8 April 2010

Nasib... Nasib.....

Hari ini benar-benar diuji kesabaranku, setelah kudapati SMS yang baru sempat kubuka 3 jam dari waktu pengirimannya. Dibuat dalam 2 kali pengiriman. Bagaimana tidak marah jika bunyi SMSnya seperti ini, pertama:

“Mbak, suami saya itu sudah tahu, tapi kenapa mbak pertama telpon ke kantor dan sekarang pakai kirim fax segala. Suami saya tidak akan pernah marah sama saya karena suami saya sudah tahu. Dan apa jawaban suami saya waktu mbak ngasih tahu? Pasti kan disuruh sabar. Makanya itu yang sering saya jawab ke mbak. Karena uang tersebut, kan saya harus minta ke suami saya. Ada orang yang masih punya hutang ke saya dari tahun 2005 tapi saya tidak pernah telpon suaminya ke kantor dan tidak pernah kirim fax segala, tapi tetap saya ingatkan”

Gemuruh didadaku seakan terdengar sampai ke ruang tamu, dag dig dug... dag dig dug. Ingin berteriak, ingin memaki, ingin kutelepon langsung dan mengumpatnya.”Dasar nggak tahu diri, dasar pembohong, dasar pengkhianat, ngapain ngurusi utang orang ke kamu, yang penting utang kamu ke aku cepat dibayar!!!!” dan mungkin seribu makian lagi akan kuucapkan. Seakan sekujur tubuhku terbakar siap melalap sekelilingku. Segera ku beranjak dari tempat duduk yang terasa tidak nyaman lagi, kakiku juga terasa tidak nyaman melangkah, gemerutuk jari-jari tangan dan gigiku mengiringi gerakan tubuhku. ingin kulampiaskan kemarahan.

Aku terus berjalan mondar-mandir di dalam kamar. Tapi kemudian.... aku kembali duduk di bibir tempat tidur, ditanganku masih terpegang HP siap membaca SMS lanjutannya. Kaki mulai kuselonjorkan.

“Ya Allah... kendalikan amarahku, jangan sampai aku bertindak ceroboh karena marah yang membara”

Kuucap istighfar berkali-kali sampai akhirnya bisa kutenangkan. Alhamdulillah kepalaku masih bisa mengendalikan deguban amarah didadaku. Meskipun nafasku masih belum normal. Maka kubaca SMS selanjutanya.

“Walau dia lambat bayarnya sampai sekarang. Tidak sombong, hutangnya beliau ke saya masih tujuh setengan juta. Sekali lagi saya tidak akan mau tahu dengan ini. Maaf ya mbak! saya juga dagang, tahu kok. Sekali lagi saya minta maaf lahir batin”

Harus kubalas SMSnya, secepatnya. Mulai dari mana ya? Apa harus kubalas kata-katanya dengan amarahku juga? Ya...? Tidak...! tidak perlu dengan kata-kata kasar, tidak perlu dengan kalimat-kalimat menyakitkan. Bukan berarti aku pengecut dan takut. Aku difihak yang benar kenapa harus takut. Aku punya bukti-bukti. Aku hanya tidak ingin menjadi lebih runyam dan malah tidak terbayar hutangnya. Harus kujelaskan mengapa sampai kulayangkan email ke suaminya bukan fax seperti yang ditulisnya di SMS. Tak mungkin kujelaskan dengan mengirim SMS padanya. Lalu pakai apa? nggak mungkin juga pakai email suaminya seperti yang kulakukan sebelumnya.

Untunglah kemajuan teknologi dengan adanya Face Book yang kubisa walau sedikit, dapat mempermudah keadaan setelah bertanya pada anakku yang sudah pulang dari sekolah. Kucari alamat email di daftar pertemanan dari seorang teman dan akhirnya kudapatkan alamatnya. Segera mulai kuketik kalimat demi kalimat untuk menjelaskan keadaan.

