30 Juni 2010

Mulai nol lagi

Dapet rumah dinas dengan halaman yang cukup luas yang hanya ditanami satu pohon jambu air dan pisang sanggar yang raksasa buahnya artinya makan sebuah aja udah kenyang, beberapa tanaman yang nggak keurus dan rumput gajah. Benar-benar halaman rumah tanpa pepohonan. Sepertinya pohon yang ada sebelumnya digali dan dipindah. Terlihat dari beberapa galian yang menjadikan permukaan tanah jadi berlubang-lubang. Panas dong disiang bolong.

Singkat kata jadilah sekarang punya tugas menghijaukan pekarangan. Siapa yang nggak ngiler liat kebun tetangga dan teman-teman yang hijau penuh koleksi baik pohon besar maupun taman bunganya. Apalagi kalau tamannya tertata rapi, bersih dan indah. Pengen juga punya pekarangan yang asri.

Tetangga dan teman yang baik selalu saja menawarkan bunganya untuk kukoleksi, hehehe.. lumayan. Kalau beli pasti habis banyak karena pekarangan ini memang luas sekali. Dapetlah cangkokan jambu air, mangga dan beberapa tanaman hias. Sekali waktu mampir kerumah teman yang mengoleksi anggrek, rasanya betah sekali main di tamannya yang dikanan-kiri bunga anggreknya bermekaran. Namanya rezeki, aku dikasih anakannya dan dikasih tahu ngerawatnya. Alhamdulillah, mudah-mudahan hidup dan tumbuh subur.

Saat berkesempatan pulang ke Jawa, berburulah ke beberapa tempat penjualan bunga, tujuan utama mencari anggrek. Sedang jatuh cinta sama anggrek nih. Bagaimanapun akan kubela-belain bawa dan menenteng naik pesawat. Padahal saat itu sulungku masih suka minta gendong juga. Repot harus menenteng dan menggendong. Ah, bersusah-susah dahulu senang-senang kemudian.

Akhirnya sampailah ke sebuah rumah kuno, dari luar terlihat bermacam-macam anggrek yang sudah besar dan berbunga. Tambah ijo aja nih mata dan bertekat menemui pemiliknya. Setelah berkeliling dan berhitung pilihan jatuh pada pot-pot kecil berdiameter 5-7 centian dengan tunas-tunas setinggi 3-4 centian. Tidak tahu nanti akan menjadi seperti apa rupa dan bentuk bunganya, yang kuingat waktu itu namanya “dendrobium” dan kata penjualnya lagi

“ini nanti bunganya beda-beda, contoh bunganya seperti disana” sambil penjual menunjuk kesekeliling bunga anggrek yang sedang bermekaran.

Alasan memilih yang masih kecil adalah mau belajar ngerawat dari kecil (sok-sokan), dengan jumlah uang yang sama dapet lebih banyak pohon meski belum tahu bisa tumbuh apa tidak dan jenis bunganya, mudah membawanya karena bisa dikardus dan ditenteng.

Saatnya merawat, menyiram, memberi pupuk daun sampai siap berbunga, membasmi kutu dan jamur. Daun-daun mulai tumbuh dan batang-batang mulai membesar. Semua sama bentuk daunnya, bedanya hanya ada yang agak bulat, ada yang panjang dan warna daun mudanya ada yang dipinggirnya keunguan. Penasaran apa nanti warna bunganya. Melihat daun yang hampir sama, suami berkomentar.

“Beli bunga kok sama semua”

“Kata yang jual bunganya beda-beda”

“Gimana tahu beda wong daunnya sama semua”

“Ya ditunggu aja nanti hasilnya”

Memang tak semua berhasil hidup, namanya juga baru belajar bertanam. Ada yang busuk, ada yang lama-lama kering dan mati. Tapi bisa dikatakan penanaman ini berhasil. Tak berapa lama, beberapa pohon keluar kuncup yang bentuknya sama, dan beberapa kuncup berbeda warna. Semakin yakin pasti bunganya nggak sama. Benar juga, setelah mekar kulihat kuntum warna ungu tua, ungu muda, putih polos, putih ditengahnya ungu, putih dilidahnya ungu, putih kehijauan, kuning, ungu terong dan masih banyak lagi. Tidak hanya anggrekku yang berbunga, aku dan suamipun berbunga-bunga.

Saking tertariknya, diakhir pekan suami mengajak jalan-jalan khusus membeli anggrek. Tak tanggung-tanggung dibelinya 10 pohon yang sudah jadi artinya sudah ada bunganya. Saat itu satu pot masih sepuluh ribu. Dan apa pesan suami ketika sampai dirumah,

“Ma, ini jangan diutak-atik ya, nanti biar aku aja yang ngerawat”

Hohoho, ternyata suamiku takut kalau pohon hasil belanjanya gagal kurawat.

“Tidak apa-apa, aku kan punya banyak, hayo nanti punya siapa yang gemuk dan banyak bunganya” jawabku mencandainya.

