu cerita pekerjaan.

Seingatku, baru sekali aku bertemu. Waktu itu kejadiannya pas acara olah-raga pagi, hari Minggu. Aku ingat harinya karena setiap hari Minggu teman-teman suami mengadakan olah-raga bersama. Kebetulan pagi itu pak Riz datang sama istrinya. Entah waktu itu diundang atau datang sendiri. Yang jelas waktu aku selesai jalan keliling lapangan dia sudah ada, bergabung dengan yang lain.
Untuk kegiatan olah-raga ini, Menurut cerita teman-teman, sudah bertahun-tahun diadakan. Cuma katanya agak lama berhenti. Sekarang ini mulai digiatkan lagi. Yang datang juga banyak, bapak-bapak, ibu-ibu, malah kadang anak-anaknya pada dibawa. Malah kalau pas rame-ramenya, bisa sampai lima puluh orang, bahkan lebih.

Jam setengah tujuh, satu per satu datang. Aku dan suami juga biasanya sudah datang. Acaranya santai saja. Ibu-ibu biasanya melakukan jalan sehat keliling lapangan bola. Sekedar mengeluarkan keringat. Ada yang memang senang olah-raga. Biasanya mereka pasang net dan main volley. Tapi karena yang suka volley tidak banyak, akhirnya yang main campuran, bapak-bapak dan ibu-ibu. Ada juga yang hanya duduk-duduk, ngobrol sambil menikmati teh manis panas yang disediakan kantor. Sedang sebagian besar bapak-bapak biasanya bermain sepak-bola.

Kalau kuperhatikan setiap kali datang ke lapangan, yang paling bersemangat memang pasukan bapak-bapak yang main sepak-bola. Semangatnya luar biasa dan patut diacungi jempol. Suamiku biasanya ikut sepak bola. Setiap berangkat selalu siap dengan sepatu bolanya, kaos kaki yang panjangnya selutut, dan memakai dekker untuk menyelamatkan tulang keringnya.
Bapak-bapak pemain sepak bola ini sepertinya nggak peduli kalau lapangan bola kondisinya enggak rata alias banyak lubang. Apalagi kalau pas musim hujan, lapangan ini beceknya minta ampun, bola yang ditendang juga nggak bisa menggelinding jauh karena tertahan air. Tapi Bapak-bapak ini nyantai saja. Badannya penuh lumpur.
Yang lucunya lagi, pemainnya bukan sebelas lawan sebelas. Kalau pas yang datang banyak, bisa kelebihan pemain. Tapi tetap saja dimainkan, pernah sampai dua puluh lawan dua puluh. Lapangan jadi penuh.
Katanya yang penting rame, semua gerak dan semua yang punya hobby bola bisa ikut main. Memang sepertinya semua gembira. Beban pekerjaan sementara terlupakan. ”Refreshing”. Yang membuat seru lagi pemain tidak memakai seragam, jadi mana lawan mana kawan ya hanya hafal muka saja. Kadang kalau lupa ya bola malah dikasih ke lawan.

Hari makin siang, kira-kira sudah jam delapan lewat. Matahari sudah mulai terasa panas menyengat badan. Bapak-bapak yang main sepak bola sepertinya juga sudah mulai kelelahan. Teman-teman yang jalan sehat dan yang main volly sudah pada kumpul. Semua kumpul di tribun, menikmati teh manis dari kantor yang kadang-kadang ada bau kopinya, menikmati air mineral juga kue yang dibiayai dari iuran bapak-bapak.
Kalau ada yang syukuran naik pangkat, pulang dinas keluar kota atau keluar negeri, ulang tahun, atau apapun, konsumsi Minggu pagi jadi lebih komplit. Bisa dilihat dari Minggu ke Minggunya, ada saja yang menyumbang makanan. Mie ayam, nasi uduk, pecel, nasi kuning, bubur manado dan masih banyak lagi. Lumayan, dapet makan gratis, he he he.
Teman-teman rasanya juga makin akrab. Nggak ada jarak yang mana atasan yang mana bawahan atau bos dan anak buah. Semua seperti keluarga. Mudah-mudahan saja kegiatan seperti ini terus ada, supaya keakraban diantara karyawan dan keluarga terus terbina.

Setelah cukup istirahat dan menikmati makanan. Satu per satu pamitan. Ada yang mau melanjutkan ke pasar, ada bapak-bapak yang mau ke kantor untuk kerja lagi. Kamipun bubaran dan bersalaman. Tak lupa membersihkan lagi tribun, supaya tetap terjaga kebersihannya.
Pas bubaran ini pak Riz menghampiri memperkenalkan istrinya. Sebenarnya tanpa dikenalkan, tadi juga sudah sempat berkenalan. Cuma, memang tidak bicara banyak. Informasi yang kudapat kemudian, bu Riz masih belum selesai kuliah, dan rencananya beberapa hari lagi akan kembali ke Surabaya untuk melanjutkan. Informasinya lagi, ternyata masih pengantin baru.
Sayangnya, perbincangan harus disudahi karena anakku sudah ngajak pulang dan matahari sudah terlalu panas . Sejak itu rasanya tidak pernah bertemu lagi. Hanya beberapa kali sempat kulihat, itupun dari jauh pas belanja di super market. Dengan Pak Riz juga jarang ketemu. Paling berpapasan di acara kawinan, di acara perusahaan atau di jalan. Kalau suami pasti sering bertemu, kalaupun tidak bertemu muka, ya telepon, radio atau ber-email. Karena hubungan pekerjaan.
000
Waktupun berlalu. Aku kembali dengan kegiatan sehari-hari. Sebagai ibu rumah tangga, pedagang dan pengurus di organisasi sosial.
Cerita sebagai ibu rumah tangga..., namanya juga ibu rumah tangga. Ya seperti umumnya. Mengurusi kebutuhan dan keperluan rumah, mengurusi kebersihan rumah, merawat tanaman koleksi dan lain-lain.
Cerita sebagai pedagang... aku membuka usaha dagang, perhiasan dan batik. Lumayan juga, dari hasil dagangku aku bisa mengoleksi beberapa perhiasan yang kuinginkan, dan bisa mengoleksi baju, sepatu, dan masih banyak lagi. Yang paling berkesan ketika aku berhaji dengan hasil keringatku sendiri. Sebenarnya tanpa berdagang, suami masih berlebih kalau hanya membiayai keperluan rumah tangga. Apalagi kami bukan tipe boros dan hura-hura.
Cuma, dengan membuka usaha, aku dan suami jadi agak longgar jika saudara atau teman membutuhkan bantuan. Menurutku memang perempuan harus mandiri, apalagi di keluargaku semua perempuan bekerja, akupun jadi tebawa untuk mandiri, walau hanya membuka toko di rumah.
Syukur alhamdulillah, makin lama makin maju dan lancar usaha dagangku. Strategi yang kupakai dengan pembayaran dicicil. Sepertinya ini yang jadi daya tariknya. Memang harus lebih hati-hati. Namanya juga dihutang. Ada saja masalahnya. Ada yang susah ditagih, ada yang lari, tapi sejauh ini banyak lancarnya.
Usaha dagang ini kubuka di rumah, supaya aku masih bisa menjaga, mengurusi dan mengawasi anak-anakku. Apalagi waktu mulai kubuka anak pertamaku masih kecil. Waktu itu masih umur dua tahun. Tentunya masih sangat butuh perhatian dan pengawasan. Aku tidak menyerahkan anak ke pembantu, sebisanya kutangani sendiri, dari mulai memandikan, menyuapi, sampai menidurkan lagi.
Membuka toko dirumah. Ada kelebihan ada kurangnya. Lebihnya, aku bisa agak santai, tidak diburu waktu. Kegiatan yang lain bisa tertangani selagi tidak ada pembeli. Kurangnya, karena tinggal di komplek pembeli jadi tidak seluas kalau buka di pertokoan. Apalagi setiap yang mau masuk komplek harus melewati pos penjaga. Tapi rezeki tidak bisa diduga, itu rahasia Allah, ada saja yang datang kerumah. Dari teman, membawa teman, membawa temannya lagi. Akhirnya meluas juga.

Waktu dua puluh empat jam kadang nggak cukup untuk dibagi sebagai ibu rumah tangga, dagang dan organisasi. Tapi aku tetap berusaha bisa menangani. Walau kadang antara kegiatan satu dan yang lain, ada saja yang nggak kepegang. Kalau lagi rame-ramenya, usaha dagang ini sangat menyita waktu. Ditambah lagi pembeli yang datang tak kenal waktu dan kalau sudah memilih-milih barang juga nggak ingat waktu. Bisa berjam-jam untuk memutuskan barang apa yang dibeli. Harus sabar, tetap melayani dengan baik. Belum lagi pembeli yang datang bareng dengan jadwal suami pulang siang, untuk makan dan istirahat. Ini yang kadang-kadang membuatku tidak bisa menemani suami makan siang, karena harus melayani pembeli.

Seorang teman pernah memberi saran supaya membuat jadwal. Cuma waktu itu masih bisa tertangani, kegiatan juga belum banyak. Aku juga punya anggapan kalau pembeli itu punya waktu longgar yang berbeda-beda. Para pegawai kantor misalnya, biasanya mereka akan datang diluar jam kantor. Bisa pas istirahat siang atau sesudah pulang kerja. Pernah seorang pembeli bilang,
“Maaf mbak, kalau aku datangnya suka pas jam istirahat ya. Habisnya nggak bisa curi-curi waktu di jam kerja”

Aku sih nggak masalah mau datang pagi, saat jam istirahat atau datang sore, kalau aku memang di rumah ya pasti kulayani. Rezeki kok ditolak. Untungnya suami juga tidak protes.