Kuawali dengan ucapan salam dan selanjutnya,...

“Mbak, sebelumnya saya minta maaf kalau email saya ke Bapak perihal “Permohonan pelunasan hutang mbak” menjadi rumit. Ini saya lakukan karena ketika saya SMS untuk mengingatkan uang yang harus dikirim ke saya tidak diindahkan bahkan ketika saya kirim berkali-kalipun tidak ada jawaban, sekalinya dijawab malah bertanya INI SIAPA? padahal sudah kutulis dengan jelas nama saya beserta nama suami saya. Kemudian saya diberikan no yang lain, akhirnya kuulang SMS dan kukirim sesuai dengan no yang harus saya tuju. saya tunggu tidak aja jawaban. Kembali kuulangi mengirimi berkali-kali dan akhirnya dijawab tapi herannya yang menjawab suami Mbak yang intinya permintaan maaf tidak bisa mengangsur karena sedang ada urusan masa depan, saya memakluminya meskipun tidak diuraikan apa urusannya. Yang jelas dalam hal ini suami mbak TAHU permasalahannya, yaitu hutang mbak kepada saya yang belum terlunasi. Dan heran lagi saya diberikan no mbak, no yang sama saat saya kirim SMS ke mbak waktu itu”

Kembali aku membuka SMS lama yang sengaja kusimpan untuk mengingat-ingat kapan saya harus meng SMS untuk mengingatkannya melunasi hutang, baik SMS yang kukirim maupun yang kuterima. Kulanjutkan menulis di email...

“Beberapa bulan kemudian saya kembali mengirim SMS ke no mbak, tapi tak dibalas. Saya harus mengirim lagi berkali-kali yang kemudian dijawab akan dibayar nanti sore dan anak mbak yang akan mengantar ke rumah saya. Saya tunggu tapi tidak datang dan mbak tidak memberi kabar. sampai akhirnya saya harus mengirim SMS kapan akan diantar? Disitu mbak menjawab karena kegiatan yang penuh tidak sempat mengantar dan mbak berjanji besok pagi akan dititipkan anak mbak waktu berangkat sekolah untuk mampir kerumah saya. Saya benar-benar berharap untuk hari besok. Dan akhirnya janji ditepati, tapi jumlahnya sangat kecil dari perkiraan saya karena seharusnya sudah dilunasi”

Kulihat catatan hutangnya untuk mencocokkan keadaan waktu itu supaya aku tidak salah dalam menjelaskan di email yang sedang kubuat. SMS dan catatan hutang saling kucocokkan. Setelah benar-benar yakin, kutulis sesuai fakta yang ada. Aku tidak mengarang keadaan...

“Setelah pembayaran yang pertama ini, mbak tidak membayar lagi sampai beberapa bulan walau sudah saya kirimi SMS untuk mengingatkan, jawaban SMS juga tidak saya terima. Hampir setiap bulan saya harus berkirim SMS yang nol hasilnya. Baru kemudian ada pembayaran lagi, itupun juga dengan jumlah yang sangat kecil jauuuuh dari yang seharusnya. Dan setelah itu tak ada lagi pembayaran selama berbulan-bulan lagi”

Kubaca lagi email yang sedang kubuat untuk mengecek lagi. Apakah sudah sebegitu jelasnya, apakah sudah urut dan apakah bahasa yang kupakai bisa diterima dengan baik? Setelah kurasa sudah cukup gamblang mulai kuketik lagi...