Tahun berlalu, penggantian arang, memupuk, membasmi kutu dan jamur, pemecahan anggrek kulakukan sendiri dan cukup berhasil. Sedang tukang kebun hanya melihat saja bagaimana aku mengerjakannya. Sampai akhirnya ada kalau seratus pot dan semuanya subur-subur. Setiap batang bisa berbunga tiga tangkai. Siapa yang tidak naksir anggrekku. Batangnya yang gemuk, daunnya yang besar-besar dan hijau. Setiap yang datang kerumah selalu berkomentar dan jika ada yang berminat dan kuyakin orang ini akan merawat pasti kukasih. Aku bisa memberinya satu pot anggrek sudah jadi karena koleksiku sudah terlalu banyak, tak muat tempatnya.

Sekali waktu, karena sesuatu hal kusuruhlah pak tukang kebun membersihkan anggrek-anggrek di pot. Aku yakin dia bisa karena sering melihatku mengerjakannya.

“Pak, tolong anggrek-agrek yang di pot, akarnya yang rusak dibersihkan ya, Dibongkar dulu nanti dikembalikan ke potnya lagi”

Satu dua jam kemudian aku keluar rumah mau melihat hasil kerjaan pak tukang kebun. Dapet lima pot kan lumayan, minggu depan bisa dilanjutkan.

Betapa kagetnya aku ketika baru membuka pintu depan, pak tukang kebun pas dihalaman depan pintu mengayunkan golok ke pangkal akar dan batang anggrek. Mataku melotot dan spontan aku berteriak,

“Pak ! kok gitu motongnya”

“Terus gimana bu?”

“Kan pak Udin udah sering lihat, kan dibersihin aja akar-akarnya yang mati. Bukan dipangkas habis gini”

“Salah ya bu”

“Haduh pak Udin.. ya salah”

“Tadi yang dibelakang begini juga bu”

“Hah !”“Iya bu”

“Terus mana aja yang belum dikerjain?”

“Sudah semua bu”

Lemes aku, anggrek seratusan dipotong akarnya semua dalam waktu satu dua jam. Pak Udin ! pak Udin! Matilah anggrekku !

Terpaksa mulai lagi ngerawat seperti bayi, anggrek ini sakit. Pasti ada yang sembuh tapi pasti ada yang tak bisa bertahan. Kurawat lagi sendiri, merangsang akarnya tumbuh lagi, butuh waktu lama. Sebulan? dua bulan? tak cukup, bahkan sekarang sudah lebih dari dua tahun. Menunggu bertunas lagi, gemuk lagi dan berbunga lagi. Bagaimana bisa berbagi lagi dengan teman-teman, menunggu sehatnyapun ketar-ketir. Hidup nggak ya.. hidup nggak ya..

Sekarang sudah ada yang berbunga lagi, tapi kok bunganya itu-itu saja yang nongol. Mana yang lainnya? apa mati ya?





28 Juni 2010

ayuk berhemat

Punya dua kamar mandi, kamar mandi utama dan kamar mandi keluarga. Dilengkapi jakuzi, shower untuk air panas dan dingin, wastafel, closed duduk. Ditambah satu kamar mandi pembantu yang memakai bak penampung air. Dalam keadaan normal, semua baik-baik saja. Air mengalir cukup deras dan bersih. Kegiatan wudlu, mandi dan thaharah lainnya, memasak, ngepel, mencuci baju, menyiram tanaman sampai mencuci kendaraan dapat dilakukan tanpa halangan. Meteran dilos artinya tanpa batasan pemakaian sehingga air bisa dimanfaatkan secara maksimal. Tapi penghuni rumah tetep diharapkan untuk memakai air seperlunya terbukti didinding kamar mandi dan beberapa tempat ditempel stiker bertuliskan “jangan buang-buang air tapi hematlah”. Jadi jangan coba-coba buka bisnis cucian mobil, ini namanya kebangetan.

Kadang dengan berlimpahnya air kita menjadi kurang peka lingkungan. Mandi dengan air mengucur deras saat sedang memakai sabun, mencuci piringpun tak kalah hebatnya, berkali-kali harus mengingatkan pembantu cara mencuci piring yang hemat air, begitupun dalam mencuci baju dan mencuci mobil.

Nah, giliran ada pengumuman air akan dimatikan untuk beberapa saat mulai jam.. sampai jam.. karena ada perbaikan pipa bocor. Kalang kabutlah kita. Beberapa koleksi ember cucian, segala ukuran panci dikeluarkan untuk menampung air. Ini kalau sempat menampung, kalau tidak.. Barulah terasa betapa butuhnya air, betapa tidak enaknya tidak memiliki air. Apalagi yang mempunyai anak kecil yang setiap saat membutuhkan air.

Ini baru beberapa jam tak leluasa menggunakan air, pernahkah terpikir saudara-saudara kita yang tak memiliki air bersih untuk beberapa hari, seperti para korban bencana alam, banjir, kekeringan?

** Hayuk mulai sekarang kita gunakan air dengan sehemat mungkin
** Buat daerah resapan dan cadangan air dengan menanam pohon-pohon disekitar kita.
** "Apabila ada sebiji palem ditanganmu sedangkan engkau tahu besok mau kiamat, maka tanamlah" dari hadist

23 Juni 2010

Siapa menuai pahala ?

