15 April 2009

berbagi

Beberapa hari ini aku betah berjam-jam didepan komputer, mencoba membuat blog yang nggak jadi-jadi alias nggak sukses. Selain itu aku juga belajar menulis apa saja. Ini kulakukan setelah ikut kursus menulis beberapa hari yang lalu. Saking semangatnya, sampai-sampai banyak kegiatan nggak kepegang. Seperti kegiatanku pagi ini, Rencananya mau ke ATM ngirim uang bulanan anakku yang kuliah di Bandung, uang ini pasti sudah ditunggu karena sekarang sudah tanggal satu, juga mau ngirim uang SPP dan uang jajan anakku yang sekolah di Magelang.

Tadi pagi sebelum suami berangkat kerja kuminta kartu ATM-nya. Sebetulnya ini sudah kurencanakan sehari sebelumnya, agenda utamaku pagi ini ya ke ATM mentransfer uang keanak-anak. Nggak terasa, saking asyiknya didepan komputer ternyata sudah siang sekali. Hari ini rasanya berlalu begitu cepat, sekarang udah jam sebelas lewat dua puluh menit, sebentar lagi jam istirahat makan siang, saatnya suami pulang kerumah untuk makan siang dan istirahat. Kalau sekarang berangkat ke ATM, sepertinya nggak keburu. Belum ganti bajunya, belum perjalanannya, belum lagi nanti kalau di ATM harus ngantri. Kupikir-pikir nanti saja setelah suami berangkat kerja lagi atau agak sorean.

Kumatikan komputer, aku segera ke ruang makan, ngecek apa makan siang sudah siap. Melihat semua sudah siap aku balik kekamar, kulihat hand phoneku di tempat tidur, ada pesan masuk. Dari kakak suami yang di Situbondo. Kubaca pesannya, ternyata sekarang dia di Surabaya sama istrinya mau berobat. Tertulis disitu,
”Hen, bila ada rezeki, aku mohon bantuannya untuk berobat dan kontrol”
Ya Allah, betapa melasnya, untuk berobat saja kakak harus minta bantuan. Padahal sebentar lagi anaknya lulus SMU dan mau melanjutkan ke perguruan tinggi. Pasti butuh biaya banyak. Uang masuknya, uang semesterannya, uang bukunya, uang transportnya dan mungkin masih banyak lagi pengeluaran tak terduga. Kubaca lagi pesannya, bukan “minta bantuan” tapi “mohon bantuan” Ya Allah, kusyukuri keadaanku yang berkecukupan. Segera kuhubungi suami dan kubacakan SMSnya. Kuminta suami menghubungi secepatnya.

Jam dua belas seperempat, seperti biasa suami sudah sampai rumah untuk makan siang dan istirahat. Berdua kami duduk diruang makan, berhadapan menikmati makan siang. Menu siang ini ikan layang bumbu merah dan sayur bayam bening. Tak lupa tahu goreng dan sambal dilengkapi lagi tempe penyet. Aku membalik piring yang sudah dihadapanku. Agak tidak selera sebetulnya untuk mengambil seporsi makan karena kondisi badan agak tidak fit. Tapi tetap saja kutuang nasi dan lauknya. Kupaksakan untuk tetap mengisi perut supaya tidak tambah ambruk. Apalagi nanti sore masih ada acara dan besok selama dua hari penuh ada kursus dari pagi sampai sore. Kulihat suami makan dengan nikmatnya, malah sempat nambah. Padahal tadi waktu mau memulai dan baru duduk bilang,
“Koq sudah kenyang ya…”
“Lho. Makan apa di kantor?”
“Mie ayam”
“Siapa yang bawa?”
”Nggak tahu, orang-orang yang naik grade, kayaknya pada urunan lima ratusan, kayaknya sampai lama ini”
”Maksudnya?”
”Yang urunan banyak, ya sampai lama makan-makannya, bisa sampai Mei”
Kulihat suami mulai membalik piring dan mengambil nasi sedikit.
”Kalau udah kenyang ya nggak usah makan Pa”
”Ah, sedikit saja”
Nasi di piringnya habis, tangannya mulai menarik tempat nasi dan mengambil lagi.
”Wah, koq jadi nambah ya, padahal tadi udah kenyang” kalau udah cocok ya begini, bisa nambah terus.

Makan siang selesai, masih ada waktu untuk istirahat. Setelah sholat dhuhur suami membaringkan tubuhnya ke sofa di ruang keluarga yang sekaligus jadi ruang tamu.
”Kurang lima belas menit ya. Ada savety talk nanti”
Maksudnya jangan lupa membangunkannya lima belas menit sebelum jam masuk kantor. Kubiarkan dia pulas sedang aku duduk di kursi sebelahnya menyelesaikan majalah yang kupinjam dari perpustakaan.

Jam satu kurang lima belas, kubangunkan suami untuk bersiap-siap ke kantor lagi. Tidak perlu berlama-lama akhirnya suami berangkat, aku mengantar sampai pintu saja.

