31 Maret 2010

Mintakan aku IB dong....?

Minggu, 14 Februari 2010.
Telepon rumah berdering seputar jam 9 malam. Segera kuangkat pesawat telepon yang terdekat dari tempatku duduk. Senyumku langsung mengambang dan jariku memberi kode ke suami untuk mendekat. Putri cantikku yang sedang menuntut ilmu di Magelang sedang berbincang denganku saat ini, sebenarnya tak biasa dia menelepon ke nomor rumah. Sambil menerima teleponnya kucari HP-ku yang ternyata mati karena kehabisan baterai. Kami saling menanyakan kabar. Dia baik-baik saja. Cuma sekarang pelajarannya susah sekali. Sesusah apa? Dia hanya bilang semuanya susah. Hah...!!! Ada apa ini? tak biasa-biasanya mengeluh kesusahan dengan pelajaran sekolah.
“Besok Senin udah mulai ulangan Ma... doain ya”
Kuberi semangat dan dorongan untuk berusaha melakukan yang terbaik, kuingatkan jangan lupa berdoa, memohon kemudahan dalam belajar dan mengerjakannya nanti.
“Iya. Insya Allah” jawabnya meyakinkan, kamipun melanjutkan membahas yang lainnya. Eit... apa yang barusan kudengar? Minta IB hari Sabtu-Minggu ini? IB singkatan dari Izin Bermalam yaitu minta izin untuk diperbolehkan menginap diluar asrama.
“Kenapa?”
“Suntuk..., pengen keluar aja”
Suami yang sedari tadi hanya mendengarkan, kini angkat bicara memberi harapan bahwa akan diusahakan untuk menjemput ke Magelang karena waktunya bertepatan dengan dinas pekerjaannya dan akan menginap di Solo. Merasa mendapat harapan, sorakpun langsung terucap. Tapi kemudian kuingatkan jangan berharap sekali karena belum tentu Papanya diizinkan dari kantor atau punya waktu menjemput, juga apakah fihak sekolah nanti akan mengijinkan IB-nya. Kuingatkan lagi bahwa akan diusahakan tapi tidak menjanjikan.

Rabu, 17 Februari 2010.
Kembali telepon dari putri cantikku di Magelang. Menanyakan bagaimana kelanjutan dari rencana IB-nya. Kami tetap sepakat dengan rencana semula akan mengusahakan dan memintakan surat ijin ke sekolah besok karena tiket ke jogjanya belum didapat.
“Besok Mama telepon bu Ana untuk minta ijin, tapi alasannya apa ya?” tanyaku.
“Apa ya Ma? kalau berobat nggak mungkin? siapa coba yang sakit?”
“Cari alasan apalah Ma, yang penting aku bisa keluar besok Sabtu-Minggu”
“Ayo dong..., sekali-kali aku IB gitu. Masa aku nggak pernah IB” Nadanya penuh harap.
“OK, besok mama mintakan ijin”
Setelah telepon terputus, giliran aku dan suami yang sekarang bingung mencari alasan yang tepat. Apa sebaiknya menengok Eyang Buyutnya yang sudah renta di Solo? Apa menengok Eyang Kakung dan Eyang Putrinya saja? Ah besoklah, setelah jelas ada kepastian mendapatkan tiket ke Jogja.

Kamis, 18 Februari 2010.
Saatnya suami berangkat ke Airport untuk urusan dinas ke Jakarta, aku tak bisa mengantar seperti biasanya karena disamping suami terburu-buru, aku juga harus mengantar si bungsu ke sekolah yang sudah ketinggalan bus jemputan. Kami semua terlambat bangun karena tidur lewat dari jam 2 dini hari.
“Papa berangkat bawa mobil saja ya, nanti mobilnya biar diambil sama orang kantor, Mama harus ngantar sekolah dulu, biar nanti nggak terlambat ke Airportnya”
“OK, nanti kutelepon orang kantor”
Akhirnya suami berangkat ke Airport dan aku melaju mengantar bungsuku ke sekolah. Aku juga pagi ini harus menyelesaikan tugasku yang belum selesai mengerjakan PR membuat naskah untuk kursus MC-ku.

Kujalani pagi ini dengan kesibukan yang berganda karena beberapa kegiatan hampir berbarengan pelaksanaannya. Surat-surat harus kubuat disela-sela kursus MC-ku. Keluar masuk ruang kursus dan mengerjakan surat-surat yang lumayan harus dikerjakan super cepat. Sampai aku kelupaan untuk menelepon guru wali kelas anakku untuk memintakan izin IB-nya. Cepat-cepat kuhubungi bu Ana dengan maksud memberitahukan alasan menghubunginya. Bu Ana kemudian menyarankan untuk mengirimkan Fax ke sekolah yang ditujukan kepada Kepala Sekolah karena nanti yang akan mengijinkan tidaknya adalah Kepala Sekolah. Lalu kutanyakan sebaiknya alasan apa yang akan kuberikan ke Kepala Sekolah. Bu Ana menyarankan mengunjungi nenek dan kakek di Solo juga tidak apa-apa.
“Apa diperbolehkan dengan alasan seperti itu Bu?”
“Mudah-mudahan bisa bu, biasanya kalau tidak bersamaan dengan kegiatan sekolah diperbolehkan apalagi besok hari Sabtu ulangan sudah selesai”

