30 September 2011

catatan perjalanan umroh Ramadhan kami-10

Alhamdulillah, selesai sudah rangkaian ibadah umroh kami

Sudah beberapa jam kami berada didalam bus yang melaju di jalan raya, pinggang terasa pegal sekali, beberapa kali menggeliat dan mencari posisi nyaman. Tak juga mengurangi kepenatan. Menyelonjorkan kaki dibawah tempat duduk didepan kami juga kurang nyaman karena tak bisa lurus karena didalam kolong ada tas jinjing kami. Serba salah, duduk terus... panas dipantat, pinggang cemut-cemut, berdiri... nggak mungkin lah, secara busnya kencang banget, ini membahayakan diri namanya. Sopir bus lalu mengambil arah belok ke kanan ke jalan tol katanya supaya lebih cepat sampai dan terhindar dari kemacetan. Alhamdulillah... akhirnya kami sudah hampir memasuki kota Mekah. Ini tahunya juga karena Pak Helmy mengumumkan dengan pengeras suara lalu memimpin doa masuk kota Mekah.

Kota mekah, dengan begitu banyak keutamaan yang dimilikinya, diantaranya: Allah telah memilihnya sebagai tempat dibangunnya rumah Allah (Baitullah), juga sebagai kota kelahiran dan kenabian Muhammad Rasulullah. Selain itu sebagai tempat yang dijadikan Allah sebagai Tanah Suci yang aman yang tidak boleh ada pertumpahan darah dan tempat yang dimaksudkan untuk menghapus dosa-dosa. Begitu juga sebagai tempat yang Allah mensyariatkan kepada manusia untuk bertawaf di Ka’bah, juga sebagai tempat yang Allah mewajibkan bagi orang-orang yang mampu untuk mengunjunginya. Masih ada lagi, sebagai tempat dimana tidak ada sejengkal bumi pun yang Allah wajibkan hamba-hamba-Nya untuk menghadap & melambaikan tangan kecuali kepada Ka’bah, Hajar aswad, dan Rukun yamani, serta sebagai tempat di mana orang sholat di dalamnya maka pahalanya akan dilipatgandakan 100.000 dari sholat ditempat lain. Dan masih banyak lagi keutamaan kota Mekah. Subhanallah.

Tepat jam 02.00, sudah masuk hari Minggu. Bus merapat dipinggir jalan. Entah apa nama jalannya, jika lurus saja akan sampai ke masjidil haram, sebelah kanan dan kiri jalan adalah Grand zam zam dan Hilton. Kami bertujuh turun disini dengan tas-tas tentengan kami, sedang kopor-kopor kami akan diurus sesudahnya oleh biro. Eh ada orang lain gak yah yang juga turun sini tadi? Kok kami kurang memperhatikan. Yang jelas ada Pak Galih dari biro yang menunjukkan jalan sampai hotel. Sedang jamaah lainnya yang satu bus dengan kami melanjutkan perjalanan menuju apartemen. Kami memang berbeda tempat menginapnya meskipun dari satu biro. Mereka mengikuti program umroh yang satu bulan, sedang kami hanya ikut yang di sepuluh hari terakhir Ramadhan. Kami harus jalan untuk sampai ke hotel karena bus tak mungkin lagi lebih masuk , jalan sudah di blok, didepan sudah padat jamaah dan kendaraan harus balik arah. Sampai di hotel kami tidak langsung ke kamar tapi diarahkan ke ruang makan, turun satu lantai dari lobby. Sengaja kami menuruni tangga karena mengandalkan lif lebih lama, harus ngantri dengan sesama jamaah. Lawong cuma satu lantai saja kok, ya nggak papa toh. Katanya ini makan malam. Wah, kalau sudah jam dua gini ya bukan makan malam lagi, ini sekalian sahur saja supaya bisa segera istirahat dan bisa segera mengurus diri untuk bisa lanjut ke masjidil haram.

Saat yang ditunggu tiba, berenam kami turun kelobby sedang Atik tidak ikut. Meski sudah berihrom dan niat umroh, dia harus menundanya karena masih berhalangan. Di lobby sudah menunggu Pak Achmat pemandu kami dan dua orang jamaah lengkap dengan pakaian ihrom. Kami segera berangkat ke masjid. Sepanjang jalan menuju masjid sudah penuh jamaah baik yang searah dengan kami menuju masjid maupun yang berlawanan. Kami terus melangkah mengikuti yang didepan sambil sekali-kali melihat kebelakang, jangan sampai rombongan kecil kami ada yang terlepas, atau tertinggal apalagi sampai tak kelihatan.