Sore itu. Suara televisi yang sedang dinyalakan tak terdengar jelas, sepertinya hanya sebagai teman saja agar suasananya tidak sepi. Ruangan berukuran 6x6 meter adalah ruang tamu yang sekaligus sebagai ruang keluarga. Rumah ini memang tidak mempunyai ruang tamu khusus, jadilah kegiatannya berbaur dari menerima tamu, menonton televisi, menjawab telepon, membaca koran, majalah, mengaji sampai belajar. Pandai-pandailah berbagi kesempatan. Jika tamu si Tuan datang, maka si Nyonya akan bertahan dikamar sampai tamu pulang. Nyonya hanya keluar sebatas membuatkan minuman untuk tamu dan kembali lagi kekamar. Begitu juga sebaliknya. Anak-anak juga bersikap sama, paling basa-basi sebentar, bersalaman lalu masuk kamar sampai tamu pulang. Seperti keong saja, kamarku adalah rumahku. Sesekali keluar melewati ruangan itu untuk memenuhi keperluannya.

Sore itu Miranda, nyonya rumah itu duduk dilantai sedang membuat bunga dari biji-biji yang beberapa hari ini dikumpulkannya. Ada beberapa tangkai telah selesai dibuat. Sesekali saja pandangannya beralih ke televisi dan sekeliling rumah untuk melemaskan otot lehernya yang sedari tadi menunduk memastikan jari-jarinya tak salah menyusun biji-biji itu menjadi sekuntum bunga. Kemudian menunduk lagi dan asyik lagi dengan kegiatannya. Selain sedang asyik dengan kegiatannya itu Miranda memang tak tertarik dengan acara televisi yang sedang tayang dan Miranda yakin disetiap saluran televisi yang akan digantinyapun akan menyiarkan berita yang sama. “Ah nggak kreatif, bikin berita kok sama!” Begitu kira-kira yang dipikirkannya. Jadi dibiarkannya televisi menyala dengan suara yang tak kentara dan tak ada pemirsanya. Apa mereka para pembuat berita tidak tahu kalau jam tayang mereka saat ini banyak anak-anak yang akan menyaksikan? Apa mereka tidak sadar apa yang akan ditanyakan anak-anak pada para orang tua yang tidak semua orang tua bisa menjawab dengan baik. “Ah, anak kecil nggak usah ikut-ikut”, “sudah-sudah, mama juga nggak tahu!”, “Ais, nggak penting itu” dan mungkin masih banyak lagi jawaban-jawaban yang bernada tak mendidik karena memang tidak tahu bagaimana menjawabnya.

Dalam keterasyikannya memasang kelopak-kelopak bunga, Miranda dikejutkan oleh sosok bayangan diluar jendela. Sosok laki-laki berjalan mengarah ke pintu. Tak jelas siapa orangnya karena jendela tertutup fitrase yang agak tebal. Miranda masih tak beranjak dari duduknya, dia hentikan kegiatannya. Miranda mengamati sambil mengerutkan alisnya, meyakinkan kemana bayangan laki-laki itu berjalan. Dalam hatinya berkata “mungkin hanya orang numpang lewat”. Maklum saja rumah dalam perumahan ini tak berpagar, jadi siapa saja bisa melintas tanpa permisi.

Tak berapa lama dari bayangan yang dia lihat tadi, bel pintu rumahnya berbunyi. Kali ini Miranda harus berdiri mendekati pintu dan mengintip dari jendela siapa yang datang. Alisnya berkerut lagi saat melihat dan mengenal orang yang sedang bertamu kerumahnya. Udin, si tukang kebun yang bekerja dirumahnya setiap hari Minggu pagi sampai sore yang sebulannya dibayar tiga ratus ribu rupiah dengan pakaian hariannya, maksudnya bukan pakaian dinas kerjanya. Berarti dia sudah pulang kerumah tadi. “Ada apa sore-sore datang kerumah? Mau meminjam uangkah dan yang nantinya akan diangsur dengan gaji bulanannya” Pikir Miranda. Miranda memutar anak kunci yang masih menempel di pintu dan membukanya agak lebar.

“Apa pak?” tanyanya

“Mau ngomong sebentar bu”

Dalam hati Miranda berucap “serius amat, butuh uang atau apa ya?”

“Mau minta tolong sama bapak, aku ini bu” jawab Udin dengan logat Sulawesinya. Ow, berarti bukan mau pinjam uang. Kalau hanya mau pinjam uang biasanya juga nggak melibatkan Gilang, suami Miranda. Cukup dengan Miranda saja bisa tertangani.

Miranda dan Udin duduk di kursi diteras rumah. Udin mulai menceritakan keadaannya.

“Aduh bu, pusing aku ini. Mau minta tolong sama bapak supaya saya bisa ikut motong rumput didalam”

“Lho.. bukannya pak Udin sudah kerja, udah habis kontraknya?”

“Itulah bu, sekarang ini hanya lebih satu juta saja gajiku, mau pindah saja aku bu”.

Maksud dari percakapan ini adalah Udin saat ini sudah bekerja sebagai pemotong rumput dengan gaji satu juta lebih, cuma tidak dijelaskan lebihnya berapa. Yang jelas kurang dari dua juta. Mana cukup menghidupi keluarganya.

“Nggak cukup nah bu dengan empat anak, mana empat-empatnya sekolah semua. Ini juga mau bayar untuk ajaran baru. Istri saya juga.. ah.., gajinya Cuma berapa bu, nggak cukup. Itu saja.. gaji saya habis untuk makan. Ah, pusing saya bu”

“Pak Udin, pak Gilang harus gimana? kan nggak bisa masukin orang semau sendiri. Pasti akan dimarah orang nanti”
Miranda benar-benar tidak tahu harus bagaimana.