Dengan penuh keyakinan kubuat surat memintakan surat ijinnya. Kubuat dengan bahasa yang sesopan mungkin dengan penjelasan yang lengkap, tujuan dari IB dan siapa yang akan menjemputnya ke sekolah besok. Surat sudah selesai kubuat, tinggal ngeprint. Karena mesin printer dirumah lagi ngadat maka kuminta bantuan. Berangkat ke kantor secepatnya supaya bisa meneliti lagi apakah naskahku sudah sedemikian sopan untuk memintakan izin putriku. Dah..., waktunya ngeprint sementara HP-ku terus memanggil, sepertinya bungsuku minta diantar ke sekolah untuk urusan bimbelnya. Duuuuh, waktu yang bersamaan. Setelah terprint, kukoreksi lagi. Haduuuh ternyata ada yang salah.... ada pengulangan kata yang seharusnya tak ada. Harus mengetik ulang karena sudah terlanjur keluar dan file tak kusimpan. Aku berusaha mengetik kalimat demi kalimat. Kembali HP ku memanggil.
“Ma... ayo cepet antar aku, udah jam setengah tiga”
Haduuuh, kok ya pas bareng-bareng waktunya. Akhirnya aku minta tolong sama mbak yang kerja di kantor untuk mengetik ulang apa yang sudah kuprint tadi dan memperbaiki kesalahannya.
“Mbak, tolong ya ketikin seperti ini tapi yang bagian ini tolong dihilangkan, aku mau antar ke sekolah dulu... nanti aku kesini lagi, tolong ya mbak...”
Mengiyakan permintaanku yang dalam keadaan kalang kabut membagi waktu yang semua harus dikerjakan dalam waktu bersamaan, ooooh terselamatkan.
“Terimakasih mbak......!!” aku langsung lari keluar ruangan menuju mobil dan melaju ke rumah menjemput bungsuku yang sudah menunggu. HP-ku berbunyi lagi tapi tak kuhiraukan, takut membuyarkan konsentrasi mengemudiku.
Sampailah di rumah dengan selamat dan secepat kilat bungsuku melompat ke mobil dan kulajukan lagi menuju ke sekolah. Dalam beberapa menit sampailah ke tujuan yang memang ternyata halaman sekolah telah sepi karena teman-temannya sudah pada masuk kelas. Aku merasa bersalah karena tak bisa mengantar lebih awal. Tapi bagaimana lagi karena waktu yang bersamaan dengan kegiatan yang semuanya harus dikerjakan cepat.
Kembali mobil kuluncurkan ke kantor untuk mengambil kertas ketikan yang pasti sudah selesai. Benar juga ketika kuturun dari mobil segera kertas diberikan padaku dalam keadaan telah terkoreksi. Terimakasih mbak.....!!!
Aku segera berangkat ke wartel untuk mengirimkan fax ke Kepala Sekolah yang akan kutuju yaitu ke Magelang. No fax kusodorkan dan petugas segera mengirim sesuai nomor permintaanku. Beberapa kali usaha pengiriman gagal, dicobanya lagi.
“Ibu, tak bisa dikirim... apa benar nomornya ini?”
“Iya pak, setahu saya ya itu nomornya, tapi coba saya tanyakan lagi”
Aku segera menghubungi suami yang sekarang sudah berada di Jakarta, mungkin sudah di hotel. Kuminta mencarikan nomor fax melalui internet, karena sekarang nomor yang kupunya tak bisa dikirim. Sementara kutunggu suami mencarikan nomor faxnya, kucoba menghubungi semua nomor guru yang kupunya. Kok ya tidak ada yang mengangkat. Salah waktu barangkali kalau menelepon siang-siang begini. Pasti guru-guru pada istirahat dan HP-nya pada dimatikan. Masih ada satu nomor lagi yaitu telepon sekolah. Kucoba meneleponnya. Alhamdulillah tersambung. Dengan segera kuutarakan maksudku ingin meminta no fax yang harus kutuju untuk mengirim saat ini juga karena nomor fax yang kupunya tidak bisa terkirim. Dari informasi yang kuterima ternyata sudah benar, maka aku diminta untuk mencobanya lagi. Kuucapkan terima kasih dan kusudahi sambungan teleponnya. Bersamaan dengan itu tersambung telepon dari suami yang mengatakan nomornya sudah benar.
Kucoba sekali lagi pekerja wartel untuk mengirimkan faxku ke nomor yang sama.
“Bisa Bu, sekarang lagi jalan”
“Alhamdulillah, akhirnya terkirim juga”
Setelah benar-benar yakin terkirim maka segera kuhubungi bu Ana, tetap saja tak ada yang mengangkat teleponnya. Saat sedang menuliskan SMS untuk kukirimkan, kuterima SMS dari bu Ana, menyampaikan bahwa teleponnya tak terdengar karena sedang berada diluar ruangan. Lalu kulanjutkan untuk menulis SMS, menyampaikan bahwa fax sudah kukirimkan dan mohon dibantu untuk mengecek keberadaan faxnya besok pagi di kantor. Tak lupa ucapan terima kasih menutup SMSku.