“Bagaimanapun saya tetap harus mengirim SMS mengingatkan sisa hutang mbak yang seharusnya sudah lunas, saya punya hak untuk dibayar mbak. Kemudian saya mendapat jawaban dari mbak yang intinya akan mulai mengangsur bulan Nopember 2009, saya sangat kecewa karena barang yang seharusnya sudah lunas baru mau diangsur lagi. Jadi berapa lama lagi akan terlunasi? Saya pegang janji mbak untuk mengangsur bulan Nopember 2009. Makanya setelah mendekati bulan yang dijanjikan saya kembali melayangkan SMS dan Alhamdulillah akhirnya terbayar walau jumlah yang dibayar juga masih jauh dari keinginan saya, tapi saya berharap bulan depannya saya akan mendapat angsuran lagi”

Kubuka lagi email yang kukirim ke suaminya dan kubaca, apakah ada yang salah dalam penyampaiannya tadi. Tapi ketika kubacakan pada suamiku, suamiku menjawab tidak apa-apa dan sudah sopan juga jelas penyampaiannya. Jadi tidak masalah menurutku.

“Ketika bulan Desember saya mengingatkan lagi, mbak jawab kalau pembayaran akan didobel di bulan Januari 2010. Apa salah bila bulan Januari 2010 saya mengingatkan lagi dan mengingatkan pembayarannya dobel dengan bulan Desember? saya mendapat jawaban yang intinya belum bisa membayar angsuran karena ada keperluan mendadak dan mbak janji lagi akan dibayar suami mbak waktu gajian yaitu akhir bulan dan waktu penerimaan bonus. Lagi-lagi saya kecewa dan bertubi-tubi. Maka saat sudah mendekati akhir bulan saya mengirim SMS lagi mengingatkan lagi dan dijawab mbak dengan menanyakan sisa hutangnya dan menanyakan no rekening yang diminta suami mbak. Saat itu saya sangat senang karena sepertinya sisa hutang akan dilunasi. Dan ketika keesokan harinya kita bertemu dalam suatu acara yang sama, mbak mendekati saya dan mempertegas bahwa akhir bulan akan dibayar dua setengah juta dan sisanya akan dibayar saat bonus keluar. Cuma yang saya jadi bertanya-tanya waktu mbak bilang kalau suami mbak TIDAK TAHU masalah ini. Saya hanya bisa mengiyakan saja karena disekeliling saya banyak ibu-ibu. Saya juga tidak ingin orang-orang tahu permasalahan ini”

Mataku sudah terasa pedih dan leherku sudah pegal-pegal, tapi aku harus menyelesaikan urusan email ini secepatnya supaya tidak ada masalah lagi. Berkali-kali kuuraikan tanggal kejadian supaya tidak terjadi kesalahan.

“Tanggal 1 Pebruari saya dikejutkan oleh SMS dari no HP suami mbak, isinya minta maaf karena baru bantu adik yang emergency. Saya tidak mengerti maksudnya makanya saya balas dengan menanyakan apa maksudnya mengirim SMS tadi. Tidak ada jawaban saat itu dan baru terjawab keesokan harinya dengan menjelaskan bahwa mbak memang minta uang untuk bayar hutang ke saya, lalu mempersilahkan saya untuk menelepon dan memang benar kalau saya sebaiknya tidak telepon ke kantor. Tapi SMS ini saya terima jam 06.46 dan baru saya buka ketika jam kantor. Jadi saya putuskan untuk menelepon ke kantor dan menginformasikan bahwa mbak punya sangkutan hutang pada saya yang belum terlunasi. Suami mbak waktu itu menjawab akan bicara dulu sama mbak. Siangnya saya mendapat SMS dari mbak kalau jumlah sisa hutangnya dikirim saja ke HP suami mbak. Maka saya kirimkan beserta no rekening saya ke HP suami mbak dan mbak sendiri padahal akhir Januari baru saja saya kirimkan. Apakah tidak disimpan mbak? Saya menunggu kabar bahwa uang telah dikirim ke rekening saya tapi tidak ada berita sampai kemudian tiga hari sesudahnya saya mendapat SMS dari no HP suami mbak yang intinya mengatakan kalau sudah terima SMS saya dan akan bicara dengan mbak tapi belum bisa ngasih uang. Saya ingin menjelaskan rincian hutang mbak dan pembayarannya supaya catatannya bisa disimpan dan dibuka lagi, karena dengan SMS yang saya kirim sepertinya tidak tersimpan. Maka saya putuskan untuk mengirim email ke suami mbak”

Aku sudah sangat tenang dalam menyikapi SMSnya, tidak seperti waktu pertama membaca. Dada yang gemuruh, marah, makian yang ingin kulontarkan dan mungkin sumpah serapah kutelan sendiri. Kulanjutkan merangkai kalimat penutupnya...