Puji syukur yang tak terkirakan kami panjatkan untukmu ya Allah, kini tinggal beberapa langkah lagi kami akan menuju masjidmu yang agung. Dinding-dinding megah berwarna abu-abu telah nampak jelas dihadapan kami. Tak sabar ingin segera menginjakkan kaki dan memasuki pintu gerbangnya. Kami lalu menuju ke pintu nomor satu, pintu King Abdul Aziz. Kami lintasi tiang-tiang kokoh yang jumlahnya tak terhitung. Dada berdegup tak percaya kalau telah menginjak lantai masjid. Ya Allah, benar-benar saat ini telah sampai langkah kami di masjid yang agung, masjid yang dirindukan setiap muslim. Kami lalu berjalan lagi lebih kedalam sampai ke anak tangga, aku memandang ke bangunan persegi yang terbalut kain hitam. Tak hanya aku yang memandang, kami semua memandangi bangunan kubus itu. Ya Allah, inilah saat yang tepat mengobati kerinduan yang telah lama terpendam. Kulihat ribuan manusia yang sedang bertawaf memutarinya dan pasti mereka tenggelam dalam doa-doa terbaiknya. Kami lalu memanjatkan doa bersama-sama dipimpin Pak Achmad sambil terus menghadap ka’bah. Kemudian kami menuruni tangga dan berjalan, berusaha mendekati ka’bah dengan cara ikut berputar mengikuti arus bersama orang-orang yang sedang towaf. Sampai di garis sejajar dengan Hajar Aswad kami memulai towaf. Kami mengangkat tangan ke arah Hajar Aswad sambil membaca “Bismillahi Allahu Akbar” lalu mencium tangan kami. Kami berdoa mengikuti doa yang dibaca Pak Achmad sambil terus melangkah memutari ka’bah. Jamaah begitu banyak disekeliling kami, semua menyerukan doa, hingga pendengaranku, mungkin juga yang lain campur aduk antara doa yang dibaca Pak Achmad dengan doa yang dibaca jamaah disekeliling kami, karena tiap kali Pak Achmad membaca doa kami tak bisa mengikuti bacaan seutuhnya. Akhirnya kuputuskan untuk membaca doa sendiri saja, aku kan bawa bukunya jadi aku bisa membacanya dan memanjatkan doa-doa lain semampuku, banyak-banyak istighfar dan dzikir.

Alhamdulillahirobbil’alamin, tujuh putaran towaf telah selesai kami kerjakan. Walau baju kami basah karena keringat dan telapak kaki kami terasa panas, tapi tak menyurutkan langkah kami untuk segera mengerjakan rukun selanjutnya. Kami segera menuju ketempat sa’i, tapi sebelumnya kami mampir dulu di tempat zam-zam sebelum adzan subuh berkumandang. Kami minum dan sedikit mengguyur muka kami agar lebih segar. Rombongan yang tadinya bersepuluh telah terpecah-pecah karena keadaan. Pertama saat towaf. Kami harus berpisah dengan Bapak karena beliau batal, Bapak harus mengambil wudhu lagi. Terpaksa harus meninggalkan tempat towaf sedang kami tetap meneruskan towaf. Kemudian saat kami ditempat zam-zam, saat sedang minum kami (aku, Ibu dan bungsuku) sudah disuruh meninggalkan tempat tersebut oleh askar-askar karena sebentar ladi masuk waktu subuh. Sudah tidak boleh ada jamaah perempuan ditempat itu. Terpaksa kami meninggalkan rombongan dan langsung menuju ke bukit sofa untuk memulai sa’i.

Doa kami panjatkan sebelum melangkah, tangan kami terangkat ke arah Hajar Aswad sambil berucap “Bismillahi Allahu Akbar”. Mengingat jarak yang akan kami tempuh cukup jauh, dari bukit Sofa ke bukit Marwa kurang lebih 400 m dan kami harus bolak-balik sebanyak 7 kali, maka kami melangkah setengah pelan apalagi kami dalam keadaan puasa. Kami harus bisa mengukur kemampuan kami. Inipun juga sudah bercucuran keringat, apalagi kami baru saja menyelesaikan towaf dan langsung sa’i. Baru selesai satu setengah, bungsuku mengeluh mau buang air kecil.