Sabtu, 20 Februari 2010.
Suami sudah sampai di Magelang dan sudah ketemu dengan putri cantikku, berita gembira yang kudapatkan adalah surat yang kukirimkan sudah disetujui tapi baru boleh meninggalkan sekolah setelah jam 2 siang. Alhamdulillah.... Tak apalah Papanya menunggu satu dua jam lagi untuk menjemput putri cantikku berlibur ke rumah eyangnya di Solo. Terimakasih ya Allah, telah Kau berikan kemudahan dibalik kekalang kabutan usahaku.

30 Maret 2010

Hujan Sore Ini

Suara berisik yang tiba-tiba mendera atap rumah, membuyarkan konsentrasiku dalam membuat alas kursi dari rajutan benang. Kupandang sekilas keluar jendela dari tempatku duduk sambil mengerutkan alis mataku, mencoba mempertajam pandanganku untuk meyakinkan suara yang kudengar. Suaranya kian bergemuruh karena tetes-tetes air semakin jelas kulihat, kian besar dan kian rapat, apalagi sebagian atap rumah terbuat dari seng. Hujan! ini hari ketiga dari hujan sebelumnya yang setiap harinya berlangsung cukup lama. Suara berisik seolah beradu dari sekeliling penjuru diluar rumah, sangat jelas kudengar. Tetes air hujan yang jatuh ke daun-daun berpacu dengan tetes air hujan yang jatuh ke atap, seakan juga berlomba dengan tetes air hujan yang jatuh dari atap ke lantai dan gerojokan talang air di beberapa bagian rumah ini. Hujan sore ini melengkapi dinginnya udara yang sedari pagi mengiringi selaput awan menghalangi matahari.

Aku berdiri, berjalan kearah jendela besar yang menghadap pekarangan rumah bagian belakang. Segera kutarik kursi yang paling dekat dari berdiriku mengarahkannya ke jendela. Aku duduk di belakang jendela agak menyandarkan badanku ke kaca jendela. Tak henti-hentinya kuamati jatuhnya air dari atap ke saluran air dipinggir rumah. Walau baru saja berlangsung, tapi hujan kali ini memang sangat deras dan butir-butir airnya yang jatuh begitu kelihatan besarnya. Mungkin kalau saat ini berjalan di bawah hujan agak lumayan sakit bila terkena jatuhnya air dari langit. Namun..., meski hujan kali ini deras, tak membuat keadaan gelap. Langitnya masih terang sehingga pemandangan sekitar masih terlihat jelas. Jarak pandangku juga masih normal. Maka kutatap sekeliling sejauh kesanggupanku memandang.

Suasananya sangat sepi saat ini, hanya suara deras hujan yang mengguyur di jalan, di atas genting dan didaun-daun yang membuat bunyi-bunyian laksana untaian nada. Gemericik air dari atap rumah ke lantai menyuarakannya lebih keras, juga air talang yang menggerojok. Suara-suara itu seolah membuat shymponi air hujan yang sedang menemani arus jalan raya di depan rumah yang sepi, karena tak seorangpun pengendara melintas ataupun seorang pejalan kaki menapaki dinginnya aspal yang basah. Sepertinya sore ini tak ada yang berusaha menembus derasnya hujan seperti hari-hari sebelumnya. Mungkin karena hujan yang turun berturut-turut inilah yang membuat hujan hari ini begitu dingin sehingga orang-orang malas keluar rumah.

Aku beranjak dari dudukku, ingin mengamati hujan dari dekat. Kuambil payung dan melangkah keluar rumah. Desiran angin yang lumayan kencang langsung kurasakan saat membuka pintu, membuat kulitku merinding dan dinginnya cepat menjalar sampai ke seluruh tubuhku. Dengan berbekal sandal karet dan payung besarku, kunikmati tetesan hujan yang membuat suara berisik dipayungku. Aku terus berjalan pelan sampai keujung rumah dibatas anak tangga. Kuamati sekelilingku, kulihat dari ketinggian dimana aku berdiri saat ini. Air di parit depan rumah meluap sampai ke jalan karena paritnya tak sanggup menampung datangnya air dari berbagai arah pembuangan, padahal parit ini dalamnya setengah meter dan agak lebar. Airnya mengalir deras menuju hutan yang beberapa meter jaraknya dari rumah melewati pekarangan dan satu rumah tetangga dengan pekarangannya yang lumayan luas. Daun-daun, ranting dan beberapa benda mengambang terhanyut mengikuti aliran menuju hutan. Kemungkinan jika ada barang yang masih terpakai seperti sandal ikut terhanyut takkan terselamatkan lagi karena derasnya arus air. Tujuan parit kearah hutan hanya dibatasi pagar kawat yang kutahu pagar dibagian parit ini berlubang selebar paritnya.