Lalu sebagai pengurus di organisasi sosial kewanitaan... Kegiatan ini juga tak kalah sibuknya. Sudah kujalani lebih dari tujuh tahun. Kunikmati saja, paling tidak aku jadi tambah teman. Tapi memang kalau pas banyak kegiatan atau lagi ada even-even tertentu. Bisa sibuk banget. Yang rapat, yang bikin budget, yang bikin laporan keuangan, latihan kalau mau ada pentas dan masih banyak lagi. Mau nggak mau karena sudah kadung nyebur di organisasi, ya harus dijalani dengan sungguh-sungguh, harus bertanggung-jawab. Dari semua kegiatan, tetap kehidupan rumah tangga yang paling penting, tetap harus diutamakan.
000
Sore itu sekitar jam lima sore. Diatas meja, di teras rumah. Kudapati satu bingkisan kotak yang dibungkus tas kresek putih. Dari model kotaknya aku bisa menebak kalau isinya pasti makanan. Tapi tetap saja kutanyakan “apa ya…?”.
Kuangkat bungkusan itu. Masih hangat dan bau harumnya tercium saat kudekatkan kehidungku. Kubuka tutup kardusnya, ternyata “nasi selamatan”. Disitu ada nasi dan lauk pauk lengkap, ada kerupuk, ada buahnya juga. Mungkin saja tadi waktu mengantarkan makanan, pembantu di rumah lagi menyiram pohon di kebun atau mungkin lagi mandi, jadi tidak dengar waktu bel pintu dibunyikan. Dan kotak itu ditaruh begitu saja dimeja di teras. Ada kertas kecil yang diselipkan, ”Telah lahir anak kami yang pertama dengan selamat” baris paling bawah tertulis ”kami yang berbahagia, Riz dan keluarga”.
“Pak Riz...? Kaget bukan main ketika kubaca kertas kecil itu. Bagaimana tidak kaget, apalagi setelah melihat tanggal kelahirannya. Karena sehari sebelum nasi selamatan itu datang, aku sempat bertemu bu Riz di super market. Waktu itu dia bersama ibunya. Aku sempat menanyakan kabarnya. Dia hanya menjawab baik-baik saja. Dia memakai baju yang longgar model gamis. Kulihat waktu itu perutnya besar. Jadi kupikir sedang hamil beberapa bulan. Lalu seorang teman sempat mengatakan padanya.
“Lho, kok sudah jalan-jalan. Wah belum sempet kerumah lho aku”

Aku nggak ngeh waktu itu. Kirain belum sempet ke rumahnya, karena dia baru datang dari Surabaya. Maklum rumahnya kan belakang-belakangan. Tapi ternyata lain yang dimaksud. Yang kukira tadinya masih hamil beberapa bulan, ternyata malah sudah melahirkan. Bukti tanggal kelahiran jelas-jelas tercantum dilembar kertas. Bukan baru kemarin tapi sudah beberapa hari yang lalu. Kututup lagi kotaknya, kubawa masuk dan kuletakkan di meja makan. Niatku kutunggu suami datang dari kantor supaya nanti bisa bersama-sama menikmati makanan selamatan kelahiran.

Sudah agak malam suami baru datang, diatas jam enam. Nasi selamatan sudah dingin. Anakku sebenarnya sudah tidak sabar ingin menikmatinya. Tapi kubilang,
“Tunggu papa sebentar dik, nasinya juga perlu dipanasi dulu”
Nasi selamatan sudah hangat, suamiku juga sudah selesai mandi. Kami menikmati juga walau harus dipanasi dulu.

Keesokan paginya kuputuskan pergi ke super market, agenda utama adalah membeli perlengkapan bayi yang nanti akan kuberikan kalau pas menengok. Belum tahu kapan akan berkunjung, yang penting barang sudah kudapatkan dulu. Beberapa barang keperluan bayi dipajang di super market, seperti handuk, wash lap, sabun, sampo, ada juga dijual mainan bayi, tempat makan bayi dan masih banyak lagi. Bingung juga memilihnya, tapi akhirnya kuputuskan membeli perlengkapan bayi dalam kemasan satu paket, isinya sabun, sampo, pengharum, bedak dan masih ada beberapa barang lagi. Aku ingat dulu waktu anakku lahir aku pernah diberi perlengkapan mandi dari beberapa teman, dan ternyata sampai setahun lebih barang-barang itu belun juga habis, dan untungnya lagi barang-barang seperti itu awet.
Sampai dirumah barang belanjaan untuk menengok bayinya pak Riz langsung kusimpan ditempat yang dapat dengan mudah terlihat, supaya tidak kelupaan. Kupilih meletakkan di meja sudut, dekat ruang makan. Pas sekali. Karena ditempat ini biasanya tidak akan dipindah-pindah. Dan dari mana-mana kelihatan, tinggal membungkusnya nanti.

Hari masih sore, langit masih terang, masih sempat kulirik jam dinding di ruang keluarga. Jam lima lewat lima belas menit saat kudengar suara mobil suamiku yang khas memasuki garasi. Khas, karena masih jauh saja suara knalpotnya yang keras sudah kedengaran menderu-deru. “Tumben sudah pulang” pikirku saat itu. Tidak biasa-biasanya suamiku pulang sesore ini. Hampir bisa dipastikan, paling cepet pulang jam enam. Tapi aku tidak protes. Tuntutan pekerjaan yang membuat suamiku datang lewat dari jam pulang kantor. Lha sekarang, masih sore pulang cepet, aku hanya bisa menduga dan biasanya dugaanku benar, pasti ada acara sore ini.
Benar juga tebakanku. Setelah mengucap salam dan masuk rumah dengan terburu-buru, saat kubukakan pintu tadi, sebentar kemudian suamiku sudah bersiap-siap mau pergi. Lha iya kan...Mau pengajian kalau melihat baju koko yang dikenakannya. Sebelum suamiku keluar rumah, kusempatkan menunjukkan barang yang kubeli tadi siang.
”Pa, ini lho, barang yang untuk menengok bayinya Pak Riz, cocok nggak?”
Suamiku melihat sesaat barang-barang yang kubeli, lalu katanya,
“Oke, bagus” sambil jempolnya diacungkan.
”kapan kerumahnya?”
”Besok aja ya, sekalian nanti nengok anaknya Pak Roni. Samain aja kadonya Ma”
”O, Ya !”

Kusimpan lagi barang belanjaan itu ditempatnya semula diatas meja sudut, dekat ruang makan. Aku masih juga belum membungkusnya. Memang sengaja tidak kubungkus. Pikirku nanti saja kalau memang sudah bener-bener mau berangkat menengok, aku akan membungkusnya. Toh membungkus juga sebentar saja, paling lima menit. Asal ada barangnya, ada pembungkusnya, ada perekatnya. Pasti beres. Set... set... set... selesai.
000
Keesokan harinya, rencana tinggal rencana. Aku dan suami tidak jadi atau tidak bisa menengok si bayi. Alasannya, suami tidak bisa pulang lebih awal, ada pekerjaan yang harus diselesaikan di kantor. Pulangnya lebih malam dari biasanya. Nggak mungkin juga menengok bayi malam-malam, nanti malah mengganggu.
Kutunggu lagi hari besoknya, dan beberapa hari lagi, wallah ternyata sama saja. Suami pulangnya malam terus. Aku baru ingat kalau sekarang ini sudah mendekati akhir tahun. Biasanya pekerjaan tidak ada selesai-selesainya dan malah makin padat saja, karena semua proyek dan pekerjaan harus selesai sebelum tutup tahun. Kata suami ada satu proyek pemasangan alat-alat baru yang harus dipasang di beberapa tempat. Proyek pemasangan ini baru bisa dikerjakan karena barang-barang yang akan dipasang juga baru darang. Padahal pekerjaan ini harus selesai sebelum tutup tahun. Jadilah kerja seperti dikejar-kejar. Bahkan hari Sabtu dan hari Minggunya juga menjadi hari sibuknya.

Aku memakluminya dan tidak protes. Belasan tahun mendampingi, jadi sedikit banyak tahu pekerjaannya. Kapan waktu longgarnya, kapan waktu sibuknya. Aku hanya bisa mendoakan, mudah-mudahan pekerjaannya cepat selesai, dengan baik dan bisa diselesaikan sesuai jadwal. Mudah-mudahan juga suami diberi kesehatan dan kekuatan untuk menjalani.
Kadang kulihat suami sangat capek, matanya kuyu. Membuka pintu mobil, berjalan masuk rumah kemudian duduk di kursi membuka sepatunya yang minta ampun beratnya, namanya sepatu safety. Setelah itu dia akan merebahkan sebentar di sofa sebelum beranjak ke kamar untuk mandi dan ganti baju dilanjutkan makan malam dan kemudian istirahat.
Ini potret suami kalau pas lagi banyak-banyaknya kerjaan. Yah, pemandangan seperti ini sudah sering kulihat. Belum lagi kalau pabrik ada gangguan, biasanya pulang hanya sempat untuk mandi dan makan malam saja terus kembali lagi ke kantor meneruskan pekerjaan. Kalau memang benar-benar sudah capek sekali dan tidak ingin ke kantor, biasanya suami pulang membawa berkas-berkas pekerjaan dengan harapan bisa diselesaikan di rumah.

Kalau pas bisa pulang lebih awal atau agak sorean, aku yakin ada acara lain atau ada undangan yang tidak bisa ditinggalkan, seperti menghadiri acara pembukaan pelatihan, pembukaan kursus yang bekerja-sama dengan Dinas Tenaga Kerja, rapat pengurus di yayasan umat islam, atau menghadiri undangan pengajian dari teman
000
Hari-hari terlalui, ternyata kesibukan dan kegiatan terus menghampiri. Suami sibuk dengan pekerjaannya yang banyak dan belum selesai-selasai. Akupun jadi asyik dengan duniaku, sibuk dengan urusan rumah tangga, dagang, dan organisasi. Sampai akhirnya, ketika aku sedang duduk di ruang makan. Pandanganku tertuju pada benda di meja sudut, di ruang makan. Aku jadi sadar, kalau sampai saat ini kami berdua belum menengok si bayi mungilnya Pak Riz. Sudah berapa bulan ya usianya sekarang... ? Ada saja urusan yang mesti dikerjakan, mesti diselesaikan. Dan sekarang, setelah semua kegiatan berlalu. Ternyata sudah terlalu lama. Ada perasaan tidak enak kalau mau menengoknya sekarang. Akhirnya kami tidak jadi menengok bayi mungil pak Riz.

Kulihat barang-barang perlengkapan bayi satu set yang kubeli waktu itu. Belum kubungkus juga. Masih tergeletak bersama kertas pembungkusnya di atas meja sudut, dekat ruang makan. Kalau memang tidak cepat menyempatkan, yah beginilah akhirnya. Apa yang akan kukatakan bila nanti bertemu dengannya? Pasti akan ketemu, cepat atau lambat. Apalagi dengan tinggal dalam satu komplek. Ini pasti terjadi. Ah, Kebangetan benar !

Lima Belas Januari

"Mama ulang tahun ya..." kata suami mengejutkanku. Kuambil HP yang dibawanya lalu kulihat layarnya. "Ulang tahun 42". Aku tersenyum. Suami lalu menyalami sambil mencium pipiku. Tak berapa lama, anakku yang masih kelas 5 SD berjalan terburu-buru kearahku sambil membawa perlengkapan sekolahnya, lalu mengulurkan tangannya dan menciumku. "Met ulang tahun ya..." katanya sambil tersenyum.
"Traktir dong...". Katanya lagi. Aku tertawa, lalu kujawab sambil bercanda,
"Gimana sih, mama kok suruh traktir terus, kamu ulang tahun, mama juga yang traktir. Hayo, kamu sekarang yang traktir". Dia cengingisan.
"Ya udah, nanti kubelikan coklat". Katanya sambil memakai sepatu. Tahu betul kalau aku suka coklat.

Sekarang sudah jam tujuh kurang lima belas menit. Rumah kembali sepi karena suami sudah berangkat kerja dan anakku juga sudah berangkat sekolah. Tinggal aku sendiri ditemani seorang pembantu. Aku memang bukan pegawai kantoran, hanya seorang ibu rumah tangga. Seperti kebanyakan ibu ditempat tinggalku ini. Hanya beberapa yang kerja kantoran, bisa dihitung.