“Waduh entar ya dik ya, bisa diempet kan... udah mau nyampai di bukit Sofa kok, habis itu kita langsung ke kamar mandi”.

Pergi ke kamar mandi sama bungsuku berarti harus meninggalkan Ibu sendirian di tempat sa’i, duh gimana ini? Tapi ternyata ibu ambil keputusan menunda menyelesaikan sa’inya dan ikut mengantar kami.

Bangunan toilet dengan papan berukuran besar bergambar orang bercadar menandakan itu toilet perempuan sudah kelihatan, sementara itu Adzan subuh sudah terdengar. Wah, bakalan nggak dapet sholat subuh berjamaah nih karena kelihatannya banyak juga orang yang menuju toilet. Ibu memutuskan tak melanjutkan ke kamar mandi, selain kamar mandinya sudah dekat dan sudah kelihatan dan sebentar lagi sholat subuh dimulai, maka ibu memilih mencari tempat, bergabung dengan shaf perempuan untuk sholat berjamaah. Kami janjian akan bertemu lagi di tempat yang kami tandai. Benar saja, setelah kami keluar toilet ternyata sholat subuh sudah selesai. Jamaah sudah pada berdiri dan berhambur. Mencari ibu kok ya sulit ya diantara orang lalu lalang, padahal tadi sudah janjian yang kami tandai. Mungkin karena tergeser dari jamaah lain atau pandangan yang terhalang jamaah menjadikan tak mudah menemukan Ibu. Untung saja kami mengenakan mukena yang mudah dikenali walau dari jarak jauh. Saat jamaah tergeser kami bisa langsung melihatnya. Akhirnya kami kembali bersama lagi. Namun kali ini aku dan bungsuku harus sholat subuh dulu. Nah... ini yang susah nyari tempatnya. Kalau dihalaman ini rasanya nggak mungkin lagi untuk sholat karena jamaah sudah mulai lalu lalang. Kami kembali masuk ke masjid, ke bukit Sofa dan mengerjakan sholat subuh disana kemudian melanjutkan mengerjakan sa’i yang tertunda, masih kurang lima.

Akhirnya selesai sudah kami mengerjakan sai, kini saatnya tahalul memotong paling sedikit tiga helai rambut, memotong lhoh ya... bukan mencabut. Nah itu dia, kami tak bawa peralatan untuk potong rambut. Mau potong pakai apa nih atau pinjam siapa ya? E... kok ya tiba-tiba aja ada yang menyodorkan gunting ke Ibu. Kemudian Ibu memotong rambutnya lalu memotong rambutku dan bungsuku... aku yang memotongnya. Selesai sudah rangkaian ibadah umroh kami. Alhamdulillahirrohmanirrohim. Kamipun kembali ke hotel, istirahat, nanti siang kembali ke masjid untuk sholat dhuhur berjamaah. Semoga Allah memberikan kesehatan dan kekuatan pada kami untuk mengunjungi masjid sampai hari terakhir kami di Mekah. Amin Allahumma Amin.

27 September 2011

catatan perjalanan umroh Ramadhan kami-9

Setiap langkah, sayang untuk tak mengabadikannya


Masih dihari yang sama, Sabtu 20 Agustus 2011. Saat ini jamaah sudah berada di bus. Kembali orang biro mencacah jiwa, menghitung kelengkapan jumlah jamaah yang akan dibawanya ke Mekah. Jangan sampai ada yang ketinggalan di Bir Ali ya... Kemudian dengan dipandu Pak Helmy, kami kembali mengikrarkan niat umroh. Selanjutnya gema talbiyah serempak meluncur dari bibir-bibir kami “Labbaik Allaahumma Labbaik, Labbaika Laa syariikalaka Labbaik, Innal Hamda, Wannikmata, Lakawalmulk, Laa Syariikalah”. Kami berharap sepanjang perjalanan dapat melantunkan talbiyah dengan suara yang mampu kami dengar meski pelan sekali, namun apa daya... Karena puasa, lama-lama kami tak bersuara lagi, hanya bibir yang tetap bergerak. Lala-lama bibirpun tak mampu lagi digerakkan, capek... tapi Alhamdulillah dalam hati kami masih diberikan kekuatan untuk melantunkannya. Iya... kami melantunkannya dalam hati. Tidak apa-apa, Pak Helmy juga bilang begitu kok,