Aku memutar tubuh meninggalkan anak tangga, kembali kearah rumah. Kali ini langkahku mengarah berjalan mengelilingi rumah. Kuamati pekarangan yang banyak kutanami pohon-pohon besar, seperti mangga, jambu, rambutan dan tanaman hias. Rumput-rumput yang tadinya terlihat hijau kini sebagian tertutup daun daun kering dan kuning yang berjatuhan dan beberapa buah yang sudah lumayan membesar juga jatuh berserakan, sepertinya tak kuat bertahan di rantingnya karena terpelanting saat angin berhembus kencang dan tak mampu menahan derasnya hujan. Kuamati halaman rumah tetangga dibelakang rumah yang kebetulan antara rumah kami tak berpagar. Keadaannya sama seperti pekaranganku. Pekarangannya yang luas dan ditanami rumput, sekarang dipenuhi daun-daun kering yang berguguran dan beberapa buah juga terlepas dari rantingnya tergeletak dirumput. Pasti dibeberapa pekarangan tetanggaku yang lain juga demikian keadaannya. Genangan-genangan air membuat danau-danau kecil di pekarangan rumah karena permukaan tanahnya yang tak rata. Biasanya genangan-genangan ini akan menjadi rumah katak setelah hujan reda. Dan nanti akan terdengar suara katak bersahut-sahutan memecah kesunyian.

Masih dengan berbekal payung besarku, kususuri jalanan kecil dipinggir rumah pelan-pelan, takut terpeleset. Sesekali kakiku kucelupkan digenangan air dan gerojogan air talang untuk membuang pasir diantara sandal karet dan telapak kakiku. Alhasil air hujan mengenai celana panjang yang kupakai. Betapa dinginnya air hujan ini. Apalagi sempat airnya menetes ke lenganku dan tetesan dari payung mengenai mukaku. Ditambah desiran angin menyibak rambut yang kugerai. Lengkap sudah dinginnya. Kini tanganku basah, kakiku basah, ujung celana panjangku juga basah, mukaku basah.

Bungsuku menyusul dibelakangku sambil bernyanyi-nyanyi, menggunakan payung kecil berbentuk kelinci. Senang sekali memainkan payungnya dengan sekali-kali membiarkan payungnya tak menutupi kepalanya, membuat kepalanya basah, bajunya juga basah dan melompat-lompat memainkan genangan air di lantai yang membuat kaki dan celana panjangnya basah selutut.
“Ssstt, jangan main-main... pakai yang bener payungnya” Dia mengamatiku dan memakai kembali payungnya dengan benar. Tapi dasar anak-anak, tetap saja kakinya dijulur-julurkan ke hujan dan tangannya menengadah keatas menampung air hujan. Dalam hati aku ingin tertawa melihat polahnya. Ini tak seberapa dibanding polahku waktu kecil. Tapi tetap saja kupasang muka tak membolehkan bermain hujan. Lalu keberi tanda kalau saatnya masuk rumah lagi. Sebenarnya dia agak keberatan untuk masuk, tapi apa daya tanganku dan jari telunjukku sudah kuacungkan. Ini tandanya perintah dan tak boleh dilanggar.
“Masuk...! dingin, besok sekolah” Masih dengan muka kuseram-seramkan supaya menurut. Meski berat akhirnya dipenuhi juga perintahku.

Kami berdua masuk ke rumah lagi dan mengganti dengan pakaian yang kering. Kemudian kami duduk di ruang tamu melanjutkan aktifitas yang terputus sebentar. Bungsuku kembali menikmati acara cartoon disneynya. Sedang aku kembali duduk dibelakang jendela menikmati tetes-tetes hujan yang masih deras. Anganku menembus ke masa silam berpuluh tahun semasa kecilku, seusia bungsuku saat ini.

Dulu..., hampir setiap hujan turun tak peduli siang atau sore hari, aku dan beberapa kerabat yang kebetulan tinggal berdekatan suka bermain hujan. Kami akan bergantian bermain di pancuran talang rumah seolah sedang mandi di air terjun pegunungan. Udara dan air dingin hujan tak menyurutkan langkah-langkah kami berkejar-kejaran. Diantara kami ada saja yang membawa sabun, shampoo. Kami main di pancuran dan memperagakan seolah sedang iklan sabun mandi atau shampoo seperti di tivi. Hahaha... dasar anak-anak. Jika kami bosan kami akan keluar halaman rumah berkeliling menembus jalan-jalan kampung. Ada yang memakai sandal, tapi ada juga yang telanjang kaki. Kenapa saat itu tak ada rasa takut terkena pecahan kaca atau paku yang terserak di jalan? Benar-benar besar nyali kami. Yang ada hanya canda tawa, bersenang-senang. Sesekali kami saling menyibakkan air kearah yang lain dengan kaki yang membuat baju kami tersiram air yang bercampur tanah. Kami akan berlari-lari lagi menikmati jatuhnya titik-titik air dari langit, kemudian mencari tempat membersihkan baju-baju kami dengan mengguyur badan kami di pancuran talang di setiap rumah yang kami temui. Air talang ini bersih atau kotor ya? Ah... rasanya kami tak memikirkannya waktu itu.