Jam satu seperempat, anak bungsuku datang dari sekolah naik bus perusahaan. Upacara pulang sekolah adalah, ganti baju sekolah dengan baju rumah, makan siang dan dilanjutkan sholat dhuhur. Ini semua dikerjakan dengan komandoku. Kalau tidak cepat-cepat dikomando, sampai jam tigapun mungkin tidak akan makan siang.
”Lhoh, Mama mau apa...?” tanyanya waktu melihat di tempat tidur banyak ragam kain dan perlengkapannya dan juga melihatku sedang memakai kain panjang.
”Enggak kemana-mana, hanya nyoba saja, nanti sore mama ngisi acara praktek memakai kain”
Meskipun sudah berkali-kali memakainya dalam setiap acara, tapi untuk mempraktekkan didepan orang-orang aku harus benar-benar siap. Jangan sampai nanti pas ngisi acara malah kedodoran. Aku coba berbagai cara supaya ada pilihan bagaimana menggunakan kain dan supaya lebih trampil saja menyajikannya nanti. Setelah merasa cukup, kukemasi lagi kain dan perlengkapannya. Aku ingat belum ke ATM.

HP-ku berdering dari ruang tamu. Anakku buru-buru memberikan padaku. Belum sempat kuangkat sudah dimatikan. Kemudian bel pintu berbunyi. Anakku membukakan pintu dan kembali kearahku.
”Ma, kayaknya tante yang nelpon tadi”
Aku segera keluar dan menyambutnya. Mbak Naning sudah ada di depan pintu. Biasanya dia akan telpon sebelum datang. Sekarang sudah didepan pintu. Apalagi sekarang sudah jam tiga lewat, untungnya aku sudah mandi untuk persiapan pergi arisan. Tinggal ganti baju saja.
”Wah, bakalan lama nggak urusannya”


Urusan dagang biasanya makan waktu sampai satu jam, malah kadang lebih. Sore ini ada acara arisan dan aku yang bawain acaranya. Mudah-mudahan nggak lama. Kalau sampai harus milih-milih barang biar besok saja kembali lagi. Syukurlah, urusan dengan mbak naning selesai sebelum jam empat, mbak Naning hanya bayar utang dan ngembalikan barang yang masih dibawa.

Kulihat lagi barang-barang yang akan kupakai untuk mengisi acara arisan, rencananya aku akan mempraktekkan cara memakai kain panjang yang diwiru, kain sarung dan songket. Ku cek lagi, kain panjang sudah ada, kain sarung juga sudah ada, songket akan dibawakan teman, tali sudah, peniti sudah, gesper sudah, selop sudah. Yah, sudah lengkap semua. Tinggal menunggu teman yang akan menjemput, tadi sudah janjian berangkatnya. Jam empat lewat sepuluh, akhirnya temanku datang. Kamipun segera berangkat ketempat arisan. Nanti sajalan ke ATMnya.

Beberapa undangan sudah hadir tapi belum banyak. Jadi acara belum bisa dimulai. Kira-kira seperempat jam kemudian undangan sudah mulai banyak, tapi tidak sebanyak didaftar yang ikut arisan. Maklum ini karena arisan yang terakhir dalam kepengurusan kali ini. Pengurus kemudian membuka acara dan praktek memakai kain segera dimulai. Alhamdulillah lancar. Ada beberapa teman yang tanya dan ikut praktek. Syukurlah, mudah-mudahan bermanfaat. Setelah praktek selesai dilanjutkan acara makan lalu pulang.

Sampai dirumah sudah hampir maghrib, belum sempat ke ATM juga aku. Nggak enak kalau harus mampir ATM karena ikut mobil teman. Ternyata sampai rumah suami belum pulang. Kulihat anakku yang bungsu sedang asyik nonton TV.
”Dik, sudah sholat ashar...?”
”Belum”
”Lhoh...Gimana ini, udah mau maghrib kok tenang-tenang masih nonton TV, ayo sholat dulu”
”Ya”
Kumatikan TV, lalu aku masuk kamar untuk ganti baju. Kututup gorden dan kunyalakan lampu kamar karena sudah mulai gelap. Aku kembali keluar setelah kudengar suara mobil suami memasuki garasi. Kubukakan pintu depan.
”Gimana acaranya? sukses?”
”Ya sukseslah, Cuma pakai kain, sama aja kalau pakai sendiri ke acara kondangan”
Suamiku tersenyum, meletakkan tasnya yang berat lalu membuka sepatu savetynya yang juga berat. Kemudian berjalan menuju ruang makan dan cari minuman.
”Pa, sudah telpon tadi?”
”Sudah, ini ada no rekeningnya”
”Terus, butuh berapa dia?”
“Wah, nggak tahu ya, aku tadi kok nggak nanya”
Suamiku mengambil hand phone lalu menghidupkannya. Kulihat sepertinya dia mau SMS.
“Nggak di telpon aja...?”
“Ya, tadi Anik juga SMS mau pinjam uang untuk bayar uang masuk ITS”
“Lho, nggak nunggu pengumuman UI-nya...?”
“Nggak tahu ya”
“Coba ditelpon, soalnya kalau udah terlanjur bayar, uangnya nggak bisa balik semua. ITS-nya kan masih bisa nunggu. Dipastiin aja dulu UI-nya”

Suami menghubungi kakak yang membutuhkan dana berobat. Agak sungkan kakak menyebutkan nominal dana yang dibutuhkan. Lalu telpon beralih ke sambungan lain, ke adiknya yang mau pinjam uang. Percakapan berlangsung beberapa saat, intinya kami setuju meminjami. Akan ditransfer setelah pengumuman UI-nya. Siapa tahu diterima. Mudah-mudahan saja diterima, karena anaknya pingin kuliah di kedokteran.