“Orang-orang yang kerja itu semua ada yang bawa bu. Kontraktornya maunya ada jaminan orang dalam”

Udin terlihat pasrah dengan nasibnya, dan sangat berharap akan bantuan Gilang yang apakah nanti bisa mengusahakannya atau tidak. Miranda sendiri tidak yakin karena suaminya bukan tipe orang yang menitipkan orang atau memasukkan orang untuk bisa bekerja. Udin kembali menceritakan saat terjadi pengurangan tenaga kerja. Teman-temannya yang membawa sponsor orang dalam padahal kalau dilihat kerjanya juga tidak lebih baik dari dia tetap dipertahakan sehinga dapat dipekerjakan lagi saat ada kontrak baru. Udin tidak tahu apa kriteria yang dipakai untuk memilih mana yang dipertahankan, mana yang diberhentikan dan orang baru yang akan dipekerjakan. Padahal dari pengalaman dia lebih lama, lebih berpengalaman dan tidak berbuat macam-macam artinya dia orang yang rajin dan sunguh-sungguh dalam bekerja. Yang dia tahu hanya orang-orang ini titipan dari orang dalam.

Beberapa nama yang menjadi sponsor diabsennya. Nama-nama orang yang membawa teman-temannya untuk bisa masuk atau tetap dipertahankan menjadi pemotong rumput diperusahaan ini. Udin termasuk yang tereliminasi karena tak ada sponsor saat itu. Dia harus berjuang sendiri mempertahankan pekerjaan yang sudak dilakoninya puluhan tahun. Sekarang dibuang begitu saja tanpa pesangon.

“Begini saja pak Udin, pak Udin bikin surat lamaran saja. Nanti kasihkan bapak, supaya besok disampaikan ke yang mengurusi karyawan-karyawan ini. Siapa tahu nanti bisa membantu”

“Saya sudah bawa bu, saya tinggal disini ya bu?”

“Iya, nanti aku sampaikan ke bapak. Nanti malam pak Udin sini lagi, ngomong sendiri sama bapak biar jelas maksudnya”

“Jadi nanti malam saya kesini ya bu?”

Miranda mengiyakan diikuti pak Udin yang berpamitan dengan membawa segenggam harapan yaitu mudah-mudahan lamarannya bisa diterima, bisa bekerja lagi sebagai pemotong rumput dengan penghasilah lebih dari dua juta, bisa membiayai sekolah anak-anaknya tahun ajaran baru ini.

Miranda menutup kembali pintu rumah, meletakkan map warna kuning yang beiri surat lamaran pak Udin untuk bisa diperkerjakan lagi sebagai pemotong rumput. Mudah-mudahan nasib baik menyertai pak Udin, harap Miranda dalam hati.

Serasa baru sebentar Miranda duduk bersama Gilang diruang keluarga membicarakan kedatangan pak Udin tadi sore. Kini bel pintu sudah berbunyi lagi. Miranda yakin ini pak Udin. Gilang segera membuka pintu setelah mengintip dari balik jendela dan melihat pak Udin yang datang. Beberapa saat mereka berdua berbincang-bindang, agak lirih suaranya. Miranda yang duduk di kursi tamu sedang merenda tak bisa mendengar jelas. Tapi Miranda tahu maksud kedatangan pak Udin, seperti tadi sore. Membicarakan surat lamaran yang ditipkan ke Miranda.

Tak perlu lama-lama untuk membicarakan. Pak Udin segera undur diri masih dengan harapan yang membulat. Gilang meletakkan map itu diatas meja pojok ruangan.

”Terus gimana Pa?” tanya Miranda penasaran apa yang akan dilakukan suaminya besok.

”Yah.. nanti diserahkan saja sama yang mengurus kerjaan ini. Mudah-mudahan saja bisa dimasukkan kalau memang dibutuhkan”

”Ke siapa Pa?” tanya Miranda lagi.

”Ke pimpinannya, dia kan yang butuh enggaknya karyawan”

Haripun berganti, surat lamaran titipan pak Udin sudah diserahkan ke pimpinan proyek. Sekarang tinggal menunggu hasil apakah akan ada panggilan atau tidak. Gilang sendiri tidak yakin ada tidaknya lowongan. Gilang hanya menyerahkan dan tidak menanyakan lagi, semua akan diproses sesuai aturan perusahaan. Gilang tidak bisa memaksakan kehendaknya. Gilang tidak punya hak. Walau pak Udin adalah tukang kebun yang bekerja dirumahnya, Gilang tak bisa berbuat banyak. Gilang tak bisa bermain belakang, itu dosa, semua sesuai prosedur. Kalau memang rezeki ya pasti dipanggil. Itulah Gilang.

Seminggu berlalu dari penyerahan lamaran kerja titipan pak Udin. Belum ada tanda-tanda atau kabar surat lamaran kerja pak Udin. Diterima apa tidak ya? Pikir Miranda.

