11 Juli 2011

Malunya aku

Saat liburan sekolah yang lalu, hehehe... maksudku anakku yang libur sekolah. Kami (aku dan bungsuku) mengunjungi rumah Bapak - Ibu di Solo, biasa aku memanggilnya Yangkung dan Yangti, panggilan sayang anak-anakku buat beliau berdua. Perjalanan liburan kali ini membutuhkan waktu lebih panjang dari biasanya, karena membutuhkan waktu perjalanan lebih dari dua belas jam, kok bisa? Yah, karena kami harus jalan darat dari Bontang ke Balikpapan jam satu dini hari (tak dapat sit pesawat perusahaan) dan pesawat Balikpapan – Jogja yang harusnya terbang jam sembilan kurang seperempat, ditunda sampai jam satu siang. Perjalanan dilanjutkan dengan Taxi bandara menuju kediaman Yangkung dan Yangti.

“Belok kanan pak”

Sopir Taxi mengarahkan mobilnya pelan-pelan menyeberangi jalan menuju gang kecil berparit dikiri kanannya dan hanya dapat dilewati satu mobil. Setelah melewati satu rumah ada perempatan lagi dengan satu sisi jalan terpampang papan nama “Masjid Nur Rahmah”

“Belok kanan pak, nah.. disebelah masjid itu pak, ya... stop, stop, stop disini pak”

Taxi berhenti pas didepan pintu gerbang besi. Alhamdulillah, akhirnya kami sampai juga di rumah Yangkung dan Yangti sekitar jam lima sore dengan selamat, lumayan melelahkan perjalanan kali ini. Yangkung dari ruang tamu dengan langkahnya satu-satu (ya iyalah.. masak lompat-lompat kayak kelinci) segera menyambut kami berdua, pintu ruang tamu terbuka lebar dua-duanya membuat pemandangan atau perabotan didalam ruang tamu nampak saat kaki ini baru melangkah dari pintu gerbang, kemudian disusul Yangti. Tangan berjabat, pelukan kerinduan dan ciuman mendarat dipipi, itulah yang biasa kami lakukan saat bertemu. Semoga Allah selalu memberikan kesehatan dan perlindungan untuk Yangkung dan Yangti, sehingga liburan sekolah tahun depan kami masih bisa bersama-sama lagi. Amin.

Sesaat kamipun melepas kerinduan di ruang tamu, bercerita, bercengkerama, juga menceritakan perjalanan liburan kali ini yang lumayan panjang dari biasanya. Tak terasa waktu berlalu dan kumandang Adzan magribpun membahana dari masjid yang berdiri kokoh disebelah rumah ini. Ibu kemudian beranjak dari duduk menuju kamar, mungkin ke kamar mandi untuk mengambil air wudlu dan segera berangkat ke masjid. Bapak? Beranjak dari duduknya juga, kekamar madi juga. Aku? Aku juga beranjak dari dudukku, melangkah ke kamar mandi juga, bukan untuk berwudlu, tapi untuk membasahi badanku yang sudah gerah karena seharian belum terguyur air. Walau badan ini terasa panas tapi untuk mengguyurkan air ke badan butuh perjuangan, karena airnya begitu dingin, seperti air kulkas saja. BRRR.... Dari dalam kamar mandi dapat kudengar suara Iqomah dari masjid. Hmm, kali ini aku tak ikutan berjamaah dimasjid, hehehe sebenarnya liburan yang lalu-lalupun juga demikian. Kadang-kadang saja aku ke masjid, karena sholatku bisa kujamak, aku kan musafir. Heheheh... terkesan meringankan yah?

Hari berlalu, setelah beberapa kali melakukan sholat dengan dijamak, rasanya rindu untuk mendatangi masjid. Kali ini setelah mengambil air wudlu, kulangkahkan kaki. Hanya beberapa langkah telah sampai kakiku di pintu garase, yah... karena garase ini hanya muat untuk satu mobil, lebih sedikit. Jadi tak butuh banyak langkah untuk menggapai pintunya. Dua tiga langkah lagi kakiku sampai ke pintu butulan (pintu tembus), pintu yang sengaja dibuat dari teras rumah langsung ke shaf jamaah perempuan. Begitu dimudahkannya fasilitas untuk datang ke masjid. Tak kan terkena air jika hujan turun, tak terkena panas jika matahari menyengat.