Belum selesai merapikan meja makan bekas sarapan tadi pagi, HPku bunyi, nada dering lagunya Naff "Kaulah Hidup dan Matiku". Ini dari anakku yang kuliah di Bandung. Segera kuangkat.
"Ma...! Met ulang tahun ya Ma..." Katanya membuka percakapan.
"Iya Mir, makasih ya". Jawabku.

Senang mendengar suaranya lagi. Padahal tadi pagi, baru saja kutelpon untuk membangunkan sholat subuh. Tapi ini lain, dia yang telpon khusus mengucapkan selamat ulang tahun. Jarang-jarang dia menelpon kalau tidak butuh sekali, seperti mau beli buku, beli baju atau minta tambahan pulsa. Anak sulungku, Mahasiswa Tehnik Mesin ITB semester empat. Menyempatkan telpon pagi-pagi hanya untuk mengucapkan selamat ulang tahun. Senang sekali rasanya, ternyata masih mengingat tanggal lahirku, masih perhatian juga.

Jam demi jam berlalu, hari semakin sore, kira-kira sekarang sudah jam enam. HPku berbunyi. Kali ini nada dering lagunya coklat "Bendera". Nada dering yang kutunggu setiap saat, dari anakku yang di Magelang. Aku hanya bisa menunggu telponnya karena aku tidak bisa menghubunginya. Peraturan sekolah tidak mengijinkan siswa membawa HP. Hanya disediakan wartel untuk komunikasi. Inipun harus ngantri dan waktunya dibatasi. Biasanya dua kali dalam seminggu dia menyempatkan menelpon.

Nada dering coklat masih berbunyi. Segera kuangkat telponnya, tapi aku kecewa karena salurannya jelek sekali. Suara anakku tidak terdengar jelas, terputus-putus.
"Telpon lagi ya Sof, nggak denger ini". Kutunggu beberapa detik, nada sambung terdengar lagi. Belum sempat kuangkat sudah mati, senewen juga rasanya. Telpon di wartel ini memang jelek sekali, harus beberapa kali baru tersambung bagus. Kutunggu lagi. Ada dua kali tidak sempat kuangkat sudah terputus.

Akhirnya nada dering dengan lagu benderanya coklat terdengar lagi. Kubiarkan sebentar, setelah yakin tidak putus baru kuangkat. Dari seberang kudengar.
"Denger Ma..."
"Ya, denger" Jawabku senang. Dari seberang kudengar lagi suaranya agak jutek memaki-maki telpon wartelnya.
"Sialan ini telpon, jelek sekali. Mama..., padahal tadi aku udah siap-siap mau kasih mama kejutan"
"Apa ?"
"Aku tadi udah siap-siap nyanyi Happy Birtday, sialan ini telpon. Gak jadi sureprise"
Bisa kubayangkan wajahnya kalau lagi jengkel. Memang saluran ini jelek sekali, setiap telpon tidak pernah bersih, yang suaranya kecillah, yang putus-putuslah, yang menggemalah.
"Acaranya apa ni Ma?"
"Nggak ada Sof, cuma besok rencananya di rumah mau ada pengajian"
"O, pengajian untuk ulang tahun Mama ya?"
"Nggak juga, udah lama nggak ngadain pengajian di rumah"
Sepuluh menit berlalu, akhirnya telpon ini harus diakhiri karena banyak temannya yang ngantri.
"Udah ya Ma, banyak yang ngantri ini, nggak enak sama yang lain"
"Ya, ya, hati-hati ya, baik-baik, assalamu'alaikum" Kataku menutup percakapan.
"Wa'alaikum salam, Mmmmuah". Jawabnya, kemudian telpon terputus.

Aku, diusiaku yang ke 42. Sudah tidak muda lagi. Kuamati anakku yang masih kelas 5 SD, masih asyik dengan carton Disneynya. Aku bersyukur pada penciptaku karena telah dikaruniai keluarga yang penuh kasih sayang, dikaruniai anak-anak yang baik-baik. Kurasakan pipiku basah, bulir-bulir hangat mengalir dari ujung mataku.
Aku kembali mengingat masa-masa kecil mereka. Masa-masa masih bersama yang penuh keceriaan, canda tawa dan tangisan mereka. Aku kembali bernostalgia mengingat masa-masa indah dulu. Memandikan mereka dengan air hangat, menyuapi mereka sambil keliling rumah, mengajari kata demi kata setiap saat, mengajari memakai sepatu sendiri, mengajari mengancingkan baju sendiri.
Kalau ingat waktu itu... kakinya yang mungil dan tangannya yang mungil berusaha keras sampai badannya keringatan. Tangisnya meledak saking jengkel karena nggak berhasil-berhasil. Kuajari terus sampai akhirnya mereka tertawa senang ketika berhasil dan memamerkan padaku. Ah..., masa-masa itu begitu indahnya. Tapi sayang waktu tak bisa diulang.
Aku hanya bisa mengingat kembali ketika mengajak mereka ke taman bermain ayunan, main prosotan, mengajak mereka ke laut mencari kerang dan batu karang, berlomba melempar batu sejauh-jauhnya ke tengah laut, juga menangkap anak kepiting.
Kembali kuingat lagi masa-masa mengantar mereka ke sekolah. Kemudian melatihnya untuk ikut bus jemputan yang lewat depan rumah. Jika mereka terlambat, aku menyuruhnya berjalan cepat untuk menuju halte selanjutnya yang jaraknya 100 m yang nanti akan dilewati bus itu lagi. Ah..., kalau ingat masa-masa itu, rasanya kasihan juga. Tapi aku harus mengajarkan pada anak-anakku pentingnya mengatur waktu, kalau lambat-lambat nanti akan ketinggalan. Akhirnya anakku bisa melewatinya dengan baik.
Aku kembali mengingat masa-masa mengantar mereka les musik, les sempoa, les bahasa inggris yang jaraknya ada 6 kilo dari rumah. Walau kadang harus kupaksa juga berangkatnya. Aku yakin ini semua untuk kebaikan mereka. Ah..., masa-masa itu begitu indahnya. Terlalu mahal untuk dilupakan.
Sekarang anakku sudah besar, kegiatannya sudah berbeda. Sudah tidak membutuhkan bantuan dengan sentuhanku. Bantuan yang dibutuhkannya sudah berbeda. Yang dibutuhkan sekarang adalah dukungan, memberi semangat, mengingatkan. Apa mereka masih mengingat masa-masa kecil mereka yang indah itu ya...?

Aku, diusiaku yang ke 42. Ada beberapa helai rambutku yang ternyata sudah memutih. Putraku, kau tumbuh besar, badanmu tegap, langkahmu mantap, kau tumbuh menjadi anak yang pintar. Putra sulungku, kau sedang menuntut ilmu di Bandung. Kau berhasil masuk perguruan tinggi ternama yang diidolakan setiap pelajar "ITB". Kau sekarang sudah semester empat Tehnik Mesin. Banyak prestasi yang kau berikan padaku, teruslah berkarya. Ya Allah, puji syukurku pada-Mu telah memberiku putra yang baik. Terimakasih anakku, kau telah menjadi putraku yang baik. Sekarang kau berada jauh di seberang, tanganku tak bisa membelaimu sesering waktu kau kecil. Mataku juga tak bisa memandangmu setiap saat. Tapi percayalah, gambarmu tetap tajam dalam anganku, aku tidak akan pernah lupa dan akan terus mendoakanmu. Ya Robbi, jagalah putraku ini. Berikanlah kesuksesan padanya, berikanlah kebahagiaan padanya, karuniakan kebaikan-kebaikan padanya.

Aku, diusiaku yang ke 42. Kulitku ternyata tidak sehalus dulu lagi. Apakah masih terasa nyaman jika untuk membelai? Putriku. Kuimpikan setelah mendapatkan seorang putra. Begitu lama untuk mendapatkanmu. Hampir lima tahun aku menunggumu. Akhirnya kau hadir juga. Sekarang kau sudah besar, kau tumbuh menjadi putri yang pintar. Kau sedang menjalani pendidikan di Magelang, di SMU unggulan se Indonesia "Taruna Nusantara" kau masih kelas satu. Banyak-banyaklah berprestasi di sekolahmu. Seperti motto hidupmu "Hidup hanya sekali, lakukan yang terbaik". Ya Robbi, terimakasih Kau telah anugerahkan seorang putri yang baik kepadaku. Terimakasih putriku. Walau waktu yang kita punya tidak banyak saat ini, tapi kau selalu menyempatkan waktumu untuk menyapaku lewat telponmu. Kau benar-benar penuh perhatian. Ya Robbi, jagalah putriku ini. Berikanlah kesuksesan padanya, berikan kebahagiaan padanya, karuniakan kebaikan-kebaikan padanya.

Aku, diusiaku yang ke 42. Sudah harus memakai kacamata kalau membaca. Putri bungsuku, kau hadir sebagai pelengkap kebahagiaanku. Sekarang kau masih dalam jangkauanku. Setiap menit, setiap detik, setiap saat aku masih bisa memelukmu, membelaimu, menciummu. Putriku, kaupun punya prestasi yang luar biasa, tak kalah dengan kakak-kakakmu. Teruslah berprestasi, teruslah berkarya, jangan menyerah, jangan mudah patah semangat. Putriku... Terimakasih kau hadir sebagai pelengkap. Melengkapi kebahagiaanku. Ya Robbi. Tak henti-hentinya kuucap syukur atas karunia-Mu. Jagalah putri bungsuku ini. Berikanlah kesuksesan padanya, berikan kebahagiaan padanya, karuniakan kebaikan-kebaikan padanya.


Aku, diusiaku yang ke 42. Badanku sudah tak sekencang dulu lagi. Betapa bersyukurnya aku memiliki suami yang penuh kasih sayang, penuh perhatian, sabar dan mengerti aku. Terimakasih suamiku, kau telah menjadi pendamping hidupku. Kau telah menjadi bapak dari putra putriku. Terimakasih, kau telah memilihku menjadi pendampingmu, menjadi ibu dari putra putrimu.


Terimakasih Ya Allah, Engkau telah memberikan kepadaku keluarga yang penuh kasih sayang, kebahagiaan dan keberkahan. Terimakasih Ya Allah, Engkau telah memberikan karunia yang besar pada kami sekeluarga. Terimakasih Ya Allah, terimakasih, mudah-mudahan Engkau terus memberikan kebahagiaan kepada kami sampai akherat. Amin.

12 Mei 2009

Aku Resmi Menjadi Istrinya

“Apa?, siraman?” tanya tante, om dan kakek-nenekku, sepertinya tidak setuju kalau acara pernikahanku harus diawali dengan acara siraman.
”Apa itu, nggak usah pake siraman kan juga nggak apa-apa”
Bapak dan Ibu kemudian meluruskan dan menjelaskan pada semua.

