31 Maret 2009

catatan pertamaku

Inilah catatan pertamaku di blog.

Awalnya, keinginan membuat blog ini muncul ketika aku selesai mengikuti kursus menulis yang dipandu mbak Muthi (ketua FLP Kaltim). Pertemuannya sekitar empat jam. Tapi ini sangat berarti dan jadi melek.
Ceritanya, seorang teman ngasih tahu kalau akan ada kursus menulis.
"Nulis apa?" tanyaku waktu itu.
"ya apa saja, siapa tahu nanti bisa mengarang cerita".
Bener juga ya... Nggak ada salahnya kalau ikut, paling tidak, tahu apa yang akan diberikannya nanti dan bisa dipakai ngebimbing anakku yang masih klas lima SD, lumayan, dapet ilmu. Gratis lagi.
Kursuspun berlangsung, kesan pertama waktu mbak Muthi mengenalkan diri..., biasa-biasa aja. Orangnya sederhana, bicaranya juga nggak njlimet. Slide-slide yang ditampilkan dilayar terus berganti, kemudian mbak Muthi menanyakan.
"Sebenarnya siapa sih yang bisa menulis...?".
Peserta kursus yang waktu itu kutahu agak membludak, karena melebihi kapasitas pendaftaran, serempak menjawab,
"ya penulislah mbak, ya yang pinter mengarang". Mbak Muthi hanya tersenyum, lalu katanya. "Siapa saja bisa menulis ibu-ibu, hanya saja mau apa tidak memulainya".
Ah, masak ia sih semua bisa menulis? lha kayak aku ini, wong menyusun kata aja nggak becus, apalagi mau menulis. Mau cari ide dimana?. Enak aja mbak muthi ini ngomong "semua bisa menulis" Lalu katanya lagi,
"Begini ibu-ibu, Apa saja sebenarnya bisa ditulis... mulailah menulis apa-apa yang ibu lakukan setiap hari, seperti membuat diary".
Menarik memang arahannya, meskipun agak pesimis. Bisa enggak ya aku mempraktekkan, tapi aku tetap berusaha mengikuti dengan baik. Niatku tadi kan ingin tahu dan belajar. Yah, inilah saatnya belajar dan ingin mempraktekkan. Mudah-mudahan saja kalau nanti ada prakteknya tidak kehilangan ide atau kata-kata. Mudah-mudahan saja benar-benar bisa menulis, seperti apa yang dikatakan mbak Muthi kalau semua sebenarnya bisa menulis dan apa saja bisa ditulis. Tinggal kemauan kitanya saja. Oke mbak Muthi, aku akan lebih konsentrasi.
Akhirnya, waktunya mempraktekkan. Mbak Muthi memberi waktu tiga menit, benar-benar hanya tiga menit untuk membuat sebuah karangan. Sebelumnya mbak Muthi mengarahkan kalau untuk mengarang kali ini, akan membuat karangan yang kalimatnya itu, kata per katanya disusun dengan awalan abjad yang urut dari A sampai Z.
Walah-walah, mbak Muthi..., membuat karangan bebas saja susah, apalagi dibatasi tiga menit dengan batasan huruf-huruf awal yang berurutan. Akhirnya kuputar otak juga, tidak mau kalah dengan teman dikanan dan kiriku. Kira-kira apa yang bisa kutulis ya....
Waktu tiga menitpun berlalu, mbak Muthi memberi aba-aba berhenti. Mbak Muthi ingin tahu siapa yang bisa menyelesaikan sampai Z. Ternyata tak satupun bisa menyelesaikan. Aku juga hanya mampu merangkai sampai huruf H, Itupun dalam bentuk puisi. Hi hi hi, bener kan... susah sekali... Dimana mudahnya mbak Muthi? Katanya semua bisa menulis...
Kemudian mbak Muthi membacakan hasil tulisan "tiga menit". Ada beberapa yang dibacakan. "Ternyata kalau dibatasi waktunya sulit ya?" Kata mbak Muthi pada semua peserta. Serempak, kami mengamininya. Kata mbak Muthi kemudian,
"memang kalau dibatasi waktunya, dibatasi cara penulisannya, menulis itu jadi tidak mudah lagi. Apalagi kalau keadaan/ruangan atau suasana yang tidak tenang".
Lalu bagaimana caranya bisa menulis? Untuk pemula atau yang baru belajar, ciptakan dulu kepekaan perasaan. Bisa perasaan sedih, gembira, jengkel, marah. Karena dengan perasaan, akan membuat lebih mudah menuangkan ide-ide. Harus mau mencoba menulis, apa saja yang ada dipikiran, tuangkan saja. Tulis terus, tulis terus, jangan membacanya sebelum selesai. Nah, kalau sudah selesai, barulah dibaca. nanti pasti akan kaget ketika membacanya. Ternyata bisa juga kan menulis. Katanya.