Pintu geser yang menghubungkan teras dan ruang sholat untuk jamaah perempuan ini kudorong. Seorang ibu bergeser dari duduknya, memberiku jalan dan tempat. Ada tiga shaf untuk jamaah perempuan ini, dan satu shafnya bisa memuat kurang lebih lima belas orang. Sedang shaf laki-laki lebih luas, ada mungkin lima – enam shaf, belum lagi teras masjid juga bisa dipakai jika didalam masjid tak muat menampung jamaah. Setelah melakukan sholat sunah, aku duduk mengawasi sekelilingku sambil berdzikir. Rata-rata jamaahnya sudah sepuh, memenuhi hampir dua shaf. Ada dua- tiga masih muda, termasuk aku. Ow... aku termasuk muda, hehehe... padahal sudah kepala empat. Disebelahku duduk perempuan renta, duduk berselonjor mengawasiku. Kuulurkan tangan menyalami, mencium tangan dan pipinya. Perempuan renta itu tersenyum, rautnya sudah berkerut, pipinya kempot tak bergigi. Kupandangi wajahnya, sudah tua benar wajahnya kali ini. Setahun yang lalu, saat kupulang dibulan yang sama, tampak sekali perbedaannya, waktu begitu cepat merubahnya.

Saat kumandang Iqomah disuarakan, kami berdiri mengatur dan merapikan shaf. Perempuan renta itu masih duduk berselonjor dengan mukena putihnya.

“Allahu akbar” Imam memulai sholat berjamaah, diikuti jamaah dibelakang, termasuk aku.

“Assalaamu’alaikum warohmatulloohi wabarokaatuh” Imam mengakhiri sholat diikuti jamaah dibelakang.

Perempuan renta disebelahkupun mengakhiri sholatnya dengan salam.

Tahukah kawan, perempuan renta itu, datang ke masjid berjalan kaki pelaan.. pelaan.. dengan langkah tertatih. Harus menuruni dua anak tangga dan berjalan dibawah langit, tiga puluh langkah mungkin untukku, tapi untuknya? Bisa berpuluh-puluh langkah, karena langkahnya kecil, berat, pelan dan goyang. Keseimbangannya sudah berkurang. Kadang tak menggunakan alas kaki, karena dirasa membebani kakinya. Harus menaiki anak tangga masjid, tiga - empat anak tangga, mengambil shaf paling belakang supaya bisa bersandar jika lelah.

Kali lain aku ke masjid. Udara pagi yang dingin menusuk kulit. Mata masih terkantuk-kantuk karena tidur terlalu larut. Jamaah di masjid sudah memenuhi shaf paling belakang, kecuali satu sajadah masih kosong sedang sholat berjamaah sebentar lagi dimulai. Semua sudah berdiri mengatur shaf.

“Geser, simbah datang” kata ibuku, Yangtinya anak-anakku yang berdiri disebelahku.

Aku bergeser memberi tempat lebih. Kulihat perempuan renta itu mengenakan mukena terusan yang disangganya agar tak terburai ke lantai dan berbalut handuk sampai kebetis, berjalan tertatih, pelan.. pelan.. menapaki anak tangga masjid. Melangkah masuk masjid mengambil tempat di sajadah kosong tadi. Duduk berselonjor menghadap kiblat, ketetapan hatinya.. ingin berjamaah di masjid. Kali ini shaf memang hanya satu baris, lebih sedikit dari sholat Maghrib ataupun Isya’. Sepertinya udara yang dingin dan kantuk lebih memberatkan raga untuk segera bangkit dari tempat tidur. Namun perempuan renta itu seperti ingin menembus dinginnya pagi dan mengoyak kantuk.

Tahukah kawan, kenapa perempuan renta itu mengenakan handuk? Kata ibuku, Yangtinya anak-anakku, Perempuan renta itu habis berguyur karena ngompol. Membersihkan najis disekujur tubuhnya, pagi-pagi begini? Yang kutahu airnya seperti air kulkas. Ya, dan setelah itu segera berangkat ke masjid dengan langkah yang tentunya sangat pelan, tertatih dan goyang. Tak mau ketinggalan sholat jamaahnya di masjid.

Tahukah kawan, siapa perempuan renta itu, Simbah putriku, ibunya ibuku, Yangyutnya anak-anakku. Ah, betapa malunya aku kalah semangat dengan simbahku yang sudah renta, yang sudah tak kuat berjalan, yang sudah agak tersengal saat berbicara. Semoga Allah selalu melimpahkan keberkahan untuknya. Amin YRA.