Bapak, Ibu dan semua keluarga besar memang tidak biasa menganut acara adat. Yah, ini yang kemudian dijelaskan Bapak dan Ibu, kalau acara siraman ini hanya sebatas untuk mempercantik gambar di video saja. Jadi tidak ada maksud apa-apa, tidak ada keyakinan apa-apa. Akhirnya mereka mau mengerti juga. Makanya untuk itu persiapan acara siramanpun juga hanya biasa-biasa saja.

Pagi ini seluruh keluarga sibuk mempersiapkan acara siraman yang rencananya akan dilaksanakan jam 10.00 wib. Mulai dari gentong untuk tempat air siraman, bunga taburan untuk siraman, mangkuk untuk tempat guntingan rambutku setelah siraman dan yang utama petugas sorot video.

Periasku “bu Bei” sudah datang, dengan cekatan mempersiapkan peralatan riasnya di kamar yang sudah dihias apik oleh Om dan tanteku. Bunga anggrek dan sedap malan berjejer rapi dipinggir tembok. Diatas meja, satu rangkaian kecil bunga anggrek dendrobium dipadu dengan anggrek kala, menambah cantik ruangan. Beberapa orang yang telah ditunjuk sebagai sesepuh untuk acara siraman segera dihubungi Bapak supaya cepat datang agar acara siraman bisa secepatnya dimulai.

Aku sendiri masih mondar-mandir mempersiapkan beberapa barang kebutuhan siraman. Seperti kain yang akan kupakai pada waktu siraman dan kain setelah acara siraman. Karena aku kurang sreg dengan kain yang sudah tersedia. Kucari di kamar Ibu dan akhirnya kutemukan juga kain di lemari Ibu, kain jumputan warna kuning kombinasi ungu. Ini akan kukenakan untuk siramannya. Dan kain jumputan warna oranye akan kukenakan setelah siraman atau waktu rias nanti.

Semua akhirnya siap, aku menuju ke kamar dan siap untuk dirias. Riasan sederhana saja, tipis-tipis, supaya nanti setelah siraman gampang untuk riasan selanjutnya. Kemudian rambutku hanya diurai, dijepit diatas telinga. Kain warna kuning campur ungu dililitkan ke tubuhku. Disimpul di kanan kiri, dipeniti dibagian belakang, akhirnya pas sekali menempel mengikuti lekuk tubuhku.

Riasan sudah selesai. Bapak, Ibu dan Nenek duduk di kursi beludru yang sudah disiapkan, segera aku dipandu penata riasku untuk sungkem, memohon doa restu Bapak, Ibu dan Nenek. Setelah itu Bapak dan Ibu menuntunku ke tempat siraman. Aku didudukkan di tempat yang sudah disediakan. Para sesepuh sudah berkumpul disekelilingku juga para kerabat.

Acara siraman berlangsung cepat. Dimulai dari Nenek, kemudian Budhe, lalu Tante, yang terakhir Bapak dan Ibu bersamaan. Aku kembali dituntun ke kamar untuk dirias. Sebelum merias, rambut bagian belakangku dipotong dan potongan rambut diletakkan di mangkuk yang berisi air. Perias meminta Bapak dan ibu untuk melarungkannya. Dengan disorot kamera video Bapak dan Ibu berjalan keluar rumah membawa mangkuk yang berisi potongan rambutku. Lalu membuangnya di parit depan rumah.

Bu Bei lalu mengeringkan rambutku, sambil rambutku di asapi dengan bakaran ratus, supaya harum. Bau ratus yang khas, selain mengharumkan rambutku juga mengharumkan seluruh ruangan kamarku. Kemudian setelah rambutku kering benar, aku mulai dirias model Jawa. Bagian dahi diberi ukiran rambut. Kalau orang Jawa bilang dipaesi. Rambutku kemudian disanggul. Setelah itu kukenakan baju kebaya warna merah bersama kain panjang sogan. Sebagai pelengkap aku mengenakan selop dan Ibu memakaikan gelang, kalung cincin dan giwang.

Adzan Dhuhur berkumandang. Sholat dhuhurpun dilangsungkan di masjid yang masih satu halaman dengan rumahku. Setelah selesai, keluarga dan para kerabat mulai mempersiapkan masjid untuk acara pernikahanku. Meja untuk menikah sudah siap, sound system juga sudah siap. Kini tinggal petugas dari KUA, pembaca Qur’an, Mubaligh, para saksi dan tentunya calon pengantin laki-laki dan rombongan keluarga.

Para tamu sudah mulai hadir, aku masih berada di kamar. Hanya ditemani periasku. Kutunggu kapan waktunya tiba. Setelah beberapa saat, tanteku masuk dan membimbingku menuju masjid. Kemudian aku didudukkan berdampingan dengan calon suamiku.

Apa iya aku akan menikah hari ini? Bagai mimpi rasanya. Batin dan pikiran ini masih tidak percaya, padahal Jelas-jelas sekarang ini aku duduk berdampingan dengan calon suami dihadapan Bapak, Petugas KUA dan para saksi serta keluarga besar dari kedua fihak dan para undangan. Aku duduk dengan perasaan dag dig dug. Berkali-kali kutarik nafas panjang untuk menguasai emosiku dan menyebut nama-Mu, Tahlil, Tahmid dan Takbir kuucap terus untuk menenangkanku. Apa calon suamiku juga merasakan hal yang sama seperti aku? Sama deg-degannya, sama-sama seperti dalam mimpi?

Setelah semua siap, petugas KUA mulai menanyakan ulang identitas kami, apa sudah sesuai dengan yang ditulis di buku nikah. Alhamdulillah semua yang tercatat di buku nikah sudah benar. Maka acara akad nikah bisa segera dilangsungkan. Ijab kabul dengan bahasa arap meluncur dengan lancar dan benar. Kemudian para saksi menyatakan sah. Wow! Kami telah sah menjadi suami istri. Benar-benar menakjubkan. Buku nikah sudah ditangan, sekarang suamiku menyerahkan mas kawin yang berupa Qur’an dan seperangkat alat sholat. Kuterima mas kawinnya dan kucium tangannya, dibalasnya aku dengan ciuman di pipiku. Duh! Benar-benar seperti mimpi. Laki-laki yang tadi duduk disebelahku, masih sebagai orang asing, kini adalah suamiku. Aku sekarang sudah resmi menjadi istrinya. Allahu Akbar!

Sembilan Bulan Kemudian Kau Hadir Sayang

Ramadhan pertama yang kujalani kali ini, tepat dua bulan setelah aku resmi menjadi seorang istri. Waktu itu pesta pernikahan dan resepsi dilaksanakan di kediaman orang tuaku di Solo pada bulan Februari 1988, lalu seminggu kemudian keluarga suami mengadakan syukuran atas pernikahan kami. Istilahnya ngunduh mantu. Kemudian, seminggunya lagi aku diboyong suami keluar Jawa, di Kalimantan Timur, tepatnya di Bontang. Kota kecil, yang baru kudengar. Mungkin tidak semua peta Indonesia menampilkannya.

Kami berdua tinggal di rumah panggung yang disediakan perusahaan untuk karyawan. Meskipun rumah panggung, tapi fasilitas yang ada melebihi yang kuperkirakan. Rumah ini terdiri dari 3 kamar tidur, 2 kamar mandi lengkap dengan air panas dan dingin, ruang makan, ruang tamu, dapur dan gudang. AC disetiap ruang. Bahkan di dapurpun ada. Mesin cuci beserta pengeringnya, benar-benar kering, jadi tidak usah dijemur diterik matahari. Tinggal menyeterikanya saja.

Kami jalani ramadhan ini berdua, kami makan sahur berdua dan buka puasa berdua. Tapi, makan sahur kali ini, kenapa suapanku tak mau kutelan. Aku ingat betul waktu itu. Suapanku terasa hambar. Lidahku dan kerongkonganku tak enak lagi untuk dimasuki makanan. Hanya dua suapan yang mampu kutelan dan sisanya harus menjadi penghuni sampahku. Kujalani puasaku satu hari dengan bekal sahur dua suapan dan teh manis. Mudah-mudahan kuat menjalaninya. Akhirnya sampai beduk buka puasa dikumandangkan, kami menikmati makan bersama. Aku sempat memasaknya sendiri.

Saat makan sahur untuk puasa keesokan harinya lagi, dan makanan sudah tersaji di meja makan. Kami berdua siap menikmatinya, mengisi tenaga untuk puasa. Baru saja mau kusuapkan makanan kemulutku, aku sudah mau muntah. Perutku rasanya mual sekali. Seperti mabok darat. Satu suappun tak bisa. Akhirnya aku tidak jadi makan sahur.
”Kenapa Ma?” tanya suamiku waktu itu.
”Nggak tahu”
Setelah kuhitung-hitung, aku terlambat haid. Mestinya sudah kudapatkan dua hari yang lalu. Ya benar, aku terlambat dua hari. Apa ini tandanya hamil ya? Aku tidak tahu, aku belum yakin.

Keesokan paginya kami pergi ke Rumah Sakit perusahaan untuk memeriksakan keadaanku. Apa benar aku hamil, apa benar kami sudah akan diberi amanat dari Allah. Ditemani suami aku mendaftarkan ke receptionis. Kemudian menunggu di depan ruang pemeriksaan sebelum dipanggil masuk. Rasa mau muntah masih terasa. Akhirnya setelah beberapa saat menunggu, namaku dipanggil. Kumasuki ruang periksa, seorang perawat menanyakan apa keluhanku. Lalu kujelaskan apa yang kualami dua hari ini. Perawat kemudian menanyakan kapan haidku terakhir dan menyuruhku memeriksakan air kencingku. Kuturuti permintaannya dan kutunggu lagi hasilnya.

Masih ditemani suamiku di ruang tunggu ini, perasaanku gelisah. Apa hasilnya nanti. Kemudian namaku dipanggil lagi. Kami berdua masuk keruang periksa. Dari pemeriksaan lab telah diperoleh hasilnya. Dan aku dinyatakan positif hamil. Kabar gembira ini seperti menyiram kegelisahanku selama menunggu tadi. Tak bisa kubayangkan perasaanku waktu itu. Kemudian aku diberi beberapa vitamin dan obat penahan muntah. ”Harus dimakan setiap hari ya Bu...”. Pesan perawat itu supaya bayi yang kukandung sehat. Kemudian aku diterangkan bahwa menurut perhitungan, aku akan melahirkan tanggal 17 Desember 1988. Perawat juga berpesan padaku supaya rajin memeriksakan kandungan setiap bulan. Ya, pasti akan kupenuhi jadwal control kandungan.