Jika hujan sangat lebat dan disertai angin maka kami akan langsung menuju rumah-rumah tetangga kami yang mempunyai pohon mangga, kedondong dan buah-buah lain. Mengharap ada mangga, kedondong dan buah-buah itu jatuh. Dan ketika benar benar ada yang jatuh, kami langsung berlari sekencang-kencangnya untuk mengambilnya. Siapa cepat dia yang dapat. Ah... kalau dipikir betapa bahayanya keadaan waktu itu. Berada dibawah pohon diwaktu hujan. Bagaimana kalau seandainya ada petir menyambar? Kenapa tak pernah terpikir bahaya yang mengancam diantara kebahagiaan kami waktu itu? Setelah berhasil mendapatkan kami akan berlarian pulang, mencuci mangga ataupun kedondong di gerojogan talang rumah. Kami memecah dengan membantingnya, sekali... dua kali... dan terbukalah buah mangga yang masih mentah. Kami membaginya dan kami makan bersama-sama. Lidah kami dan gigi kami tahan saja menikmati mangga mentah bersama kulitnya. Hmmm... benar-benar rakusnya kami waktu kecil. Kemudian kedondong yang kami dapat juga dipecah. Jika kami tak kuat membantingnya, kami akan menjepitkan ke pintu, dan krrrektt...!!! suara mangga dan kedondong tergencet pintu. Kami sama-sama menikmati. Kami akan bermain hujan lagi sampai terdengar suara teriakan dari dalam rumah, suara nenek atau mbok atau bulek atau paklek kami.
“Hayooo! sudah main hujannya”

Kamipun berlarian pulang kerumah masing-masing sambil menggigil kedinginan, kuamati jari-jariku sudah mengkerut dan pucat karena terlalu lama bermain air hujan. Aku dan adik-adik serta saudara kemudian mengantri di sumur dan kamar mandi untuk membilas badan kami yang mungkin kotor sekali setelah bermain hujan. Kami akan bergotong royong, bergantian menimba air sumur untuk memenuhi bak mandi. Guyuran air satu gayung mengenai tubuhku, air kamar mandi ini terasa hangat dibanding air hujan. Aku bisa berlama-lama menikmati air kamar mandi ini untuk berbilas, keramas sampai bersih. Tapi karena kami harus bergantian menggunakan kamar mandi, aku tak boleh lama-lama. Disamping itu air kamar mandi juga terbatas.

Setelah semua selesai kamipun masuk ke dalam rumah untuk mengganti dengan pakaian kering, badan kami masih terasa menggigil menahan dingin. Si mbok biasanya sudah menyiapkan beberapa gelas teh hangat di baki untuk kami sekeluarga, satu gelas untuk satu orang. Kami yang kedinginan akan dengan cepat menghabiskan gelas-gelas yang terisi teh di baki. Dan biasanya setelah bermain hujan kami akan kelaparan, si mbok yang tahu kebiasaan kami telah menyiapkan nasi goreng dan telur ceplok. Aku dan adik-adik akan segera menyerbu ke meja makan dan dalam waktu yang sangat cepat nasi goreng dan telur ceplok ludes. Perut kamipun kenyang. Benar-benar hari yang menyenangkan.

Suara geluduk dan kilatan cahaya yang mendahuluinya memecah anganku. Aku... diduniaku yang sekarang sedang menikmati tetes-tetes hujan yang deras dari balik jendela, dan bungsuku masih menikmati acara tivinya. Baru kusadari bahwa ruang tamu ini sudah semakin gelap, sudah saatnya menyalakan lampu. Gorden-gorden juga harus segera ditutup untuk menghindari pandangan dari arah luar. Kulihat sekali lagi kearah luar jendela, hujan masih sangat deras. Sepertinya hujan hari ini masih akan bertahan lama, entah kapan berhentinya. Mungkin bisa sampai besok pagi baru berhenti. Sebaiknya aku segera bangkit dari kursiku dan melanjutkan kegiatan yang tertunda beberapa saat. Sebentar lagi suamiku pulang dari kantor, pasti bajunya basah saat akan memasuki mobilnya dan pasti akan kedinginan dalam perjalanan pulang.
Sebaiknya aku segera membuat teh panas untuk menyambut kedatangannya dan menyiapkan makan malam. Sekali lagi komandoku untuk bungsuku,
“Dik, ayo tivinya selesai. Bantu mama nyiapin meja makan ya...!”

29 Maret 2010

Satu Siang Kulewati Bersama Putri Bungsuku

“Assalaamu’alaikum......!!” Lantunan salam agak keras yang dilagukan naik turun mengalun mengiringi hentakan langkahnya diluar kamar tidurku, sesaat kemudian terdengar ketukan dari pintu depan disusul irama bel pintu yang mendayu karena kehabisan baterai dan kembali ucapan salam terulang.
“Wa’alaikum salam...! Gimana sekolahnya?” Kalimat yang hampir sama selalu kuucap setiap membukakan pintu. Dia hanya mengangguk tanda semua baik-baik saja. Kuulurkan tangan padanya, jarinya yang sudah hampir seukuran jariku cepat meraih, menjabat dan menempelkan ke mukanya.
“Wow!” mukanya hangat sekali, kepalanya yang terbalut kerudung juga. Udara hari ini memang luar biasa panas, juga hari-hari sebelumnya. Seorang teman sampai membuat status di face-booknya “mataharinya ada 3”, ini karena udara memang sangat panas dan tak ada tanda-tanda akan turun hujan, sudah hampir sebulan matahari bersinar sangat terik. Sekelebat dia mendahuluiku dan merebahkan tubuhnya ke kursi panjang sambil melepaskan tas punggung yang penuh dengan buku dan perangkat sekolah. Yang kutahu setiap pelajaran pasti dilengkapi beberapa buku tulis yaitu: satu untuk catatan, satu untuk latihan, satu untuk PR dan satu untuk ulangan. Kalau hari ini dia punya tiga jadwal saja, berarti dia bawa dua belas buku tulis dan tiga buku cetaknya. Kadang masih harus ditambah kamus bahasa Inggris maupun kamus bahasa Indonesia yang lumayan tebal.