Seperti nyambung saja, pak Udin sudah berdiri didepan pntu rumanya setelah Gilang membukakan pintu mendengar bel pintunya berbunyi. Pak Udin dipersilahkan masuk. Gilang mengambil tempat untuk berbincang didepan pintu masuk. Mereka berdua membicarakan dengan lirih, hampir tak terdengar. Lebih kenceng suara televisi yang sedang dinyalakan. Miranda sendiri sedang asyik didepan komputer mengolah kalimat, sedang membuat cerita dan bungsunya duduk didepannya menikmati acara televisi.

”Ma, coba nomor telepon pak Jupri”

“2596” jawab Miranda singkat setelah melihat di intranet.

Gilang segera menekan angka yang dituju, tak ada yang mengangkat. Dicobanya beberapa kali, tak juga ada yang mengangkat.

“Ma, coba nomor telepon pak Sentot”

“3432” jawab Miranda lagi setelah melihat di intranet

Gilang segera menekan angka yang dituju, tak ada yang mengangkat. Beberapa kali dicobanya menghubungi, tapi tak ada hasil.

“Ma, coba nomor telepon pak Joko”

Sekali lagi jari-jari Miranda menekan intranet mencari nomor telepon pak joko dan menemukannya.

“2667”

Sekali lagi Gilang menekan angka yang dituju, mudah-mudahan kali ini berhasil, harapnya. Tak ada yang mengangkat.

“Pada cuti mungkin Pa” kata Miranda

“Eggak, aku tadi lihat dikantor kok”

Tak putus asa Gilang menekan angka 2667 dan akhirnya tersambung juga.

Pembicaraan berlangsung antara Gilang dan pak Joko beberapa menit. Teleponpun kemudian diakhiri. Gilang kembali berbincang-bincang dengan pak Udin. Entah apa yang dibicarakan sekarang. Dan setelah itu pak Udin mohon diri. Gilang melanjutkan aktifitasnya membaca koran yang tertunda dan Miranda masih asyik dengan komputernya, menekan tuts membuat huruf-huruf menjadi kalimat yang menarik. HP Miranda berbunyi tanda sms masuk. Miranda segera membacanya.

“Pak, saya sudah ke rumahnya pak Sentot. Pintu pagarnya digembok, sepertinya orangnya cuti Pak”

Miranda segera menyampaikan isi sms pak Udin ke Gilang. Pak Udin hanya tahu nomor Miranda makanya untuk menghubungi Gilang hanya bisa melalui Miranda.

”Emang kenapa pak Udinnya kok kerumah pak Sentot?” tanya Miranda ingin tahu perkembangannya.

”Mau dijawab apa ini?” tanya Miranda lagi.

”Nggak usah dijawab, pak Udin hanya memberitahu saja kok”

”Terus gimana akhirnya?”

”Yah, kata pak Joko tadi, ditempatnya tidak menambah karyawan lagi”

Inilah akhir perjalanan lamaran kerja yang dibuat pak Udin beberapa waktu lalu. Allah memang belum membukakan rezeki yang lebih untuk pak Udin. Mungkin inilah yang terbaik untuk pak Udin dan orang-orang disekeliling pak Udin, seperti Miranda dan Gilang sebagai orang terdekatnya. Karena pak Udin adalah tukang kebunnya. Pak Yanto dan istrinya yang mempekerjakan istri pak Udin sebagai tukang bersih-bersih rumahnya. Bagaimana Miranda, Gilang, pak Yanto dan istrinya menyikapi keadaan seperti ini. Akankah hatinya tergerak sedikit untuk membantu meringankan beban pak Udin yang sekarang kebingungan membiayai keempat anaknya yang bersamaan harus membayar uang sekolahnya?

**Dibalik kesulitan seseorang, pasti Allah memberikan jalan keluarnya.
**Dibalik kesulitan seseorang, ada bergelimang pahala. Siapa yang akan menuainya?

18 Juni 2010

♥ Aku sayang Ibu ♥

,big>Jum’at, adalah hari yang istimewa. Beberapa peristiwa yang terjadi dihari Jum’at. Seperti diriwayatkan:

“Hari paling baik dimana matahari terbit pada hari itu adalah hari jumat, pada hari itu Adam diciptakan, dan pada hari itu pula Adam dimasukkan ke dalam surga, serta diturunkan dari surga, pada hari itu juga kiamat akan terjadi, pada hari tersebut terdapat suatu waktu dimana tidaklah seorang mukmin shalat menghadap Allah mengharapkan kebaikan kecuali Allah akan mengabulkan permintannya.” (HR. Muslim)

Dan Jum’at ini juga ada peristiwa yang istimewa, bertepatan dengan hari kelahiran ibuku sayang, 18 Juni 2010. Genap 60 tahun usia Ibu. "Selamat ulang tahun ibu" . Kutengadahkan kedua tangan kehadapanMu ya Robbi:

“Robbighfirlii waliwaalidayya warhamhumaa kamaa robbayaani soghiiroo, ya Allah hanya kepadamu aku memohon dengan setulus-tulusnya untuk ibuku. Berikanlah kekuatan iman, keselamatan dunia-akherat, kesehatan, ketabahan dan kesabaran.. Mudahkan segala urusannya, berikanlah rezeki yang agung, yang halal penuh rahmat dan barokah-Mu. Amin YRA”

Ibu, tergambar jelas dianganku...Seorang yang kuat beribadah... Hampir disetiap sepertiga malam terakhir aku sering mendengar gemericik air wudlu ibu untuk bersujud dalam qiyamul lail, tahajud. Kadang kupergoki ibu bersujud sangat lama seolah tak ada jarak antara Engkau ya Allah dengan ibu, kupergoki juga tangan ibu sedang menengadah, nafas ibu sangat kentara dan sesekali menghembuskannya dengan panjang. Apa yang sedang ibu panjatkan?