Beginilah rasanya hamil muda. Tak bisa menikmati makanan, mencium baunya saja sudah mau muntah, tak bisa menikmati harumnya perfume, tak bisa jalan-jalan, karena jalan sedikit saja hanya beberapa meter sudah tidak kuat, sudah lemas. Untuk mandi saja aku harus punya persediaan sabun dan odol dari berbagai merk. Karena setiap kali mandi aroma harus ganti. Kalau sampai sama pasti akan muntah. Baru bisa kupakai lagi setelah beberapa hari kemudian. Ah, betapa beratnya ngidamku.

Bulan berganti bulan, muntah masih saja jadi langganan. Kalau ingat makanan yang bisa kutelan dan bertahan di perut hanya nasi goreng yang pedas sekali. Bumbunya hanya bawang putih dan cabe kecil saja. Yah, bagaimana lagi, dari pada tidak makan. Tapi keadaan lama-lama berubah. Kondisiku sudah semakin kuat, meski masih muntah tapi masih agak bisa kutekan. Jagi aku bisa mengkonsumsi makanan-makanan lain yang lebih bergizi.

Akhirnya menginjak usia tujuh bulan kandunganku. Sudah besar perutku. Kalau tepat perhitungan khamilanku, berarti tinggal dua bulan lebih sedikit aku akan melahirkan anak pertama. Saatnya sebentar lagi menghadapi persalinan. Yang kupikirkan sekarang aku akan melahirkan dimana ya? Di Bontang yang jauh dari orang tua, jauh dari keluarga apa di Solo dekat Ibu. Apa yang bisa kulakukan setelah anakku lahir nanti? Meskipun sudah membaca buku, tapi tetap saja rasa takut dan khawatir. Tidak tahu bagaimana menghadapi bayi mungil, tidak tahu menggendongnya, menyusuinya. Tidak tahu bagaimana mengurusnya nanti. Maka keputusan kami adalah aku melahirkan di Solo saja. Ada Ibu yang siap membantu dan mengajariku.

Aku telah kembali ke rumah Ibu untuk melahirkan. Dengan harapan ada yang mengajariku mengurusi bayi dan merawatnya. Bersama suami, kamipun menyiapkan semua perlengkapan menyambut bayiku, dari baju bayi, popok, gurita, minyak telon, bedak, kaos tangan, kaos kaki, kereta dorong, box bayi, dan masih banyak lagi. Juga kusiapkan satu tas berisi keperluanku saat kelahiran tiba. Setelah semua beres suamiku harus kembali lagi ke Bontang dan aku tetap tinggal di Solo. “Maaf, untuk sementara aku tidak bisa menemani”. Aku harus mempersiapkan diri menghadapi kelahiran nanti.

Kandunganku semakin kuat, perutku semakin besar, nafsu makanku juga sudah baik dan rasa muntah itu tak kurasaan lagi. Akhirnya untuk mengisi kekosongan waktu, aku mencari les menjahit. Aku sudah bisa pergi sendiri, tanpa ditemani. Bahkan aku sudah bisa menyetir mobil sendiri tanpa takut muntah lagi. Akhirnya hari-hari luangku kugunakan untuk pergi ke tempat kursus menjahit.

Tanggal 1 Desember 1988, ada kesempatan suami ke Solo. Waktu itu sebetulnya suami habis dinas Jakarta bersama teman dan ketika selesai dinas teman ini beli mobil dan akan dibawa ke Surabaya. Akhirnya bersama suamiku, mereka berdua mengendarai mobil dari Jakarta. Dan suami berhenti di Solo sedang teman melanjutkan perjalanan ke Surabaya. Tapi sebelumnya kami mencarikan oleh-oleh khas Solo untuk istrinya. Ada rasikan, ada geti, ada brem yang kami beli. Setelah sore kami kembali lagi kerumah. Dan teman berpamitan untuk melanjutkan perjalanannya ke Surabaya.

Kira-kira jam sepuluh malam. Suamiku sepertinya terkena masuk angin. Mungkin karena perjalanan darat dari Jakarta ke Solo. Kemudian minta diblonyoi minyak kayu putih. Setelah selesai. Kenapa sekarang gentian aku yang kelihatannya masuk angin. Kemudian akupun minta diblonyoi juga. Kurasakan perutku kembung, mulas. Aku segera ke kamar kecil. Apa yang kulihat ketika kubuka celana. Ada lendir berwarna merah muda. Aku ketakutan, aku keluar lagi dan kuberitahu ke suami apa yang barusan terjadi. Suami juga bingung.
“Bilang ke Ibu aja, kenapa kok begini”
Aku segera ke kamar Ibu, kulihat Ibu sudah tidur dan Bapak masih terjaga. Kuberitahu Bapak. Kata Bapak waktu itu menenangkanku.
“Nggak apa-apa, wis sekarang siap-siap aja ke rumah sakit, kayaknya udah waktunya ini”
Kemudian Bapak membangunkan Ibu, Kudengar samar-samar waktu aku meninggalkan kamar beliau.
“Bu, Bu, itu kelihatannya Eni mau melahirkan. Ayo siap-siap Bu, udah ada tandanya tadi”
”Nggak usah buru-buru, nanti saja jam satu ke rumah sakit” kata Ibu menenangkan Bapak juga.

Jam satu malam, Aku dan suami diantar Bapak dan Ibu berangkat ke rumah sakit. Untung sudah kupersiapkan segala sesuatunya yang harus dibawa. Tas berisi perelngkapanku dan perlengkapan bayi sudah siap, tinggal diangkat saja. Kalau diingat perkataan perawat yang memeriksaku pertama kali, seharusnya aku melahirkan masih tanggal 17 Desember nanti. Lha sekarang masih tanggal 2 Desember jam satu dini hari. Berarti 15 hari lebih cepat.

Sampai di rumah sakit aku segera dibawa ke ruang persalinan, aku diperiksa perawat yang sedang jaga. Suami minta dipanggilkan dokter yang selama ini merawat kehamilanku. Perawat yang satunya kemudian memanggil dokterku. Sedang perawat yang satu menjagaku dan menenangkanku. Beberapa saat dokter kandunganku datang. Aku segera diperiksa. Lalu katanya.
“Ndak apa-apa Bu, masih lama, ini masih pembukaan dua”
Jam demi jam terlewati, perutku sekamin mules. Rasanya seperti mau buang air besar. Ini yang dinamakan kontraksi. Setiap kontraksi itu datang dan suamiku pas ada disamping, dia merasa tidak sampai hati. Kemudian dia keluar ruangan lagi.

Pagipun tiba, kata suamiku sudah jam tujuh pagi. Oh, ternyata aku sudah diruangan bersalin ini selama enam jam. Dan bayi dalam kandunganku masih juga belum bisa dikeluarkan karena masih pembukaan delapan. Setiap kali kontraksi datang aku selalu ingin mengejan. Perawat yang menungguiku bilang kalau jangan mengejan, harus ditahan. Aku mencoba menahannya, tapi tidak tahu cara menahannya. Mengejan itu tiba-tiba saja datang, aku tidak bisa menguasainya.

Setelah beberapa lama, dokterku kembali ke ruangan bersalin, kemudian melihat kondisiku lagi dan kemudian menyuruh perawat mempersiapkan persalinan karena sepertinya sudah siap dilakukan persalinan. Akhirnya proses persalinan berlangsung. Kuusahakan mengejan sekuat tenaga seperti yang disuruh dokter dan perawat. Tapi bayi dalam kandunganku tidak keluar juga. Akhirnya dokter memutuskan kalau aku harus melahirkan dengan bantuan forcep, aku tidak tahu apa itu forcep. Yang jelas setelah dilakukan forcep, terdengan tangisan melengking. Bayi yang kulahirkan selamat.

Setelah bayi bersih, suamiku kembali diperbolehkan masuk ruang persalinan. Kemudian mendekati bayi yang baru kulahirkan. Kumandang adzan diperdengarkan di kedua telinganya. Setelah itu kembali menengokku dan memberi ucapan selamat padaku.
“Selamat ya Ma, bayinya bagus banget, hidungnya besar. Pasti ganteng nanti”
Puji syukur kupanjatkan padaMu ya Ilahi, Telah kau berikan aku seorang anak laki-laki penerus kami. Mudah-mudahan setiap langkahnya dalam lindunganMu. Amin.

Bayi yang kulahirkan tepat jam delapan pagi lebih lima belas menit, tanggal 2 Desember 1988, lebih cepat lima belas hari dari perkiraan. Beratnya 3,450 gram dan panjangnya 52 cm. Kunamai Andi mirza Zakaria.

8 Mei 2009

Akhirnya Kami Punya Tanah Juga

Menempati rumah perusahaan yang lumayan besar dengan fasilitas air dan listrik gratis, tanpa batas pemakaian. Dengan perabotan yang sudah disediakan juga, dari perabotan kamar tidur, perabotan ruang tamu, perabotan ruang makan, perabotan dapur dan masih banyak lagi fasilitas lain. Membuat hidup seakan dalam khayalan. Karena kalau tidak pandai-pandai mengatur pendapatan, setelah pensiun akan kaget, kok tidak punya apa-apa atau kok belum punya apa-apa.

Banyak pengalaman teman-teman yang ketika menghadapi masa akan pensiun kaget. Karena dulunya, jauh sebelum pensiun kehidupannya hura-hura tanpa perhitungan, seolah-olah hidup akan selamanya di perumahan dengan berbagai fasilitasnya. Akhirnya pendapatan setiap bulan hanya untuk membeli barang-barang kebutuhan skunder. Sebut saja membeli baju, sepatu, tas, crystal, perlengkapan dapur yang harganya jutaan. Belum lagi ganti mobil setiap ada yang baru. Setiap bulan selalu menambah koleksi, seakan-akan tidak mau kalah dengan yang lain. Sampai-sampai lupa bahwa tinggal satu tahun lagi harus meninggalkan itu semua, sedang rumah yang semestinya akan ditinggali selanjutnya belum punya. Akhirnya uang pesangon dari perusahaan yang seharusnya digunakan untuk bekal dihari tua setelah pensiun terkuras untuk membeli rumah yang nilainya selalu naik dari tahun ke tahun.

Ada juga sebenarnya teman yang bijaksana, bisa membuat pos-pos pengeluaran dengan teratur. Sehingga ketika anaknya harus masuk perguruan tinggi, tidak kalang kabut. Ketika Emergency dan harus mengeluarkan uang extra tidak kesulitan. Dan ketika akan pensiun tidak bingung karena sudah punya tujuan akan menempati rumah pribadinya.

Keinginan membeli tanah atau rumah muncul waktu itu ketika teman-teman yang senior atau yang beberapa tahun lebih dulu bekerja dibanding suami, bercerita tentang tanahnya yang di Malang, rumahnya yang di Surabaya, anaknya yang kuliah di Jogja tinggal di rumah sendiri, malah ada teman yang mempunyai rumah lebih dari satu, ada juga yang disewakan, juga kakak yang sedang membangun tanahnya yang rencana untuk ditempati setelah pensiun. Hati kami tambah tergelitik lagi ketika teman yang sebaya suami juga sudah memiliki rumah. Ah, kami juga harus bisa membeli rumah atau tanah. Dari pada uang disimpan di Bank, lebih baik memang dibelikan rumah kecil-kecilan atau sebidang tanah. Karena tanah atau rumah harganya akan selalu naik setiap tahun.