“Huuuff!!” Hembusan nafas agak panjang yang keluar dari mulutnya menunjukkan kelegaan sudah sampai di rumah dan menikmati udara dingin diruangan. Tangannya mulai membuka kerudungnya dan membiarkan dilengan kursi. Kulihat rambutnya agak basah karena keringat, sekarang tambah kelihatan mukanya yang memerah. Dibukanya satu persatu sepatu dan kaos kakinya selanjutnya ditinggalkan dilantai dimana dia duduk. Dia berjalan ke ruang makan, menuang segelas penuh teh manis dari teko yang kubuat tadi pagi. Begitu hausnya.... dalam sekejap gelas ditangannya telah kosong lagi. Dia memutar badan menuju dapur. Benturan antar botol di lemari es terdengar sampai ke ruang tamu dan sesaat dia kembali keruang makan dengan sebotol air putih dingin. Belum puas rasanya minum segelas teh manis tadi. Segelas air putih dinginpun dalam sekejap juga sudah habis.
“Makan Dik...!!!” kataku dari tempatku duduk.
“Ya! Sebentar...” jawabnya sambil menuju ruang tamu dan duduk seraya menyalakan TV dengan remote control ditangannya. Dia pilih chanel kesukaannya “Musik”. Kubiarkan sesaat untuk melepas kepenatan setelah seharian berkutat dengan pelajaran di sekolah. Mulutnya menyuarakan pelan mengikuti lantunan lagu. Ada beberapa lagu dinikmatinya sambil sesekali mengibaskan rambutnya yang basah keringat dan mengipas dengan koran yang ada di meja. Setelah dirasa cukup dia mulai beranjak ke ruang makan.

Segera dibuka piring yang sudah tersedia di meja makan dan menuang nasi secukupnya. Matanya menatap senang melihat menu kesukaannya terhidang di meja. Ayam bakar bumbu kecap, sambal terasi tomat tidak terlalu pedas dan sayur sop. Kutemani makan siang kali ini karena aku juga belum makan.
“Boleh dua!!” sambil jari tengah dan telunjuknya diarahkan padaku. Maksudnya ayamnya boleh nambah lagi apa tidak. Aku mengiyakan, segera tangannya meraih memilih bagian kesukaannya “paha”. Sebentar saja telah habis sepotong paha ayam.
“Boleh lagi?” sambil matanya menatapku seolah mengatakan “please Ma..” dan senyumnya mengembang minta persetujuanku. Duuuuh kalau sudah cocok menunya, terus saja nambah. Kulihat ayam tinggal dua potong.
“Sisain satu..., mbaknya belum makan” maksudku mbak yang kerja dirumah.
“Yes!!” cepat diambilnya bagian yang juga disukainya “sayap”
“Jangan lupa sayurnya ya...” Dia mengangguk dan menyelesaikan makan siangnya. Hari ini dia makan dengan lahapnya. Disamping hawa yang panas yang membuat tenaga terkuras disekolah, mungkin juga karena menu yang cocok dengan seleranya. Memang sebaiknya sebelum berangkat sekolah anak ditawari dulu mau makan apa untuk makan siangnya dari pada sudah masak ternyata tidak sesuai selera dan nafsu makan anak menurun ketika melihat hidangan diatas meja makan.
Seperti suami kalau ditawari mau makan apa nanti siang, suami pasti menjawab.
“Coba anaknya mau makan apa, kalau Papa sih apa aja nggak masalah”
Memang benar, apalagi anak masih butuh asupan yang banyak. Untuk pertumbuhan dan daya tahan tubuhnya.

Setelah menjalankan sholat dzuhur dan istirahat beberapa saat, dia mulai menyiapkan buku-bukunya karena setengah tiga harus kembali ke sekolah mengikuti “Bimbel” tambahan pelajaran khusus kelas 6 untuk menyongsong ujian nasional. Setelah semua beres, dia segera mengambil handuk dan masuk ke kamar mandi. Suara shower yang deras terdengar dari balik pintu kamar mandi ketika kulewati karena aku juga harus segera bersiap-siap mengantar ke sekolah.