“Tolong direnungkan pesan saya ini dengan suami mbak dan diingat kembali ketika mbak datang kerumah siang-siang untuk menghutang kain-kain saya yang katanya akan dipakai acara perkawinan keluarga yang waktunya sangat mendesak sehingga mbak cepat mengambil keputusan untuk memiliki kain-kain tersebut. Mudah-mudahan dengan merenungi pesan saya ini, mbak dan suami mbak tergerak untuk segera melunasinya. Apalagi mbak juga berdagang, tahu kan rasanya jika hanya dijanjiin saja. Inilah jawaban dan penjelasan saya sehubungan dengan SMS mbak yang sepertinya marah sama saya. Yang penting kewajiban saya sebagai seorang muslim yang memberi hutang sudah terpenuhi yaitu mengingatkan dan menagih. Sekali lagi saya juga minta maaf”

Selesai sudah emailku, sebelum kukirimkan kubaca lagi apakah ada yang terlewatkan. Setelah kurasa cukup segera kukirimkan. Klik “SEND”

“Oh tidaaaaaaaak!”

Email tidak bisa kukirim, ada pesan yang harus kupilih, apa ini “try again” or “cancel”. kupilih try again. Tak ada reaksi, kutunggu beberapa saat tidak juga berubah. Kutekan lagi pilihan try again. Lagi-lagi tidak ada reaksi. Lalu kupilih cancel.

“Oh tidaaaaaaaak!”

Tulisan yang sudah kubuat hilang begitu saja, tak tersimpan. Ingin menangis, jengkel, menyesal berkecamuk dikepalaku. Kenapa tadi tak kubikin dulu di komputer baru kusalin di email? kenapa tadi kupilih cancel?

“Diiiiik!!! tulisan di email mama hilang gimana dong?”

“Ya harus bikin lagi ma” jawabnya enteng.

Dalam keadaan menyesali itu Hpku mengisyaratkan ada SMS masuk. segera kubuka dan ternyata no dari suami mbak yang akan kukirimi email. Ada apa lagi?

“Mbak, saya dan istri saya minta maaf lahir dan batin karena masalah istri saya. Sebenarnya istri saya sudah berkali-kali ngomong. Saya minta mbak sabar dan kasih waktu. Maaf ya mbak! atas semua yang dilakukan istri saya”

Aku kembali ke tempat tidur, dengan posisi tidur mulai kupikirkan apa yang baru saja kulakukan dan apa yang baru saja terjadi. Ya Allah, apakah ini memang jalanku untuk tidak berkirim pesan kepada orang yang berhutang kepadaku supaya aku terhindar dari keributan yang lebih besar? Lalu kuraih HP dan membaca lagi pesan pesan yang disampaikan. Jari-jariku mulai menekan tombol-tombol membuat balasan....

“Pak, maksud saya mengirim email bukan untuk mencari masalah dengan bapak dan ibu. Saya ingin bapak punya catatan dan kronologi mengapa saya mengirim email. Tidak mungkin kan saya kirim lewat SMS, karena butuh berkali-kali dan draffnya juga tidak bagus, dan lagi kemungkinan terhapusnya besar karena keterbatasan memori. Saya juga minta maaf karena sepertinya ibu marah pada saya karena email yang saya kirim dan saya menelepon ke kantor”