Diakhir kursus, mbak Muthi memberikan kesempatan menulis lagi. Waktunya tiga puluh menit, judul bebas, karangan bebas. Mbak Muthi hanya mengarahkan.
"Ibu-ibu ceritakan saja benda apa atau pengalaman apa yang tidak bisa ibu lupakan"
"Tumbuhkan perasaan ibu-ibu. Apakah ibu punya pengalaman yang menyenangkan, menyedihkan, menjengkelkan".
Semula aku bingung akan menulis apa? Tak ada sedikitpun terlintas dipikiranku. Kulihat teman disebelah kanan dan kiri telah menulis berderet deret kalimat. Ih..., cepatnya... Sekelebat aku teringat pada ibu mertuaku yang telah berpulang. Ah... siapa tahu ini bisa jadi tulisan pertamaku. Tapi apa ya yang bisa kutulis dari kenangan itu. Kemudian kutulis saja judulnya "Kain Panjang Ibu".
Satu kalimat telah jadi, tapi kuhapus lagi karena tidak sreg. Lalu satu kalimat lagi kubuat, jangan dihapus lagi, pikirku. Kata mbak Muthi tadi, tulis saja, tulis saja. Ya! Akhirnya, kata demi kata mulai bisa kurangkum, kalimat demi kalimat mulai bisa kujalin dengan urut. Tak terasa separo halaman telah penuh dengan cerita. Dan ternya akupun bisa merampungkan karangan singkatku tepat waktu.
Giliran membacakan karangan dari peserta kursus. Siapa saja diberi kesempatan untuk membacanya. Seorang teman memulai membacakan ceritanya. Uih, hebat! satu halaman penuh. Aku juga ingin membacakan karanganku. Supaya bisa langsung dikoreksi, mana yang harus diperbaiki. Mudah-mudahan saja dengan membaca karangan singkatku ini, aku bisa jadi lebih percaya diri untuk menulis.
Sebelumnya kusebutkan namaku dengan lancar, lalu kumulai membaca judul karanganku pelan sekali. Ah... kenapa tidak ada suaranya. Kerongkonganku terasa tercekat. Mbak Muthi menanyakan lagi judul karanganku. Kutarik nafas panjang untuk menahan tangisku. Aku mengulang membaca judul karanganku. Lagi-lagi tak bisa kusuarakan. Mataku mulai berkaca-kaca menahan sisa kesedihan sewaktu menulis. Sepertinya aku tidak bisa membacanya, sepertinya tangisku akan pecah. Maaf mbak, bisa dibacakan saja, saya nggak kuat untuk membacanya.
Yah..., Saat menulis tadi aku sempat berurai air mata. Aku begitu larut dalam cerita. Seolah aku benar-benar sedang mengalaminya saat itu. Penaku juga meluncur mulus diatas kertas, isakku juga lancar, tak kuasa kuhentikan. Aku juga nggak peduli dengan teman di kanan-kiriku yang saat itu juga sedang menulis. Sekarang, untuk membacanya lagi, aku tidak sanggup.
Seorang panitia mengambil karanganku dan membacakannya dengan penuh penghayatan. Seperti yang kumau, seperti tahu maksudku. Penggalan-penggalan kata dan kalimatnya pas sekali dibacakan. Lagi-lagi aku larut dalam kesedihan, isakanku bertambah kuat, malah sampai sesenggukan. Kalimat terakhirpun dibacakan. Aku masih sesenggukan. Terimakasih. Telah membacakan karanganku dengan baik.
Mbak Muthi kemudian bilang.
"Sangat menyentuh". Aku hanya bisa tersenyum. Dia minta hasil tulisan dari semua peserta untuk di kumpulkan ke panitia supaya bisa diketik. Dan meminta sebaiknya dari hasil ketikan nanti bisa disusun atau bisa dijadikan buku. Dan juga sebaiknya setelah kursus menulis ini dibuatlah perkumpulan atau pertemuan lanjutan, supaya ada hasilnya.
Kursus akhirnya selesai. Aku mendapat pelajaran yang bagus sekali hari ini. Aku bisa memulai bercerita dalam tulisan, mulai saat ini. Apa saja akan kucoba untuk kutulis. Walau harus belajar banyak. Terimakasih mbak Muthi.