Jam setengah tiga kurang sepuluh menit. Harumnya sabun mandi dan parfum telah menggantikan bau keringatnya sewaktu pulang sekolah tadi. Badannya telah segar kembali, kesan lelahnya telah lenyap terganti dengan semangat keberangkatan menuju sekolah mengikuti bimbel.
“Minumnya sudah Dik?” kataku mengingatkan untuk membawa bekal minum karena bimbel akan dijalaninya selama satu setengah jam. Dia mengangguk. Siiiip, semua beres. Berarti siap meluncur ke sekolah.
Beberapa temannya sudah datang. Dari mobil bisa kulihat ada yang sudah berada di kelas, ada yang baru saja sampai diantar ibunya, ada juga yang naik sepeda. Wow! Terik matahari tak menyurutkan langkah wajah-wajah kecil menimba ilmu ke sekolah. Bagaimanapun caranya. Setelah mencium tangan dan mengucap salam, dia turun dari mobil dan menutup kembali pintunya. Kuawasi sampai dia berbaur dengan teman-temannya menuju kelas.
“Ya Allah, Jagalah putriku yang sedang menuntut ilmu ini. Berikan kemudahan baginya menerima bimbingan dari guru-guru yang mengajarnya. Jagalah selalu kesucian hati dan fikirannya. Amin”.

Tak kuasa kutahan genangan air yang mengambang dimata yang membuatku memandang tak jelas langkah-langkahnya bersama teman-temannya menuju kelas. Ketika kuusap dan kutatap lagi...., langkah-langkah itu sudah tidak ada. Anak-anak sudah masuk ke kelasnya.
“Ya Allah, Jagalah putriku dan anak-anak masa depan ini. Amin”

28 Maret 2010

Aku liburan di Bontang Ya...?

Rabu 8 April 2009. ”Sofi” putriku yang sedang menuntut ilmu di SMU Taruna Nusantara Magelang menelepon sekitar jam 9 malam. Saat yang hampir sama setiap kali meneleponku. Dan seperti biasa aku dan suami mendengarkan suaranya yang di loud speaker. Setelah mengucap salam dan berkabar-ria, tiba-tiba minta pulang untuk liburan UAN. Hah...! Libur UAN kan cuma lima hari, pikirku. Ditambah Sabtu-Minggu.
“Apa nggak capek di jalan Sof...?”
”Please Ma..., bilang Papa deh, nanti pasti boleh. Banyak yang mau kuceritain nih. Ayo-ayo-ayo...”
Akhirnya HP berpindah ke suami dan liburan disetujui. Libur satu minggu dengan perjalanan “Magelang-Solo-Jogja-Balikpapan-Bontang”. Tidak apalah, anggap saja refreshing. Kupikir-pikir memang selama tinggal di asrama dengan peraturan ketat yang bahkan hari Minggupun kadang masih ada kegiatan extra yang diikutinya, seperti latihan marching band, paduan suara, juga kerja bakti di masyarakat maupun membersihkan asrama dan masih banyak lagi, pasti membuatnya jenuh.

Secepatnya kutelepon adik yang di Solo untuk memesankan tiket Jogja–Balikpapan tanggal 19 dan Balikpapan–Jogja tanggal 24 dengan catatan pesan secepatnya supaya tidak kehabisan. Dan akhirnya terbeli juga. Sewaktu ada kesempatan menelepon lagi kutawarkan memanggil guru les fisika untuk menambah materi persiapan olympiadenya. Syukurlah tawaranku disetuju dan ini juga supaya hari liburnya tidak terbuang sia-sia.

Hari yang ditunggu tiba, Minggu 19 April 2009, putriku “Sofi” sudah sampai di airport Bontang. Aku dan bungsuku menjemputnya. Kulihat langkahnya yang tegap menuruni anak tangga pesawat menuju ruang kedatangan dengan seragam pesiarnya. Celana panjang biru, hem lengan panjang biru muda dan jas biru lebih tua dari celana dan hemnya dilengkapi baret dipundaknya. Tapi ada yang lain dengan seragamnya kali ini. Ada hiasan besar terpasang didadanya, tali koor warna merah putih. Setelah mencium tanganku sembari mengucap salam yang kemudian kujawab salamnya sambil kucium pipinya, dia membisikkan.
”Ini tali koor Marching Band, keren kan...” senyumnya mengembang, aku juga. Bangganya... akhirnya dapet juga yang diincarnya.
Kutanya keadaannya, walau jelas kulihat baik-baik saja. Wajah capeknya masih tetap terlihat meski senyum menghiasi bibirnya. Mungkin karena perjalanan yang melelahkan, seperti yang diceritakan di telepon saat diperjalanan tadi. Jum’at larut malam masih mengerjakan tugas sedang paginya masih masuk sekolah seperti biasa. Sepulang sekolah harus packing kopor dan merapikan kamar. Belum lagi sewaktu menunggu jemputan Omnya yang belum datang-datang, gurunya memintanya bolak balik ke kamar teman-temannya yang lupa menutup jendela, memiringkan kasur dan lain-lain. Jam Lima sore akhirnya Omnya datang juga, mulailah perjalanan ke Solo yang ternyata butuh waktu 4 jam untuk sampai rumah. Sedang paginya harus segera bersiap-siap ke Jogja, mengejar pesawat yang jam delapan. Ternyata sampai di Balikpapan masih harus menunggu tujuh jam lagi karena memang pesawat adanya hanya sore jam tiga untuk melanjutkan perjalanan ke Bontang. Belum lagi harus membawa tentengan tas pesiar dan lap topnya.