Kami kemudian mulai membicarakan dengan orang tua, siapa tahu orang tua punya pandangan yang lebih bagus. Dari orang tuaku maupun orang tua suami memberi pandangan kalau memang akan membeli sebaiknya membeli tanah saja, mengingat masa pensiun suami masih lama, masih dua puluhan tahun. Nanti saja kalau sudah mendekati pensiun baru dibangun, supaya bangunannya baru dan model juga tidak ketinggalan jaman. Benar juga. Memang orang tua lebih berpengalaman. Akhirnya kami memutuskan untuk membeli tanah saja.
Nah, sekarang yang jadi pemikiran, mau beli dimana? Beberapa brosur real estate kami dapatkan, baik mencari sendiri maupun dari teman. Kalau seandainya beli di Surabaya, ini bisa untuk jaga-jaga kalau anak nanti kuliah di ITS, maklum suami alumni ITS jadi pengennya anaknya masuk ITS, padahal waktu itu anakku masih umur 6 tahun berarti masih SD kelas 1. Lalu apa beli di Jakarta ya, supaya nanti kalau pensiun bisa kerja lagi buka-buka konsultan atau apalah. Kalau di Solo kayaknya suami kurang tertarik. Aku sih iya aja mau beli dimana.
Akhirnya kami memutuskan untuk membeli tanah di Surabaya saja. Kami menghubungi orang tua, minta tolong untuk dicarikan. Kebetulan adik-adik suami masih kuliah di Surabaya, jadi hayo aja ketika dimintai pertolongan.

Beberapa waktu kami menanti kabar. Ada tanah bahkan rumah ditawarkan pada kami. Mungkin karena tidak jodoh, ada saja yang membuat kami tidak jadi membelinya. Kemudian kabar baik datang. Bapak telpon kalau tanah sepupu kami akan dijual. Bapak dan adik yang waktu itu diajak melihat sepertinya suka. Kemudian ketika suami ada keperluan ke Surabaya disempatkan mampir untuk melihat lokasi tanah yang ditawarkan. Sepertinya suami senang. Tejadilah tawar menawar dan syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam pembelian seperti pajak sudah lunas dan sudah balik nama. Deal!

Alhamdulillah, akhirnya tercapai juga membeli sebidang tanah. Yah, kami sekarang sudah memiliki tanah seluas 275m2 di Surabaya. Harganya seratus juta rupiah. Hasil tabungan kami selama 4 tahun. Angka yang tidak sedikit untuk waktu itu. Ini menghabiskan uang simpanan kami. Mudah-mudahan akan nada tanah-tanah selanjutnya yang akan jadi milik kami. Amin.

5 Mei 2009

Mobil Pertama Kami

Mazda 323 lovely, warna coklat tua keluaran pabrik tahun 1987. Tahun pemakaian januari 1988. Pertama kali nangkring di garasi rumahku tahun 1990. Mobil ini terbeli karena fasilitas mobil yang diberikan perusahaan ke suami dan seluruh karyawan akan segera ditarik lagi. Sebagai gantinya, semua karyawan diberi uang transport.
Ceritanya, sebelum mobil perusahaan benar-benar ditarik. Suami tercinta memutuskan untuk membeli mobil. Dari hari ke hari kami mulai membicarakan kira-kira mobil apa yang akan kami beli. Dari mulai membicarakan mobil Bapak, mobil saudara sampai mobil tetangga yang duluan nangkring di garasenya. Akhirnya kami memutuskan akan membeli sebuah mobil sedan. Cuma belum kepikiran aja mau beli dimana? Mau beli di Jawa dengan minta bantuan Bapak atau saudara untuk mencarikan lalu nanti dikirim ke Bontang atau beli saja di Kaltim. Pilihan tempat mencari mobil di Kaltim waktu itu masih di Balikpapan. Kami pikir-pikir lagi, kapan kira-kira waktu yang longgar untuk bisa jalan-jalan ke Balikpapan dengan tujuan mencari mobil.


Pendek kata. Kesempatan ke Balikpapan kesampaian juga. Waktu itu suami pergi ke Balikpapan bersama teman kerjanya, namanya P. Rudi. Rencananya berangkat naik mobil. Aku ditawari juga untuk ikut. Tapi karena suka mabok darat, aku nggak pengen ikut. Rasanya malas mau pergi, apalagi mengingat jalannya yang naik turun dan berkelok-kelok. Bisa kupastikan kalau nanti sampai tujuan aku pasti lemes dan nggak kuat apa-apa. Dan lagi waktu itu anakku masih keci. Baru dua tahun. Kebayang kalau aku mabok dan harus ngurusi si kecil. Maka kuputuskan untuk di rumah saja.


Paginya suamiku sudah dijemput P. Rudi yang ternyata berangkat sama istrinya. Aku ditawari lagi, tapi tetap saja kutolak ajakannya karena udah kebayang betapa repotnya aku nanti, mabok berat dan harus menjaga anakku. Tujuan utama mencari mobil malah nggak kesampaian nanti.


Sesampainya di Balikpapan suami telpon. Memastikan lagi mobil jenis apa yang akan kami beli. Supaya bisa langsung mencari dan tidak perlu melihat jenis mobil lain. Kami tetap dengan pilihan pertama yaitu ingin memiliki sedan.


Perjalanan Ke Balikpapan butuh waktu 4 sampai 5 jam, berarti untuk sampai dirumah lagi bisa tengah malam atau bahkan dini hari. Benar juga, hampir subuh suami datang. Kulihat ada sedan warna gelap terparkir di depan rumah. Kata suamiku kemudian.
”Itu mobilnya yang Papa beli, Mazda”


Bengong dan kaget, itulah aku, waktu mendengar ucapan suamiku bahwa mobil yang terparkir di depan rumah itu mobil kami. Tak kusangka akan secepat itu mendapatkannya. Kupikir masih melihat-lihat atau memilih-milih dulu. Dan lebih kaget lagi ketika suami mengatakan berapa harga mobil itu. Dua puluh lima juta rupiah. Hah! Berarti tabungan di Bank dan emas yang kusimpan di ibu bisa ludes terpakai untuk membayar mobil Mazda ini. Betapa mahalnya harga mobil ini. Tabungan terkuras dan simpanan emas terjual. Aku harus mulai menabung lagi.


Paginya, setelah langit sudah terang. Baru kelihatan warna asli mobil Mazda yang dibeli suami dari Balikpapan dan dikendarai sendiri untuk sampai rumah. Warnanya coklat tua. Di STNKnya tercatat Dark Brown. Kuamat dari dekat. Lumayan, bodynya ramping. Pasti suamiku tidak salah pilih.


Mobil Mazda masih terparkir di depan rumah, sedang suamiku masih memakai mobil perusahaan yang belum dikembalikan. Masih ada waktu 3 bulan untuk mengembalikannya. Cuma alasan suamiku waktu itu bukan karena masih ada waktu 3 bulan itu. Tapi karena mobil Mazda ini belum terbayar lunas. Kemarin baru bayar uang muka saja tapi mobil sudah boleh dibawa pulang, sedang surat BPKBnya masih ditangan pemiliknya.


Setelah menghitung uang simpanan di Bank, ternyata memang harus menjual emas simpanan. Segera kuhubungi ibu untuk menjualkan emas simpananku dan mentransfer ke rekening suami. Kujelaskan untuk apa hasil menjual emas itu.


Sekarang, saldo di Bank sudah mencukupi karena hasil penjualan emas sudah ditransfer, suamiku segera menghubungi pemilik mobil dan akhirnya transaksi dilaksanakan. Kami kemudian mendapat kelengkapan surat-suratnya dan kwitansi pembelian. Mobil mazda 323 warna coklat sekarang resmi menjadi milik kami. Duh senangnya.


Tragedi terjadi setelah pembayaran mobil. Ceritanya, keesokan paginya setelah pembayaran itu. Entah waktu itu mau apa, yang jelas suami waktu itu masuk mobil dan menstarter. Ternyata mesin mobil tidak mau menyala. Waduh! Kenapa ini? Kami jadi panik. Sudah dibayar kok macet. Apa ya? Kalau macetnya sebelum dibayar kan bisa tidak jadi dibeli, lha ini sehari setelah pembayaran. Suami lalu mengutak-atiknya. Setelah di cek, ternyata Accunya habis. Mudah-mudahan hanya acccunya saja. Dan memang benar, setelah accunya diganti, mobil kembali hidup. Lega rasanya. Untung hanya accunya dan mudah-mudahan hanya accunya saja. Dan Setelah kejadian itu, yang membuat panik, ternyata mobil aman-aman saja.


Sekarang kemana-mana aku, suami dan anakku yang masih umur dua tahun menaiki mobil sedan Mazda 323 lovely warna coklat tua. Mobil pertama yang kami punya yang menguras semua tabunganku. Mudah-mudahan saja awet, tahan lama. Amin.

15 April 2009

berbagi

Beberapa hari ini aku betah berjam-jam didepan komputer, mencoba membuat blog yang nggak jadi-jadi alias nggak sukses. Selain itu aku juga belajar menulis apa saja. Ini kulakukan setelah ikut kursus menulis beberapa hari yang lalu. Saking semangatnya, sampai-sampai banyak kegiatan nggak kepegang. Seperti kegiatanku pagi ini, Rencananya mau ke ATM ngirim uang bulanan anakku yang kuliah di Bandung, uang ini pasti sudah ditunggu karena sekarang sudah tanggal satu, juga mau ngirim uang SPP dan uang jajan anakku yang sekolah di Magelang.

Tadi pagi sebelum suami berangkat kerja kuminta kartu ATM-nya. Sebetulnya ini sudah kurencanakan sehari sebelumnya, agenda utamaku pagi ini ya ke ATM mentransfer uang keanak-anak. Nggak terasa, saking asyiknya didepan komputer ternyata sudah siang sekali. Hari ini rasanya berlalu begitu cepat, sekarang udah jam sebelas lewat dua puluh menit, sebentar lagi jam istirahat makan siang, saatnya suami pulang kerumah untuk makan siang dan istirahat. Kalau sekarang berangkat ke ATM, sepertinya nggak keburu. Belum ganti bajunya, belum perjalanannya, belum lagi nanti kalau di ATM harus ngantri. Kupikir-pikir nanti saja setelah suami berangkat kerja lagi atau agak sorean.