Seorang yang benar-benar mencintai keluarga, tak membedakan anak maupun menantu, menyayangi ke 12 cucu yang ada, mudah-mudahan nanti bertambah lagi cucu ibu, amin. Menyayangi eyang yang saat ini sudah sangat sepuh dan peduli pada saudara. Seorang yang sabar ketika dikecewakan tapi tegas saat harus mengambil sikap, baik hati dan tak ingin merepotkan siapa-siapa.

Seorang yang tekun bekerja dan kesenangannya adalah bekerja. Betapa betahnya ibu duduk didepan meja kerja dengan kaca mata plus 3-4. Ibu mendisain, merakit hingga larut malam, menghargai sampai menjualnya. Berusaha menepati waktu untuk setiap pesanan sehingga tak mengecewakan pembeli.

Seorang juru masak yang kurindukan. Aku kangen rawon ibu, rendang pete ibu, paklay ibu, oseng tahu ibu jika memasak untuk sahur orang-orang masjid dan masih banyak lagi ibu.

Inilah ibuku. Sosok yang kurindu setiap saat. Suara yang kutunggu disetiap teleponku.Aku tidak mengada-ada. Inilah ibuku. Yang melahirkanku, yang mengajarkanku berdoa sejak kecil. Aku masih ingat doanya.

"Ya Allah, kulo nyuwun pangapunten kagem sedoyo dosa kulo, dosa bapak-ibu kulo, adik-adik kulo lan simbah kulo. Kulo nyuwun dadi anak sholeh, pinter, ayu, sehat" artinya

"Ya Allah, hamba mohon ampun atas segala dosa hamba, dosa bapak -ibu hamba, adik-adik hamba, nenek-kakek hamba. Hamba mohon untuk menjadi anak yang soleh, pinter, cantik, sehat"

Ibu, akhirnya doa ini menjadi doa wajibku waktu itu, doa yang kulantunkan seusai menjalankan sholat wajib sebelum aku mampu memanjatkan doa lebih banyak, selain doa yang diajarkan dengan bahasa arab yang telah kuhafal sebelumnya, yaitu :

"Robbanaa aatinaa fiddunyaa khasanah, wafil aakhiroti khasanah, waqinaa adzaabannaar"
"Robbighfirlii waliwaalidayya warkhamhumaa kamaa robbayaani soghiiroo"

Tak bosan ibu memanggilkan guru ngaji ke rumah, untukku dan adik-adik. Agar aku dan adik-adik belajar membaca qur'an, menulis arab, belajar sejarah islam, akhlak dan masih banyak lagi.

Terimakasih ibu, dengan agama yang kuat sebagai pondasi hidupku. Ibu telah memberiku bekal dikehidupanku dan bekal untuk mendidik putra-putriku.

Maafkanlah aku ibu, jika masih banyak yang tak kupenuhi keinginanmu. Tapi aku akan berusaha lebih gigih.

Aku sayang ibu
,/big>

13 Juni 2010

Dua-duanya harus imbang dong !!

Bang Rhoma..! Pinjam lagunya ya..!

”Begadang jangan begadang.. (sekali-kali bolehlah)
”Kalau tiada artinya.. (ini yang ditunggu-tunggu)
”Begadang boleh saja.. (malah udah menyiapkan kopi dan teman-temannya kok)
”Kalau ada perlunya.. (nonton siaran langsung bola dari afrik)

Bang Rhoma..! terus ini gimana ? kalau setiap lelaki dan tak sedikit para wanita pada begadang memelototi televisi menyaksikan pertandingan sepakbola kelas dunia. Yang katanya siaran langsung. Bahkan weakerpun juga disetel untuk pertandingan yang ke tiga karena main di sepertiga malam.

Banyak yang menyaksikan langsung dirumah masing-masing, masih menemani anak istri sehingga mereka tak merasa kesepian ditinggalkan. Tapi tak sedikit juga yang mengadakan nonton bareng di cafe, restauran, pelataran parkir dan masih banyak lagi yang juga disuguhi aneka hiburan untuk menarik pengunjungnya. Layar dengan ukuran sangat lebarpun dipasang untuk bisa dilihat berpuluh meter dan tak sedikit yang menyelipkannya sebagai ajang perjudian. Apa saja bisa dipermainkan. Dari mulai score sampai siapa yang mendapat kartu merah. Ada yang mau mengelak ?

Banyak yang menonton biasa-biasa saja, tapi tak sedikit tempat yang setelah acara selesai, sekelilingnya menjadi sangat berantakan, sangat kotor. Sampah dimana-mana. Kulit kacang, putung dan abu rokok berserakan dilantai, gelas dan botol tergeletak dibeberapa sudut ruangan. Sehingga besok pagi para istri atau asisten dirumah atau pemilik cafe atau restoran atau petugas kebersihan halaman parkir harus bekerja melebihi kerja biasanya. Kerja keras.