Diantara barang-barang yang berjejer dan menunggu sampai habis bagasi yang masuk, ternyata tak ditemukan juga kopornya. kemudian terdengar pengumuman bahwa beberapa bagasi tidak bisa terangkut dan masih tertinggal di Balikpapan, baru akan dibawa pesawat keesokan harinya dengan waktu yang sama saat ini.
”Wah, Ma. Koporku tidak keangkut, waduh...!! gimana ini. Tugasku di kopor semua. Banyak lagi. Nggak bisa ngerjain dong malam ini”.
Kutenangkan kepanikannya, mungkin ada yang bisa dikerjakan lebih dulu selain tugas-tugas yang di kopornya.
”Iya sih, ngambil dari internet. Iya deh nyelesaiin itu dulu”.
Kami bertiga menuju rumah. Papanya sudah menunggu di teras. Setelah mengucap salam kami masuk. Obrolan dilanjutkan di ruang tamu diselingi SMS dan telepon dari teman-temannya.
Malam, sekitar jam delapan, beberapa teman SMPnya datang. Teman-temannya yang sudah tak asing lagi bagiku. Setelah mengobrol sebentar, bersama teman-temannya minta ijin untuk pergi kerumah teman yang ternyata sudah ada teman-teman yang lain yang sudah menunggu. Ku bolehkan saja karena aku tahu siapa teman-temannya. Mereka anak-anak yang bertanggung jawab.

Hari-hari berlalu, Setiap pagi jam delapan sampai jam sebelas diisi dengan les fisika untuk tambahan materi olimpiadenya. Setelah istirahat, dilanjutkannya dengan menyelesaikan tugas sambil sesekali Chatting. Hampir tiap malam dia tidur larut, malah menjelang subuh baru tidur. Kasihan melihatnya. Tapi apa boleh buat. Tugas harus diselesaikan.
Ternyata ada untungnya juga liburan ke Bontang ini. Kalau melihat PR-nya yang banyak dan harus mengerjakan sampai larut, browsing di internet yang memakan waktu lama, mungkin tugas-tugasnya tidak selesai kalau jadi liburan di Solo. Selain fasilitas internet tidak ada yang berarti harus ke warnet, tidak ada yang bisa membantu karena semua sibuk kerja.

Usai sudah hari liburnya. Jum’at 24 April 2010. Putriku harus kembali ke asrama paling lambat masuk asrama jam lima sore. Ini sudah menjadi peraturan sekolah. Jam 08.30 kami sudah sampai di airport mengantar keberangkatannya, ini setengah jam lebih awal dari jadwal kebarangkatan pesawat. Setelah menunggu dan sampai jam yang ditunggu-tunggu, ternyata keberangkatan ditunda sampai jam sepuluh. Jadi kami harus menungu satu jam lagi. Dari pada bolak balik, kami putuskan saja menunggu di Airport. Jadi kutemani sampai pesawat benar-benar berangkat.
Satu jam dari keberangkatan telah berlalu, kuyakin pesawat telah mendarat di Balikpapan dan tinggal menunggu keberangkatan ke Jogja yang rencananya berangkat jam tiga sore. Perjalanan yang melelahkan lagi. Beberapa kali telponku tersambung untuk menemaninya. Kasihan menunggu sendiri di bandara. Jam setengah tiga, telponku bunyi.
“Ma..., pesawatnya dilayed sampai jam tujuh malam”
Langsung kubayangkan betapa capeknya perjalanannya hari ini. Sudah tidurnya kurang, tenaga dan pikiran terforsir. Sekarang harus menunggu lagi. Benar-benar melelahkan. Kucoba terus menenangkan. Lalu kusuruh menelpon wali grahanya untuk memberitahu bahwa pesawatnya tertunda dan terpaksa masuk asrama terlambat.
“Ya Allah, berikan keselamatan pada putriku, berikan kekuatan dan kesabaran padanya”
Sementara menunggu keberangkatannya yang jam tujuh malam, teleponku terus saja tersambung untuk menemaninya, menguatkan dan menenangkannya. Sampai akhirnya pesawatpun benar-benar berangkat tepat jam tujuh malam dengan tujuan Jogja.
Secepatnya kuhubungi adikku yang akan menjemput di bandara Jogja dan yang akan mengantar ke Magelang untuk memberitahunya bahwa pesawat sudah berangkat. Alhamdulillah, ternyata adikku sudah berangkat menuju Airport Jogja dan siap mengantar sampai Magelang. Beberapa barang yang dipesan anakku juga sudah dibawakan, seperti perlengkapan acara lomba kartinian. Aku juga minta tolong, sebelum ke Magelang untuk mampir makan malam dulu karena jam makan malam bersama di asrama sudah lewat. Syukurlah semua akhirnya terselesaikan.
Masih sempat kutelpon tadi, sewaktu mendarat di jogja. Kuingatkan sekali lagi apa yang harus ditinggal di Solo dan yang akan dibawa ke Magelang. Jangan sampai ada yang terlupakan mengingat kondisi tubuhnya benar-benar kelelahan hari ini. Lalu komunikasiku terhenti. Aku yakin di dalam mobil jemputan adikku, putriku pasti tidur pulas sampai asrama. Aku yakin itu. Besok akan ku telpon adikku untuk mendapatkan ceritanya dan mengucapkan terima kasih. Yah besok saja kutelpon Adikku.