Kumatikan komputer, aku segera ke ruang makan, ngecek apa makan siang sudah siap. Melihat semua sudah siap aku balik kekamar, kulihat hand phoneku di tempat tidur, ada pesan masuk. Dari kakak suami yang di Situbondo. Kubaca pesannya, ternyata sekarang dia di Surabaya sama istrinya mau berobat. Tertulis disitu,
”Hen, bila ada rezeki, aku mohon bantuannya untuk berobat dan kontrol”
Ya Allah, betapa melasnya, untuk berobat saja kakak harus minta bantuan. Padahal sebentar lagi anaknya lulus SMU dan mau melanjutkan ke perguruan tinggi. Pasti butuh biaya banyak. Uang masuknya, uang semesterannya, uang bukunya, uang transportnya dan mungkin masih banyak lagi pengeluaran tak terduga. Kubaca lagi pesannya, bukan “minta bantuan” tapi “mohon bantuan” Ya Allah, kusyukuri keadaanku yang berkecukupan. Segera kuhubungi suami dan kubacakan SMSnya. Kuminta suami menghubungi secepatnya.

Jam dua belas seperempat, seperti biasa suami sudah sampai rumah untuk makan siang dan istirahat. Berdua kami duduk diruang makan, berhadapan menikmati makan siang. Menu siang ini ikan layang bumbu merah dan sayur bayam bening. Tak lupa tahu goreng dan sambal dilengkapi lagi tempe penyet. Aku membalik piring yang sudah dihadapanku. Agak tidak selera sebetulnya untuk mengambil seporsi makan karena kondisi badan agak tidak fit. Tapi tetap saja kutuang nasi dan lauknya. Kupaksakan untuk tetap mengisi perut supaya tidak tambah ambruk. Apalagi nanti sore masih ada acara dan besok selama dua hari penuh ada kursus dari pagi sampai sore. Kulihat suami makan dengan nikmatnya, malah sempat nambah. Padahal tadi waktu mau memulai dan baru duduk bilang,
“Koq sudah kenyang ya…”
“Lho. Makan apa di kantor?”
“Mie ayam”
“Siapa yang bawa?”
”Nggak tahu, orang-orang yang naik grade, kayaknya pada urunan lima ratusan, kayaknya sampai lama ini”
”Maksudnya?”
”Yang urunan banyak, ya sampai lama makan-makannya, bisa sampai Mei”
Kulihat suami mulai membalik piring dan mengambil nasi sedikit.
”Kalau udah kenyang ya nggak usah makan Pa”
”Ah, sedikit saja”
Nasi di piringnya habis, tangannya mulai menarik tempat nasi dan mengambil lagi.
”Wah, koq jadi nambah ya, padahal tadi udah kenyang” kalau udah cocok ya begini, bisa nambah terus.

Makan siang selesai, masih ada waktu untuk istirahat. Setelah sholat dhuhur suami membaringkan tubuhnya ke sofa di ruang keluarga yang sekaligus jadi ruang tamu.
”Kurang lima belas menit ya. Ada savety talk nanti”
Maksudnya jangan lupa membangunkannya lima belas menit sebelum jam masuk kantor. Kubiarkan dia pulas sedang aku duduk di kursi sebelahnya menyelesaikan majalah yang kupinjam dari perpustakaan.

Jam satu kurang lima belas, kubangunkan suami untuk bersiap-siap ke kantor lagi. Tidak perlu berlama-lama akhirnya suami berangkat, aku mengantar sampai pintu saja.

Jam satu seperempat, anak bungsuku datang dari sekolah naik bus perusahaan. Upacara pulang sekolah adalah, ganti baju sekolah dengan baju rumah, makan siang dan dilanjutkan sholat dhuhur. Ini semua dikerjakan dengan komandoku. Kalau tidak cepat-cepat dikomando, sampai jam tigapun mungkin tidak akan makan siang.
”Lhoh, Mama mau apa...?” tanyanya waktu melihat di tempat tidur banyak ragam kain dan perlengkapannya dan juga melihatku sedang memakai kain panjang.
”Enggak kemana-mana, hanya nyoba saja, nanti sore mama ngisi acara praktek memakai kain”
Meskipun sudah berkali-kali memakainya dalam setiap acara, tapi untuk mempraktekkan didepan orang-orang aku harus benar-benar siap. Jangan sampai nanti pas ngisi acara malah kedodoran. Aku coba berbagai cara supaya ada pilihan bagaimana menggunakan kain dan supaya lebih trampil saja menyajikannya nanti. Setelah merasa cukup, kukemasi lagi kain dan perlengkapannya. Aku ingat belum ke ATM.

HP-ku berdering dari ruang tamu. Anakku buru-buru memberikan padaku. Belum sempat kuangkat sudah dimatikan. Kemudian bel pintu berbunyi. Anakku membukakan pintu dan kembali kearahku.
”Ma, kayaknya tante yang nelpon tadi”
Aku segera keluar dan menyambutnya. Mbak Naning sudah ada di depan pintu. Biasanya dia akan telpon sebelum datang. Sekarang sudah didepan pintu. Apalagi sekarang sudah jam tiga lewat, untungnya aku sudah mandi untuk persiapan pergi arisan. Tinggal ganti baju saja.
”Wah, bakalan lama nggak urusannya”


Urusan dagang biasanya makan waktu sampai satu jam, malah kadang lebih. Sore ini ada acara arisan dan aku yang bawain acaranya. Mudah-mudahan nggak lama. Kalau sampai harus milih-milih barang biar besok saja kembali lagi. Syukurlah, urusan dengan mbak naning selesai sebelum jam empat, mbak Naning hanya bayar utang dan ngembalikan barang yang masih dibawa.

Kulihat lagi barang-barang yang akan kupakai untuk mengisi acara arisan, rencananya aku akan mempraktekkan cara memakai kain panjang yang diwiru, kain sarung dan songket. Ku cek lagi, kain panjang sudah ada, kain sarung juga sudah ada, songket akan dibawakan teman, tali sudah, peniti sudah, gesper sudah, selop sudah. Yah, sudah lengkap semua. Tinggal menunggu teman yang akan menjemput, tadi sudah janjian berangkatnya. Jam empat lewat sepuluh, akhirnya temanku datang. Kamipun segera berangkat ketempat arisan. Nanti sajalan ke ATMnya.

Beberapa undangan sudah hadir tapi belum banyak. Jadi acara belum bisa dimulai. Kira-kira seperempat jam kemudian undangan sudah mulai banyak, tapi tidak sebanyak didaftar yang ikut arisan. Maklum ini karena arisan yang terakhir dalam kepengurusan kali ini. Pengurus kemudian membuka acara dan praktek memakai kain segera dimulai. Alhamdulillah lancar. Ada beberapa teman yang tanya dan ikut praktek. Syukurlah, mudah-mudahan bermanfaat. Setelah praktek selesai dilanjutkan acara makan lalu pulang.

Sampai dirumah sudah hampir maghrib, belum sempat ke ATM juga aku. Nggak enak kalau harus mampir ATM karena ikut mobil teman. Ternyata sampai rumah suami belum pulang. Kulihat anakku yang bungsu sedang asyik nonton TV.
”Dik, sudah sholat ashar...?”
”Belum”
”Lhoh...Gimana ini, udah mau maghrib kok tenang-tenang masih nonton TV, ayo sholat dulu”
”Ya”
Kumatikan TV, lalu aku masuk kamar untuk ganti baju. Kututup gorden dan kunyalakan lampu kamar karena sudah mulai gelap. Aku kembali keluar setelah kudengar suara mobil suami memasuki garasi. Kubukakan pintu depan.
”Gimana acaranya? sukses?”
”Ya sukseslah, Cuma pakai kain, sama aja kalau pakai sendiri ke acara kondangan”
Suamiku tersenyum, meletakkan tasnya yang berat lalu membuka sepatu savetynya yang juga berat. Kemudian berjalan menuju ruang makan dan cari minuman.
”Pa, sudah telpon tadi?”
”Sudah, ini ada no rekeningnya”
”Terus, butuh berapa dia?”
“Wah, nggak tahu ya, aku tadi kok nggak nanya”
Suamiku mengambil hand phone lalu menghidupkannya. Kulihat sepertinya dia mau SMS.
“Nggak di telpon aja...?”
“Ya, tadi Anik juga SMS mau pinjam uang untuk bayar uang masuk ITS”
“Lho, nggak nunggu pengumuman UI-nya...?”
“Nggak tahu ya”
“Coba ditelpon, soalnya kalau udah terlanjur bayar, uangnya nggak bisa balik semua. ITS-nya kan masih bisa nunggu. Dipastiin aja dulu UI-nya”

Suami menghubungi kakak yang membutuhkan dana berobat. Agak sungkan kakak menyebutkan nominal dana yang dibutuhkan. Lalu telpon beralih ke sambungan lain, ke adiknya yang mau pinjam uang. Percakapan berlangsung beberapa saat, intinya kami setuju meminjami. Akan ditransfer setelah pengumuman UI-nya. Siapa tahu diterima. Mudah-mudahan saja diterima, karena anaknya pingin kuliah di kedokteran.

Telpon akhirnya terputus setelah ucapan salam. Suami diam memandangku, aku balik memandangnya,
"Kenapa?"
“Lha iya, kita jadi tempat dimintai bantuan ya”
“Ya ndak pa-pa, berarti saudara-saudara masih menganggap kita mampu dan mau memberi bantuan. Nyatanya kita juga bisa ngasih bantuan kan...”

Rencananya setelah isya kami akan mengirim uang ke kakak supaya besok tidak terburu-buru dan tidak kelupaan, karena besok kakak sudah harus berobat. Kesempatan juga untuk ngirim uang bulanan anakku yang tadi siang belum terlaksana. Setelah sholat kami meluncur ke ATM, diperjalanan aku ingat kalau belum nengok teman yang anaknya baru saja dioperasi karena kanker diusus. Harus dibuatkan lubang pembuangan diperut dan sekarang dioperasi lagi untuk dikembalikan fungsi anusnya karena dianggap sudah sembuh.
“Kita belum nengok anaknya Hakim lho”
”O iya, apa sekarang aja ya kerumahnya”
”Ayo, sebentar aja ya, udah malam soalnya”

Dari ATM setelah mentransfer kakak dan anak-anak kami langsung ke rumah Hakim. Sampailah kami di perumahan disnaker tempat Hakim dan keluarganya tinggal, kuucap salam dari luar pagar karena kulihat pagarnya sudah digembok. Balasan salam terdengar dari dalam, kulihat lampu didalam rumah masih menyala. Pintu dibuka, kulihat perempuan muda berdiri yang membukakan, istrinya Hakim. Dia berjalan keluar membukakan pintu pagar. Aku dan suami masuk.
“Ada pak Hakim?”
“Ada bu, silahkan masuk”

Kulihat dua anaknya masih kecil-kecil. Yang besar sepertinya kelas dua SD sedang belajar di ruang tamu. Melihat ada kami, segera membereskan buku-bukunya pindah ke kamar. Yang satunya masih belum sekolah kelihatannya. Lalu Hakim keluar dari kamar, kaget melihat kami datang tapi juga senang. Aku dan suami berbincang-bincang berempat, kulihat anaknya yang habis dioperasi terlihat baik-baik saja, sepertinya sudah sembuh dan sehat, mudah-mudahan saja memang sudah sembuh dan tidak sakit lagi. Setelah dirasa cukup kami pulang. Suami menyematkan amplop ke Hakim.
“Mudah-mudahan bisa membantu untuk berobat”
“Wah, pak, bu, trimakasih banyak”
“Iya, mudah-mudahan cepet sehat dan tidak sakit lagi”

Kami meninggalkan rumah Hakim. Rasanya hati ini plong bisa membantu. Ada kepuasan tersendiri bisa memberi pada orang-orang yang membutuhkan bantuan, apalagi kita tahu kondisinya. Kami berdua lalu pulang.