“Tidak apa-apa kalau capek menyuarakannya, dibatin juga tidak apa-apa... yang penting masih terus bertalbiyah hingga jika kita sampai ketiduranpun masih terhitung ibadah, sebaiknya hindari ngobrol ngalor ngidul yang tak bermanfaat dan tak bernilai ibadah. Yang lebih menggembirakan lagi, umroh dibulan Ramadhan ini pahalanya sama dengan haji bersama Rosulullah, pastinya kita semua tak akan menyia-nyiakan waktu yang ada ”.

Massya Allah.... Terbayang bagaimana Rasulullah bersama kami, lalu mendampingi perjalanan thawaf dan sa’i kami. Subhanallah... betapa nikmatnya.

Saat mesin bus dinyalakan, aku mulai berpikir, masih sama seperti tadi tidak ya mengemudikannya. Lalu bus bergerak, ah... masih sama. Tapi setelah keluar dari tempat parkir dan meninggalkannya, nah... sudah mulai enak nih nyetirnya. Eh, baru tersadar kalau aku ternyata baru sekali ini ke Bir Ali. Dulu sewaktu kami berhaji (aku dan suami) sudah berihrom di pesawat, kemudian waktu melakukan umroh sunah kami melakukan ihram dari Taneem. Tapi kenapa tak terpikir untuk mengabadikan suasana Bir Ali ya. Mungkin karena kami sudah berihram jadi sudah disibukkan dengan urusan umroh, atau mungkin karena kami sibuk mencari Atik yang terpisah dari rombongan kecil kami. Ah, padahal sebenarnya setiap kaki ini langkah sayang kalau tak diabadikan. Tapi perjalanan tak bisa diulang, karena semua jamaah sudah berada di bus dan bus siap menuju Mekah. Semoga lain waktu kami bisa mengunjunginya lagi. Amin Allahumma Almin.

Kulihat jam yang melingkar di tanganku, waktu menunjukkan pukul 18.30 saat bus berangkat. Ini masih belum saatnya buka puasa, masih setengah jam lagi kami menunggu. Air mineral kemasan botol dan nasi kotak telah dibagikan satu-satu, mau tahu isi kotakannya... Nasi putih yang lumayan mengenyangkan kalau dimakan sendiri, ayam goreng sepotong , cumi bumbu merah yang dipotong kecil-kecil, krupuk dan lalapan timun plus selada. Sedap ya? Hmm... kalau puasa, mbok apapun yang dihidangkan pasti menggugah selera. Apalagi bungsuku punya sebotol minuman bersoda, dingin lagi. Pasti tambah menyegarkan yah buka puasa kali ini, haiyah... nggak takut batuk apa. Hehehe... berat kerongkongan nih sepertinya dari pada mikirin batuknya.

Lebih dari dua jam kami meninggalkan Bir Ali, bus melaju dengan kecepatan tinggi. Sepertinya ini karena kondisi jalan yang lebar, mulus dan lurus-lurus saja. Meski banyak pemakai jalan, dari sedan sampai kendaraan besar seperti truk tapi semua laju saja sehingga sopir bisa mengendalikan bus dengan baik, tak seperti saat berangkat dari hotel ke Bir Ali yang penuh dengan perjuangan menahan mabuk. Entah sudah berapa ratus kilo meter ya yang kami tempuh dan ini masih berapa ratus kilo meter lagi ya sisanya. Buta posisi, benar-benar tak tahu ada dimana saat ini tapi yang jelas kami masih harus berjam-jam lagi dalam kendaraan. Huff... capeknya...