Ini kesenangan dunia, ini tidak wajib ditonton bahkan disunahkanpun tidak. Dan besok juga tak ada test tanya jawabnya. Tapi kenapa hawanya mengarah seolah wajib ditonton ? Apa tidak ada siaran ulang diwaktu yang lebih bersahabat waktunya ? Kalah berita nggak seru ! Ini jadi salah satu alasannya.

Besok bangun kesiangan ! badan lungkrah, mata kuyu, bahkan mungkin ada yang kembung perutnya karena masuk angin, pusing karena kurang tidur dan mungkin juga masih banyak keluhan-keluhan. Tapi anehnya akan diulang lagi untuk malam-malam berikutnya... tak kapok ya..? Padahal tugas pekerjaan tidak berkurang dan harus diselesaikan. Masih mampu mengerjakan dengan kondisi badan seperti ini ? Ah... untung weekend.

Bang Rhoma..! Kalau seandainya sepertiga malam ini semangat nonton bola sama semangatnya untuk mengerjakan tahajud, betapa damainya jagat raya ini. Setiap bibir melantunan asma Allah, bersahut-sahutan dari setiap atap rumah. Atau mungkin ada yang mengajak tahajut bersama ? Dengan persiapan yang juga nggak kalah serunya, seperti kopi, sound system yang mendukung dan tempat ibadah yang nyaman. Ada nggak ya ?

**Tidak salah menikmati dunia asal tidak membuat yang lain menjadi terabaikan bahkan tersingkirkan. Mudah-mudahan sholat subuh tak kesiangan, tahajut tetap dikerjakan dan keesokan harinya tetap semangat beraktifitas.

wadduuhh... !!!

Memerah…
Menggelembung..
Mengeras..
Dan mulai membesar

Oh... nyut.. nyut.. nyut..
Dua hari sudah rasa pedih kurasakan
Dan setiap kali jari ini menyentuhmu
Rasa sakit yang mendera

Butuh berapa lama lagi menuntaskan ini ?
Sedang aku mulai bosan melihatmu
Kuputar otak untuk menyingkirkanmu
Sambil mataku terus mencari-cari sesuatu

Dengan apa aku mempersenjatai diri
Untuk membuatmu lemah
Dan darahku seakan mendidih
Untuk melenyapkanmu

Yang berujung tajamkah ? Pikirku
Ah... jangan ! terlalu sakit
Atau dengan membekap dan menggilasnya ? Pikirku lagi
Tapi dengan apa ?

Owalah... jerawat... jerawat
Nyembul diatas janggutku

12 Juni 2010

Dobrak Pa...

Jum’at, mungkin waktu itu sekitar jam 10.00 wita. Aku sedang di depan kompiku. Mengedit foto menjadi lebih menarik. Bel pintu dibunyikan, tandanya ada yang datang berkunjung. Segera kuhentikan aktifitas yang setengah jadi. Yaahh.. nanti saja dilanjutkan.Berdiri perempuan setengah umur didepan pintu setelah kubuka, hmm maksudnya tidak muda lagi dan tidak tua juga.

”Ibu nyari orang nginapkah?”

”Ya.. dari mana mbak tahu?”

”Dikasih tahu mbak yang dipojok rumah itu Bu” sambil jarinya menunjuk kearah rumah yang berada diujung rumahku.

”Ow.. duduk mbak !”

Selanjutnya kamipun membahas lebih detil. Dari mulai menawar gaji sampai jenis pekerjaan yang harus jadi tanggung jawabnya. Klop sudah..! Kamipun menukar no HP. Gile ! Hpnya canggihan dia dari pada punyaku..

”Jadi.. mau mulai masuk kapan mbak !”

”Senin aja ya bu..”

”Iya mbak.. Senin ya.., jadi enggaknya aku dikasih kabar ya.. supaya aku nggak nunggu-nunggu”

”Iya bu”

Obrolanpun selesai.. Mbak ”Husna” segera pamit karena tukang ojeknya sudah wara-wiri di depan rumah.

Senin pagi, mama Ita (biasa kupanggil mbak..) yang membantuku untuk mencuci dan menyeterika sudah hampir merampungkan semua pekerjaannya. Tapi yang kutunggu-tunggu ”Husna” kenapa belum datang juga ya.. Jadi geregetan juga nih. Padahal sudah ada no HP, kok ya nggak menghubungi kalau nggak jadi. Gengsi donk nelepon duluan. Ke GR-an nanti dianya dan bisa jual mahal belakangnya. Kutahan-tahan untuk tidak menelepon.

”Sepertinya nggak jadi datang deh mbak” kataku pada mama Ita.

“Nggak niat mungkin bu”

“Mungkin nggak cocok gajinya yang kutawar kemarin” jawabku

“Dia kan punya no ibu.. kok ya nggak nelpon”

“Hallah... sudahlah mbak.. nggak mengharaplah”

Masih dihari yang sama, tapi ini benar-benar sudah siang. Sudah jam 11-an. Hpku berdering dengan nada dering... apa ya..? Ah... mbohlah.. Eee... dari mbak Husna.

”Ya mbak..!”

”Ibu.. saya belum bisa masuk skarang. Lagi nunggu ojek temen saya, dianya sekarang lagi kerja. Nanti aja ya bu kalau dia sudah datang saya kesitu”

”Lhah mbak.. emang disitu nggak ada ojek lain?”