Telpon akhirnya terputus setelah ucapan salam. Suami diam memandangku, aku balik memandangnya,
"Kenapa?"
“Lha iya, kita jadi tempat dimintai bantuan ya”
“Ya ndak pa-pa, berarti saudara-saudara masih menganggap kita mampu dan mau memberi bantuan. Nyatanya kita juga bisa ngasih bantuan kan...”

Rencananya setelah isya kami akan mengirim uang ke kakak supaya besok tidak terburu-buru dan tidak kelupaan, karena besok kakak sudah harus berobat. Kesempatan juga untuk ngirim uang bulanan anakku yang tadi siang belum terlaksana. Setelah sholat kami meluncur ke ATM, diperjalanan aku ingat kalau belum nengok teman yang anaknya baru saja dioperasi karena kanker diusus. Harus dibuatkan lubang pembuangan diperut dan sekarang dioperasi lagi untuk dikembalikan fungsi anusnya karena dianggap sudah sembuh.
“Kita belum nengok anaknya Hakim lho”
”O iya, apa sekarang aja ya kerumahnya”
”Ayo, sebentar aja ya, udah malam soalnya”

Dari ATM setelah mentransfer kakak dan anak-anak kami langsung ke rumah Hakim. Sampailah kami di perumahan disnaker tempat Hakim dan keluarganya tinggal, kuucap salam dari luar pagar karena kulihat pagarnya sudah digembok. Balasan salam terdengar dari dalam, kulihat lampu didalam rumah masih menyala. Pintu dibuka, kulihat perempuan muda berdiri yang membukakan, istrinya Hakim. Dia berjalan keluar membukakan pintu pagar. Aku dan suami masuk.
“Ada pak Hakim?”
“Ada bu, silahkan masuk”

Kulihat dua anaknya masih kecil-kecil. Yang besar sepertinya kelas dua SD sedang belajar di ruang tamu. Melihat ada kami, segera membereskan buku-bukunya pindah ke kamar. Yang satunya masih belum sekolah kelihatannya. Lalu Hakim keluar dari kamar, kaget melihat kami datang tapi juga senang. Aku dan suami berbincang-bincang berempat, kulihat anaknya yang habis dioperasi terlihat baik-baik saja, sepertinya sudah sembuh dan sehat, mudah-mudahan saja memang sudah sembuh dan tidak sakit lagi. Setelah dirasa cukup kami pulang. Suami menyematkan amplop ke Hakim.
“Mudah-mudahan bisa membantu untuk berobat”
“Wah, pak, bu, trimakasih banyak”
“Iya, mudah-mudahan cepet sehat dan tidak sakit lagi”

Kami meninggalkan rumah Hakim. Rasanya hati ini plong bisa membantu. Ada kepuasan tersendiri bisa memberi pada orang-orang yang membutuhkan bantuan, apalagi kita tahu kondisinya. Kami berdua lalu pulang.

Sampai di rumah. Kulihat anakku masih belajar. Kulihat meja makan masih rapi, makanannya belum tersentuh. Anakku pasti belum makan. Aku dan suami juga belum makan.
”Dik, ayo makan dulu, sudah malam ini”

Kami bertiga ada diruang makan sekarang, menikmati makan malam, masih dengan makanan yang sama seperti tadi siang. Hanya sekarang ada tambahan model, makanan khas sumatra yang kubawa dari arisan tadi.Kusempatkan makan malam untuk bicara banyak pada anakku.
”Dik, jadi orang harus bisa bagi waktu dengan baik. Kapan waktunya belajar, kapan waktunya sholat, kapan waktunya istirahat, kapan waktunya mberesi kamar, harus bisa dik. Belajar juga harus sungguh-sunguh supaya pintar, kalau pintar bisa digunakan untuk bekerja. Kalau udah bekerja dan dapet uang... apalagi dapet uangnya banyak, nanti bisa untuk mbantu orang, membantu siapa saja yang membutuhkan. Seperti papa tadi, karena papa punya uang banyak, papa bisa bantu saudaranya yang butuh bantuan, papa bisa bantu temennya papa yang butuh. Bisa kan dik nyontoh papa jadi orang kaya dan bisa bantu yang membutuhkan. Bisa kan dik... Insya Allah. Ya dik ya..., ngerti dik?”
”Iya”