Kemudian kutekan tombol SEND, terkirimlah pesan singkatku. Banyak hikmah yang dapat kuambil dari kejadian ini. Pertama dalam menghadapi persoalan harus selalu menanggapi dengan kepala dingin tidak mengumbar emosi. Seperti yang pernah kupelajari waktu keci “Jika kita marah kita disuruh duduk, jika masih marah kita disuruh tidur dan jika masih marah kita disuruh berwudu. Yang kedua adalah sikap tegas dalam berdagang harus dimulai dari awal terjadinya jual beli dan perlunya bukti tanda tangan dari pembeli sehingga jika ada permasalahan posisi penjual akan kuat dimata hukum. Aku hanya berharap dalam doaku...

“Ya Allah, lindungilah aku dari api nerakamu karena ketak mampuanku mengendalikan emosi dan lindungilah aku dari masalah dalam berdagang. Amin”

7 April 2010

Arisan

Ada yang beda dari arisan yang akan dijalani Dian mulai bulan April ini. Bahwa karena tugas suaminya pindah maka kegiatan sosial yang dijalani Dian juga berubah. Dari yang biasanya hanya mengikuti satu arisan di kantor suaminya. Sekarang harus mengikuti kegiatan arisan beberapa seksi di kantor suaminya yang baru dipindahi. Padahal di kantor yang sekarang ada 6 seksi. Bisa-bisa Sabtu-Minggu Dian nggak akan makan di rumah.

Selain 6 arisan yang wajib didatangi itu masih ada lagi arisan yang wajib didatangi Dian yaitu arisan RT dan arisan di Organisasi sosial dimana Dian sebagai salah satu pengurus. Ada baiknya ikut kegiatan arisan ini. Selain lebih kenal dengan istri teman suaminya, bisa sebagai sebagai ajang silaturahim. Cuma yang jadi masalah sekarang adalah Dian harus pintar bagi waktu. Karena paling tidak arisan ini butuh 2 jam untuk meninggalkan rumah. Yang berarti Dian akan meninggalkan kegiatan rumahnya selama 2 jam sedang Dian saat ini tidak punya pembantu. Semua pekerjaan rumah ditangani sendiri. Suaminya bantu-bantu dikit dan anaknya yang masih di kelas 6 SD kadang membantu. Tapi disuruh dengan agak sedikit penegasan dalam permintaan tolongnya.

Kali ini giliran Dian mendatangi salah satu arisan di seksi kantor suaminya. Setelah acara dibuka oleh pengurus arisan dan dibacakan sebentar pengumuman. Giliran perkenalan warga baru. Yaitu Dian dan satu orang ibu yang juga baru. Sebut saja Ibu Rina, istri atasan dari ibu-ibu yang hadir saat ini.

Ibu Rina mengawali perkenalannya dengan salam dan membuka dengan ucapan syukur pada Ilahi, dilanjutkan mengenalkan nama dan dimana dia tinggal. Ibu Rina juga menceritakan sejarah suaminya dinas sampai akhirnya dipindahkan ditempat yang baru ini. Acara perkenalannya ditutup dengan permintaan supaya dia dapat diterima baik dikelompok ini dan mendapat dukungan untuk setiap kegiatan yang dipimpinnya.

Giliran Dian diberi kesempatan bicara. Mengingat masih ada acara lagi setelah perkenalan yaitu Demo masak, maka Dian berkenalan dengan singkat. Intinya menyebutkan nama suami, nama dirinya dan keluarganya. Menyebutkan hobby yang digelutinya dan akan berusaha untuk hadir ditiap undangan arisan ini.

Acara perkenalan selesai. Giliran peragaan memasak dari sebuah jasa penjualan peralatan memasak. Beberapa peralatan diperagaan. Alat untuk memotong sayuran seperti yang di televisi, panci ajaib yang hampir sama fungsinya dengan panci presto juga sebuah wajan serba guna karena bisa dipakai sebagai oven.