”Ada bu.. tapi mahal, sepuluh ribu. Kalau temen saya cuma tujuh ribu. Saya nunggu temen dulu ya bu ?”

”Mbak.. sudah ambil aja ojek disitu. Nanti saya yang bayar”

”Nggak papakah bu sepuluh ribu ?”

”Iya iya... dah berangkat aja”

Kehidupan orang kecil, tiga ribu sangat berarti. Uang saku bungsuku saja lebih dari itu, belum lagi camilannya. Betapa harus bersyukurnya dengan kehidupanku. Nikmat yang tak terukur telah dilimpahkan Allah.

Akhirnya datang juga Husna. Mengawali hari pertamanya menghuni ruang berukuran 2,5 x 2 meter dikamar belakang dan memulai aktifitas sebagai pembantu rumah tangga. Lumayan untuk hari pertama ini, ruang-ruang bersih, cucian piring sudah di rak dan sampai akhirnya waktu tidur malampun tiba. Semua kembali kekamar masing-masing.

Duh..! kesiangan bangun. Sekarang sudah jam 05.30 wita. Eeiit belum sholat subuh.

”Pa.. bangun..! belum sholat subuh..!

Yaahh..! solat sendiri-sendiri. Udah nggak keburu menunggu sholat berjamaah. Udah kesiangan. Selesai sholat dan berdoa aku melesat ke dapur. Lhoh..! kok gorgen belum dibuka..? kok sepi..? wah.. jangan-jangan kerjaan baru nih, bakal membangunkan tiap pagi. Haduuuh...!! Kerjaannya emang beres kemarin.. tapi kalau harus membangunkan tiap hari.. mana tahaaannnn!!!! Kuhampiri kamarnya dan kuketuk pintunya.

”Mbak... udah siang !”

”Ibu..!! saya ndak bisa keluar..!!”

Haahh !! maksudnya apa ? nggak bisa keluar dari kamar. Emang siapa yang ngunci kamar dari luar ? Apa anak atau suami yang ngunci ya.. karena nggak tahu kalau didalam kamar ada orangnya.. Terus dimana kuncinya ? kok nggak ada dipintu ?

”Mbak.. nggak bisa keluar gimana ?”

”Iya bu.. kekunci bu !”

”Mbak nggak tahu siapa yang ngunci..! kok kuncinya nggak ada dipintu..!”

”Ada bu.. kuncinya didalam.. saya yang ngunci !”

”Buka mbak..! diputer kuncinya..!”

Haduh ! jangan-jangan nggak bisa cara mbukaknya. Gawat ! pikirku.

”Nggak bisa bu.. nggak bisa diputar !”

”Ya udah.. kuncinya diambil saja, lempar keluar dari bawah pintu !”

”Nggak bisa diambil bu kuncinya !”

“Coba terus mbak.. dipaksa.. pakai kain supaya jarinya nggak sakit”

Aaahhh.. !! Akhirnya kunci bisa dicabut dari tempatnya dan kini ditanganku. Kuambil dan kucoba membukanya. Lhah kok nggak bisa juga dibuka dari luar. Alamaaakkk!!

“Pa... mbaknya kekunci dikamar”

“Lhoh, kekunci gimana ?”

“Iya.. pintunya semalem dikunci sama mbaknya, sekarang nggak bisa dibuka”

Suami akhirnya mencoba membuka. Dikutak-kutik nggak bisa juga.

“Coba kunci yang lain”

“Lhoh.. ini emang kuncinya, tadi malam yang dipakai mbaknya ngunci dari dalam ya ini”

”Eee... siapa tahu bisa pakai yang lain”

Tetap saja tidak bisa meski dengan beberapa kunci yang dicobakan.

”Didobrak saja Pa”

”Jangan-jangan... rusak nanti pintunya”

”Lhoh gimana lagi dong cara mbukaknya”

”Gimana ya ?”

”Udah Pa.. didobrak saja.. mbaknya juga belum subuhan itu”

”Dulu kayaknya pernah ada yang kekunci dikamar mandi ya.. diapain ya dulu?"

”Ya didobrak Pa.. Mama minta bantuan pak Zul waktu itu. Papa kan lagi nggak ada”

”Mbak.. ! minggir ya.. jangan didepan pintu !”

”Ya bu !”

Suami mendobrak dengan lengan sekali dua kali tidak berhasil.

”Ditendang Pa... dulu juga ditendang kok !”

Tendangan sekali dua kali tidak berhasil. Pintu yang terbuat dari lapisan triplek sompel. Tapi belum berhasil terbuka. Pakai apalagi ya ? Pakai linggis, dicongkel pakai linggis dan didobrak lagi. Aaaahh...!! akhirnya berhasil terbuka, leganyaaa... Alhamdulillah !! meskipun harus mengorbankan sebuah pintu. Yah, harus diperbaiki nanti.

Satu pelajaran hari ini. Kadang kita tidak tahu kesulitan yang sedang dihadapi seseorang hanya karena melihat sekilas keadaan. Sama sepertiku pagi ini saat kulihat pertama kali gorden dapur tidak terbuka dan tidak adanya aktifitas didapur, yang ternyata ada kesulitan besar sedang dihadapi seseorang. Mbak Husna ! maaf ya.