Disaat rasa kantuk yang mulai menyerang, Pak Helmy dengan pengeras suara menyampaikan bahwa baru saja Dinas Pemadam Kebakaran di Mekah menghubunginya via handphone. Katanya untuk saat ini kendaraan yang menuju Mekah tidak bisa masuk. Jalan ditutup untuk semua kendaraan karena jalan saat ini sudah penuh dengan jamaah yang sedang melaksanakan sholat tarawih. Wow! Amazing! Tak terbayang seberapa banyak jamaah yang ada. Tapi yang dimaksud ini jalan mana ya? Jalan di depan hotel? Weh, hotelnya sebelah mananya masjid ya kok sampai nggak bisa mendekati hotel. Dikatakan lagi bahwa bus baru bisa masuk setelah tarawih selesai jadi sebaiknya jamaah sholat Magrib dan Isya’ diperjalanan saja karena diperkirakan sholat tarawih baru selesai sekitar jam sebelas, jadi bus baru bisa bergerak maju menuju penginapan setelah jam sebelas. Wow! Akan sampai jam berapa ya kami nanti.

Akhirnya kami sampai ditempat yang sangat luas, sejurus mata memandang sepertinya padang pasir, tapi ini tidak jelas karena suasanya gelap, tak ada lampu yang menerangi walau sedikit. Bulan juga sedang tak purnama. Apa ya nama daerahnya? Haduh kok yo lupa namanya, lupa nggak kucatat lagi. Bus lalu masuk ke area ini terus maju kedepan. Ada sebuah masjid yang cukup besar, ternyata bus kami masuk di area parkir. halaman parkir ini luas sekali, tak ada tanda dimana harus memarkir mobil karena semua pasir. Jadi bebas saja memposisikan bus. Akhirnya sampai dibatas terdekat dengan masjid, bus berhenti. Menitik keadaannya, sepertinya tempat ini sebagai salah satu alternatif untuk persinggahan jamaah sebelum sampai Mekah. Sayang tempatnya gelap dan sepi, sepertinya juga kurang terawat (eh kurang terawat apa sedang renovasi yah?) hehehe... tak bisa membedakan karena gelap. Dan lagi tak ada penjaganya, jadi agak-agak takut untuk turun sendiri. Cari teman ah.... ya.. ya.. cari teman, siapa lagi kalau bukan bungsuku, hehehhe.... Kami masuk ke area masjid dengan hati-hati karena masih kondisi berpasir. Takutnya ada genangan atau ada kotoran, moga-moga kami tidak terperosok. Apa memang sedang ada pemugaran ya?

Kami lihat fasilitas kamar mandi khusus perempuan ini kurang diperhatikan. Maaf, ini kesimpulan sesaat waktu melihat kondisi kamar mandi dan tempat berwudhu perempuan. Tak terlihat ada petugas kebersihan. Harus hati-hati sekali nih memanfaatkan fasilitas yang ada, jangan sampai malah terkena najis. Ingat kondisi kami sedang berihrom jadi tidak mudah untuk berganti pakaian dengan keadaan seperti ini. Tapi yang penting akhirnya kami bisa besuci, wudhu dan mengerjakan sholat Magrib dan Isya’ dengan dijamak Takhir. Semoga Allah memaklumi kekurangan kami dalam bersuci tadi dan semoga Allah tetap menerima sholat kami. Amin. Setelah itu kami kembali ke bus dan melanjutkan perjalanan ke Mekah.

25 September 2011

catatan perjalanan umroh Ramadhan kami-8

Kemana ya Adikku?


Bus yang membuat perut terkocok-kocok dari mulai berangkat dan menelan korban satu orang mabuk kendaraan, harus terhoek-hoek yaitu Atik adikku, akhirnya parkir juga. Alhamdulillah... meskipun ini juga parkirnya butuh perjuangan karena harus ngantri dari begitu banyaknya bus yang juga mau parkir, semua ingin lebih dekat ke masjid. Nah ini dia yang bikin tambah mual, karena supirnya super-super- super nggak enak. Tiap kali maju sedikit langsung jret ngerem mendadak, tiap kali mundur juga begitu. Weh, lha pinter banget permainan gas remnya. Tobil.... tobil....

Tapi syukurlah, akhirnya kami turun juga dari bus yang memabukkan. Lega bisa menghirup udara bebas meski kondisi udara saat ini begitu panas dan kering, eh... padahal ini sudah jam empatan lho. Kini saatnya menitik situasi dimana bus kami parkir, disebelah mananya masjid dan disisi parkir mana agar setelah kami keluar dari masjid nanti tidak kebingungan mencarinya. Bus kami warna keseluruhannya abu-abu dengan polesan ungu sedikit dibagian sisi depan dan di kaca depan sebelah kanan ada tulisan “BUS 2”, yah... diingat-ingat ya... jangan sampai lupa jalan dan busnya. Kami berjalan beberapa langkah dari bus, disebelah kanan ada kios temporer yang menjual barang-barang kebutuhan umroh, ada sandal, kain ihrom untuk bapak-bapak, sabuk, gunting, dan masih banyak lagi. Setelah itu barulah kami sampai ke bangunan atau tembok masjid. Sekali lagi kami menoleh ke bus, semoga saja kami tak susah mencarinya nanti.