Ah, pasti ujung-ujungnya sama seperti peragaan memasak sebelumnya. Pikir Dian. Nah, sekarang berapa harga barang tersebut? Dian yang tidak hobby memasak, meski sudah disuguhi peragaan memasak tidak akan goyah untuk membelinya. Pikirnya selain harga yang begitu mahal untuk sebuah panci sampai diatas Rp 1.700.000,- di rumahnya masih banyak perkakas rumah tangga yang masih bisa dipakai. Ngapain juga harus membeli lagi.

Lain Dian lain Ibu Rina dan beberapa teman arisan. Orang-orang tergiur membeli. Padahal belum tentu nanti setelah terbeli akan terpakai. Karena banyak sekali dari Teman-teman ini yang hanya tergiur membeli setelah melihat peragaan memasak. Ucapan Wow! sering terdengar disela peragaan. Tanpa berhitung nilai manfaatannya. Seberapa banyak memakainya. Sebanding tidak harga dengan pemakaiannya.

Akhirnya beberapa orang tercatat sebagai pembeli. Lembar berwarna biru yaitu uang lima puluhan ribu terkumpul dimeja, kemudian diserahkan pada penjual peralatan tersebut. Untung besar penjualnya hari ini. Mudah-mudahan akan terpakai terus peralatan tersebut alias tidak menjadi penghuni gudang. Sedang Dian dan teman arisan lain yang tidak tertarik langsung menyerbu meja makan setelah dipersilahkan menikmati hidangan yang disediakan. Menu arisan hari ini soto makasar yang nyummy dan es buah.

Setelah mengambil semangkuk, Dian duduk dikursinya lagi. Disebelah duduk seorang teman, istri atasan yang satu lagi, sebut dia Ibu Sonya. Haduh hebohnya si Ibu ini bercerita tentang setiap bulan yang harus mendatangi arisan beberapa tempat. Maksudnya memberitahu ke Dian yang orang baru. Lalu disebelahnya lagi tak kalah serunya.

“Makanya kok bingung mau pake baju apa. Ow ini to maksudnya. Supaya tidak terjadi 2x pake dalam 1 bulah karena ada orang-orang tertentu yang akan ketemu”

“Lha iya kan mbak. Kan nggak enak kalau dalam sebulan dateng arisan pake baju yang sama”

Ow, Dian mulai menyimak kalimat dari dua Ibu yang berbincang didekatnya. Suara agak dipelankan supaya temen-temen yang lain tidak mendengar. Dalam hati Dian berucap.

“Wah repot juga kalau masalah baju saja harus pusing mikir udah dipake belum ya bulan ini saking malu ati kalau dilihat temen”

Perempuan, sukanya memang berdandan, ingin berpenampilan apik. Kalau bisa... dipakai dah semua perhiasan yang tersimpan dilemari. Siapa sih yang tidak ingin tampil cantik diantara teman-temannya? Siapa sih yang tidak ingin tampil menarik dan jadi pusat perhatian teman-teman? Dianpun juga menginginkannya. Tapi kalau sampai ini jadi beban, wah... gawat. Pikir Dian dalam hati. Dian juga mulai membanding-bandingkan keadaanya dengan keadaan teman-temannya ini. Sebenarnya ibu-ibu ini tidak punya penghasilan, mereka hanya mengandalkan dari suaminya. Tapi ibu-ibu ini bisa dan rela saja membelanjakan uangnya untuk hal-hal yang sebenarnya tidak perlu. Seperti baju yang hanya karena malu dilihat temen. Kok memakai baju itu lagi-itu lagi, akhirnya tiap bulan bisa saja membeli baju. Ini baru baju, belum selop, tas. Apa karena ibu-ibu ini tidak bekerja ya dan tidak menghasilkan uang sendiri, jadi tidak sayang untuk membelanjakan uang suaminya. Pikir Dian lagi.