Sampai di rumah. Kulihat anakku masih belajar. Kulihat meja makan masih rapi, makanannya belum tersentuh. Anakku pasti belum makan. Aku dan suami juga belum makan.
”Dik, ayo makan dulu, sudah malam ini”

Kami bertiga ada diruang makan sekarang, menikmati makan malam, masih dengan makanan yang sama seperti tadi siang. Hanya sekarang ada tambahan model, makanan khas sumatra yang kubawa dari arisan tadi.Kusempatkan makan malam untuk bicara banyak pada anakku.
”Dik, jadi orang harus bisa bagi waktu dengan baik. Kapan waktunya belajar, kapan waktunya sholat, kapan waktunya istirahat, kapan waktunya mberesi kamar, harus bisa dik. Belajar juga harus sungguh-sunguh supaya pintar, kalau pintar bisa digunakan untuk bekerja. Kalau udah bekerja dan dapet uang... apalagi dapet uangnya banyak, nanti bisa untuk mbantu orang, membantu siapa saja yang membutuhkan. Seperti papa tadi, karena papa punya uang banyak, papa bisa bantu saudaranya yang butuh bantuan, papa bisa bantu temennya papa yang butuh. Bisa kan dik nyontoh papa jadi orang kaya dan bisa bantu yang membutuhkan. Bisa kan dik... Insya Allah. Ya dik ya..., ngerti dik?”
”Iya”

31 Maret 2009

catatan pertamaku

Inilah catatan pertamaku di blog.

Awalnya, keinginan membuat blog ini muncul ketika aku selesai mengikuti kursus menulis yang dipandu mbak Muthi (ketua FLP Kaltim). Pertemuannya sekitar empat jam. Tapi ini sangat berarti dan jadi melek.
Ceritanya, seorang teman ngasih tahu kalau akan ada kursus menulis.
"Nulis apa?" tanyaku waktu itu.
"ya apa saja, siapa tahu nanti bisa mengarang cerita".
Bener juga ya... Nggak ada salahnya kalau ikut, paling tidak, tahu apa yang akan diberikannya nanti dan bisa dipakai ngebimbing anakku yang masih klas lima SD, lumayan, dapet ilmu. Gratis lagi.
Kursuspun berlangsung, kesan pertama waktu mbak Muthi mengenalkan diri..., biasa-biasa aja. Orangnya sederhana, bicaranya juga nggak njlimet. Slide-slide yang ditampilkan dilayar terus berganti, kemudian mbak Muthi menanyakan.
"Sebenarnya siapa sih yang bisa menulis...?".
Peserta kursus yang waktu itu kutahu agak membludak, karena melebihi kapasitas pendaftaran, serempak menjawab,
"ya penulislah mbak, ya yang pinter mengarang". Mbak Muthi hanya tersenyum, lalu katanya. "Siapa saja bisa menulis ibu-ibu, hanya saja mau apa tidak memulainya".
Ah, masak ia sih semua bisa menulis? lha kayak aku ini, wong menyusun kata aja nggak becus, apalagi mau menulis. Mau cari ide dimana?. Enak aja mbak muthi ini ngomong "semua bisa menulis" Lalu katanya lagi,
"Begini ibu-ibu, Apa saja sebenarnya bisa ditulis... mulailah menulis apa-apa yang ibu lakukan setiap hari, seperti membuat diary".
Menarik memang arahannya, meskipun agak pesimis. Bisa enggak ya aku mempraktekkan, tapi aku tetap berusaha mengikuti dengan baik. Niatku tadi kan ingin tahu dan belajar. Yah, inilah saatnya belajar dan ingin mempraktekkan. Mudah-mudahan saja kalau nanti ada prakteknya tidak kehilangan ide atau kata-kata. Mudah-mudahan saja benar-benar bisa menulis, seperti apa yang dikatakan mbak Muthi kalau semua sebenarnya bisa menulis dan apa saja bisa ditulis. Tinggal kemauan kitanya saja. Oke mbak Muthi, aku akan lebih konsentrasi.
Akhirnya, waktunya mempraktekkan. Mbak Muthi memberi waktu tiga menit, benar-benar hanya tiga menit untuk membuat sebuah karangan. Sebelumnya mbak Muthi mengarahkan kalau untuk mengarang kali ini, akan membuat karangan yang kalimatnya itu, kata per katanya disusun dengan awalan abjad yang urut dari A sampai Z.
Walah-walah, mbak Muthi..., membuat karangan bebas saja susah, apalagi dibatasi tiga menit dengan batasan huruf-huruf awal yang berurutan. Akhirnya kuputar otak juga, tidak mau kalah dengan teman dikanan dan kiriku. Kira-kira apa yang bisa kutulis ya....
Waktu tiga menitpun berlalu, mbak Muthi memberi aba-aba berhenti. Mbak Muthi ingin tahu siapa yang bisa menyelesaikan sampai Z. Ternyata tak satupun bisa menyelesaikan. Aku juga hanya mampu merangkai sampai huruf H, Itupun dalam bentuk puisi. Hi hi hi, bener kan... susah sekali... Dimana mudahnya mbak Muthi? Katanya semua bisa menulis...
Kemudian mbak Muthi membacakan hasil tulisan "tiga menit". Ada beberapa yang dibacakan. "Ternyata kalau dibatasi waktunya sulit ya?" Kata mbak Muthi pada semua peserta. Serempak, kami mengamininya. Kata mbak Muthi kemudian,
"memang kalau dibatasi waktunya, dibatasi cara penulisannya, menulis itu jadi tidak mudah lagi. Apalagi kalau keadaan/ruangan atau suasana yang tidak tenang".
Lalu bagaimana caranya bisa menulis? Untuk pemula atau yang baru belajar, ciptakan dulu kepekaan perasaan. Bisa perasaan sedih, gembira, jengkel, marah. Karena dengan perasaan, akan membuat lebih mudah menuangkan ide-ide. Harus mau mencoba menulis, apa saja yang ada dipikiran, tuangkan saja. Tulis terus, tulis terus, jangan membacanya sebelum selesai. Nah, kalau sudah selesai, barulah dibaca. nanti pasti akan kaget ketika membacanya. Ternyata bisa juga kan menulis. Katanya.

Diakhir kursus, mbak Muthi memberikan kesempatan menulis lagi. Waktunya tiga puluh menit, judul bebas, karangan bebas. Mbak Muthi hanya mengarahkan.
"Ibu-ibu ceritakan saja benda apa atau pengalaman apa yang tidak bisa ibu lupakan"
"Tumbuhkan perasaan ibu-ibu. Apakah ibu punya pengalaman yang menyenangkan, menyedihkan, menjengkelkan".
Semula aku bingung akan menulis apa? Tak ada sedikitpun terlintas dipikiranku. Kulihat teman disebelah kanan dan kiri telah menulis berderet deret kalimat. Ih..., cepatnya... Sekelebat aku teringat pada ibu mertuaku yang telah berpulang. Ah... siapa tahu ini bisa jadi tulisan pertamaku. Tapi apa ya yang bisa kutulis dari kenangan itu. Kemudian kutulis saja judulnya "Kain Panjang Ibu".
Satu kalimat telah jadi, tapi kuhapus lagi karena tidak sreg. Lalu satu kalimat lagi kubuat, jangan dihapus lagi, pikirku. Kata mbak Muthi tadi, tulis saja, tulis saja. Ya! Akhirnya, kata demi kata mulai bisa kurangkum, kalimat demi kalimat mulai bisa kujalin dengan urut. Tak terasa separo halaman telah penuh dengan cerita. Dan ternya akupun bisa merampungkan karangan singkatku tepat waktu.
Giliran membacakan karangan dari peserta kursus. Siapa saja diberi kesempatan untuk membacanya. Seorang teman memulai membacakan ceritanya. Uih, hebat! satu halaman penuh. Aku juga ingin membacakan karanganku. Supaya bisa langsung dikoreksi, mana yang harus diperbaiki. Mudah-mudahan saja dengan membaca karangan singkatku ini, aku bisa jadi lebih percaya diri untuk menulis.
Sebelumnya kusebutkan namaku dengan lancar, lalu kumulai membaca judul karanganku pelan sekali. Ah... kenapa tidak ada suaranya. Kerongkonganku terasa tercekat. Mbak Muthi menanyakan lagi judul karanganku. Kutarik nafas panjang untuk menahan tangisku. Aku mengulang membaca judul karanganku. Lagi-lagi tak bisa kusuarakan. Mataku mulai berkaca-kaca menahan sisa kesedihan sewaktu menulis. Sepertinya aku tidak bisa membacanya, sepertinya tangisku akan pecah. Maaf mbak, bisa dibacakan saja, saya nggak kuat untuk membacanya.
Yah..., Saat menulis tadi aku sempat berurai air mata. Aku begitu larut dalam cerita. Seolah aku benar-benar sedang mengalaminya saat itu. Penaku juga meluncur mulus diatas kertas, isakku juga lancar, tak kuasa kuhentikan. Aku juga nggak peduli dengan teman di kanan-kiriku yang saat itu juga sedang menulis. Sekarang, untuk membacanya lagi, aku tidak sanggup.
Seorang panitia mengambil karanganku dan membacakannya dengan penuh penghayatan. Seperti yang kumau, seperti tahu maksudku. Penggalan-penggalan kata dan kalimatnya pas sekali dibacakan. Lagi-lagi aku larut dalam kesedihan, isakanku bertambah kuat, malah sampai sesenggukan. Kalimat terakhirpun dibacakan. Aku masih sesenggukan. Terimakasih. Telah membacakan karanganku dengan baik.
Mbak Muthi kemudian bilang.
"Sangat menyentuh". Aku hanya bisa tersenyum. Dia minta hasil tulisan dari semua peserta untuk di kumpulkan ke panitia supaya bisa diketik. Dan meminta sebaiknya dari hasil ketikan nanti bisa disusun atau bisa dijadikan buku. Dan juga sebaiknya setelah kursus menulis ini dibuatlah perkumpulan atau pertemuan lanjutan, supaya ada hasilnya.
Kursus akhirnya selesai. Aku mendapat pelajaran yang bagus sekali hari ini. Aku bisa memulai bercerita dalam tulisan, mulai saat ini. Apa saja akan kucoba untuk kutulis. Walau harus belajar banyak. Terimakasih mbak Muthi.