“Bapak-Ibu, kita jalan ke sebelah sini ya, disini pintu masuknya” teriak salah satu pembimbing, entah siapa.

Kami satu rombongan lalu berjalan mengikuti pembimbing yang sudah berjalan di depan, tentunya tetap sambil melihat situasi dan mengingat-ingat tempatnya. Kalau dilihat dari parkirnya bus berarti kami berjalan ke arah sebelah kiri bus. Nah, kini kami telah sampai, saatnya melewati pintu gerbang masjid.

“Ibu-ibu, kalau mau wudhu atau ke kamar mandi silahkan, tempatnya ada disebelah kanan khusus untuk jamaah wanita”

Kamipun mengikuti arahannya, ke sebelah kanan untuk wudhu kemudian masuk ke masjid untuk sholat sunah dan berniat umroh. Butuh waktu sebentar saja mengerjakan semua itu, kurang lebih sepuluh sampai lima belas menit. Kami lihat sekeliling ruang masjid diantara orang-orang yang sedang sholat. Atik adikku tak ada disini, mungkin masih dikamar mandi. Ganti pakaian atau membersihkan diri dari kena muntahan, mungkin saja ya. Kami bertiga (aku, Ibu dan Bungsuku) lalu keluar masjid dan kembali ke sisi masjid yang berdekatan dengan keluar masuknya jamaah dari kamar mandi menuju masjid. Siapapun yang meninggalkan kamar mandi dan menuju masjid bisa terlihat dari sini.

Menit demi menit berlalu. Tiap jamaah yang keluar bergerombol dari kamar mandi kami teliti apa ada adikku diantara mereka, tapi kok tidak ada ya, kemana dianya. Kami terus saja duduk menunggu, padahal kalau menurut waktu yang diminta dari biro, kami hanya diberi waktu dua puluh menit saja, lha ini sudah setengah jam lebih. Kemana dikau Tik?

Sementara itu bungsuku dari tadi ingin beli minuman bersoda di kios-kios yang berderet di selasar masjid. Katanya untuk buka puasa nanti, weh... buka puasa kok minum yang bersoda apalagi cuacanya ekstrim gini. Nanti kalau batuk gimana, Duh bisa drop nih kalau sampai sakit, tapi semoga saja tidak. Ingat, perjalanan ibadah masih baru mau dimulai. Tapi ya sudah, akhirnya aku mengalah dari pada ngeributin terus dengan satu syarat minumnya nanti kalau perut sudah terisi. Aku mengantar bungsuku sekalian cari-cari kalau ada yang bisa dibeli. Oh iya aku mau cari tisu, sedang ibu pilih tetap duduk di pojokan masjid menunggu Atik.

Minuman bersoda sudah kami dapatkan, tapi dari sepanjang kios yang berjejer tak satupun yang menjual tisu. Weleh-weleh... kok ya nggak ada yang jual ya. Terpaksa kembali dengan tangan kosong, hanya minuman bersoda saja yang kami bawa.

“Mbak, ditunggu Bapak disana” Kata bu Zaenal sambil menunjuk arah saat berpapasan denganku.