Dian, seorang ibu rumah tangga. Dian punya usaha yang sudah dirintis 20 tahun yang lalu. Usaha yang dijalani lumayan berkembang. Penghasilannya tiap bulan kalau hanya untuk membeli baju-baju seperti cerita ibu-ibu disebelahnya tadi masih bersisa. Tapi Dian tidak melakukannya. Dian pikir untuk apa gaya hidup yang seperti ini? Hanya kepuasan sesaat dan akan terus ingin terpenuhi. Dan lagi barang-barang ini nantinya hanya akan menjadi sampah tak bisa dijual lagi. Apa tidak sebaiknya dimanfaatkan untuk hal-hal yang lebih bermanfaat untuk masa depan setelah suami pensiun?

Arisan hari ini selesai dengan membawa kesan tersendiri. Berkenalan dengan teman-teman baru. Melihat seberapa konsumtifnya teman-teman. Belajar menempatkan diri dilingkungan yang baru.

***

Masih dibulan yang sama, giliran Dian untuk mendatangi sebuah arisan lagi. Kali ini seksi di kantor suaminya. Bukan seksi yang didatangi Dian sebelumya. Tapi sayang arisan kali ini Dian tak bisa datang tepat waktu. Alasannya Dian harus mengisi acara ketrampilan ditempat arisan di kantor lain. Karena permintaan ini sudah diiyakan Dian, maka ketika datang undangan arisan dari kantor yang dibawa suaminya. Dian langsung menelephone ke tuan rumah yang akan ketempatan. Dengan sangat terpaksa nanti Dian akan datang terlambat karena tidak mungkin membatalkan persetujuannya untuk mengisi acara ketrampilan tersebut. Padahal salah satu acara yang tercantum diundangan yang dibawa suaminya kali ini adalah acara temu pisah sambut. Berarti acara perkenalan antara Dian dengan ibu-ibu di kantor suaminya dan perpisahan dengan seorang ibu yang Dian gantikan posisinya.

“Gimana ya? nggak apa-apalah, nanti kita tunggu. Karena nggak mungkin buat undangan lagi karena waktunya sudah nggak memungkinkan. Apalagi besok hari Libur. Kalau menghubungi per telephone sepertinya tidak mungkin deh” Inilah suara ibu tuan rumah waktu ditelephone Dian.

“Wah, jadi tidak enak nih. Apalagi ada acara pisah sambut. Tapi nanti saya usahakan untuk secepatnya selesai mengisi acaranya saya langsung meluncur. Mudah-mudahan aja ya acaranya cepet selesai”

Setelah telephone terputus Dian segera menyiapkan beberapa bahan yang akan digunakan untuk praktek dalam mengisi acara ketrampilan. Dari bahan yang belum jadi, perlengkapan sampai barang yang sudah jadi.

“Mudah-mudahan besok lancar dan cepat selesainya supaya acara arisan pisah sambut bisa kuikuti juga”

Hari yang ditunggu tiba. Dian meluncur ketempat arisan dimana dia harus berpraktek dengan bahan-bahan yang telah disiapkan sebelumnya. Sampai ditempat acara masih ada beberapa orang yang baru datang jadi acara belum bisa dimulai.

“Wah, kalau acaranya molor gini bisa-bisa nggak bisa dateng nih di acara pisah sambut” ucap Dian dalam hati.

Tapi Dian tak menunjukkan raut kecemasan. Dian ikuti saja irama datangnya tamu-tamu. Menit demi menit berlalu, satu satu undangan mulai berdatangan. Sampai akhirnya acara bisa segera dimulai. Acara dibuka, biasanya ketua arisan yang membuka acaranya. kemudian mic diserahkan kepada tuan rumah yang sekaligus sebagai ibu yang juga sebagai istri dari atasan suami undangan yang hadir. Ucapan seperti biasa yaitu selamat datang, terima kasih untuk pengisi acara.

“Yah, ada perkenalan warga baru. Molor lagi waktunya”

Diikutinya acara perkenalan anggota baru dengan debar-debar. Katanya dalam hati juga, ada berapa anggota baru yang akan dikenalkan. Ah, untungnya hanya dua jadi acara praktek Dian bisa segera dimulai.

“Yah, ada pengumuman lagi” batin Dian ketika seorang ibu disebelahnya mendekati MC dan berbisik untuk memberikan pengumuman setelah ibu yang sedang memperkenalkan diri selesai.

“Duh, akan semakin terlambat nih” Dian memikirkan akan selesai jam berapa nanti.

Untungnya pengumuman tak butuh waktu panjang. Akhirnya giliran Dian untuk berpraktek memberikan ketrampilan didepan ibu-ibu undangan. Dian mulai mengenalkan bahan dan perlengkapan yang dibutuhkan. Sambil terus berbicara tangannya terus juga memperagakan ketrampilan. Antusias sekali ibu-ibu ini mengikuti instruksi yang diberikannya. Meski buat Dian, ini pekerjaan yang gampang sekali. Tapi bagi ibu-ibu undangan, ini rumit. Mungkin karena belum terbiasa saja. Tapi sebenarnya ketrampilan yang diberikan ini sangat mudah dan bisa dilakukan dirumah.

“Saya yakin, ibu-ibu pasti bisa melakukan. Tinggal mau apa tidak mengerjakan”

Ini yang dikatakan Dian selesai mengakhiri demo ketrampilan yang diberikan. Dan secepatnya Dian juga berpamitan karena ada undangan arisan yang sedang menunggunya. Dian segera membereskan barang-barangnya dan membawanya ke mobil. Segera diluncurkan mobilnya ketempat yang akan ditujunya sekarang.

Dalam kelajuan yang masih dibatas kecepatan peraturan, Hpnya berbunyi. Diliriknya dan disapanya penelephone.

“Ya bu?”

“Dik Dian masih lama?”

“Nggak Bu, ini saya sudah dimobil kok”

“Oya sudah, kalau gitu akan kita tunggu”

Sambungan telephone diakhiri. Dian melaju sesuai batas peraturan kecepatan. Jarak hanya tinggal dekat lagi. Dan akhirnya mobil dihentikan didepan rumah yang ditujunya. Dian turun dari mobil dan memasuki halaman rumah. Pintu yang tak terkunci dibukanya. Beberapa pasang mata mengamatinya.

“Ow Ow! aku jadi orang asing lagi” pikirnya dalam hati.

Dian mengumbar senyum dan menyalami beberapa orang yang dilewatinya. Rasanya gerah sekali tubuhnya karena saking terburu-burunya. Dian duduk diantara orang-orang asing. Dia amati sekeliling. Ada beberapa sudah dikenalnya tapi agak jauh jaraknya. Dian hanya tersenyum dan dibalas dengan senyuman. Ketua arisan kemudian langsung memberikan waktunya pada Dian untuk mengenalkan diri.

Dian kemudian mengenalkan diri. Seperti orang yang diburu waktu. Karena waktu memang sudah sangat sore dan sepertinya orang-orang juga sudah gelisah ingin cepat pulang. Dian berkenalan dengan singkat. Memperkenalkan dirinya, suaminya dan keluarganya. Hal-hal lainnya mungkin nanti bisa dikenalnya lebih banyak dilain waktu. Diacara yang berbeda mungkin lebih santai dan banyak ruang kosong.

Inilah arisan yang dijalaninya setelah arisan seksi beberapa hari sebelumnya. Masih ada 4 arisan lagi dari seksi yang berbeda dikantor suaminya. Mudah-mudahan waktunya tidak bentrok, sehingga bisa dinikmatinya dengan lebih santai. Inilah harapan Dian untuk arisan berikutnya.

“Pakai baju apa ya?” Nah lhoh. Dian ketularan temen-temennya.
***