Aku mempercepat langkah diikuti bungsuku menuju tempat Ibu menunggu tadi. Yang terpikir adalah Atik sudah ditemukan dan sudah bersama Ibu, kami bisa segera bergabung dengan jamaah lain di bus dan segera berangkat ke Mekah. Tapi saat aku dan bungsuku sampai, sosok Atik belum ada. Hanya ada Bapak, Suami dan Uul iparku bersama Ibu. Lhoh dimana Atik, belum kembali juga? Kemana toh ya.... ya.... Berenam kami mengamati sekeliling pelataran masjid, mencari disela-sela setiap jamaah yang lewat. Apa kami terlewat pandangan saat dia melintasi ya? Sepertinya tidak. Sejak dari turun bus, dia terlihat buru-buru dan langsung masuk gerbang masjid. Bisa dilihat dari mukena yang dipakainya. Kebetulan kami memakai mukena yang sama, mukena bordir motif bunga-bunga besar, cuma beda warna saja. Jadi kalau sekelebat lewat, mudah dikenali. Jadi ingat cerita perjalanan umroh Bapak dan Ibu tahun lalu yang membawa cucu-cucunya. Waktu itu Bapak yang hilang, tapi syukurnya Bapak bawa hand phone jadi mudah ditemukan. Lha sekarang ini Atik tak bawa HP, bagaimana menghubunginya. Beberapa kali orang biro mendekat dan menanyakan apa sudah ketemu dan kami jawab belum. Baiklah..., aku masuk ke kamar mandi saja mencarinya, siapa tahu masih ada di dalam. Pasti jamaah sudah pada naik bus semua ini, tinggal menunggu kami bertujuh. Duh..., jadi nggak enak sama yang lain. Dimana toh kamu Tik... Tik? Kok ya tadi langsung pergi gitu aja, nggak ngomong-ngomong apa, mau apa... gitu. Kalau gini kan jadi bingung semua.

Ruangan yang besar, malah bisa dibilang sangat besar untuk ukuran kamar mandi ini terbagi dua blok (kanan dan kiri) dengan susunan sama. Harus kumulai dari mana ini mencarinya? Aku melangkah menuju ruang wudhu sebelah kanan. Kuamati betul satu-satu, tak ada diantara mereka. Lalu kesebelah kiri... juga tak ada. Aku melangkah lebih masuk lagi, ada banyak lorong disini. Aku masuk ke lorong pertama. Suara shower dari tiap-tiap kamar mandi dan orang-orang yang bicaranya kenceng-kenceng bikin gaduh suasananya. Kupanggil “Tik... Atik... kamu dimana?”, tak ada jawaban. Lebih kukeraskan lagi suaraku, tetap tak ada jawaban. Kumasuki lorong-lorong lainnya dan kupanggil lagi, juga tak ada jawaban. Kemana anak ini, kok raib begitu saja. Aku keluar ruangan, Ibu langsung menemukanku. Pandangannya mengatakan “Gimana, ada?”, aku langsung menggeleng. Aku menuju ruangan besar satunya yang susunan ruang-ruangnya sama dengan ruangan besar yang kumasuki tadi, tetap tak ada. Aku kembali ke tempat Ibu duduk. Kami sudah tak tahu lagi harus mencari dimana, kami tetap duduk di pojokan masjid sambil terus berharap semoga Atik cepat kembali bersama kami.

Tengtorenggg!!! Tiba-tiba saja Atik keluar dari bangunan besar yang didalamnya terdapat banyak kamar mandi yang tadi sudah kumasuki, yang tadi sudah kucari-cari dan kuteriaki. Kok bisa-bisanya tadi kupanggil nggak menjawab. Katanya nggak dengar, karena didalam berisik sekali. Iya... memang berisik sekali, pantas saja kalau tidak mendengar. Tapi kok kamu lama sekali di dalam, ngapain aja?

24 September 2011

catatan perjalanan umroh Ramadhan kami-7

Saatnya berangkat, Bismillahirrohmanirrohim


Sabtu 20 Agustus 2011, saat ini hampir mendekati jam satu siang, kami sudah berada di Lobby seperti yang diharapkan. Menurut rencana jam 13.00 kami akan berangkat ke Bir Ali untuk mengambil miqot dan selanjutnya akan berangkat ke Mekah. Kami sudah siap dengan pakaian ihrom, menutup seluruh aurat kecuali muka dan tangan untuk perempuan dan bapak-bapak mengenakan 2 lembar kain. Insya Allah barang-barang sudah kami bawa turun semua,tak ada yang tertinggal karena kami sudah meneliti setiap sudut kamar kecuali kalau sampai terlewat pandangan. Keadaan lobby masih sepi, Jamaah belum selengkapnya kumpul, hanya beberapa yang sudah terlihat berpakaian ihrom seperti kami baik dari rombongan kami maupun dari rombongan lainnya. Barangkali mereka masih membereskan barang bawaan dan meneliti ulang seluruh penjuru kamar supaya tak ada yang tertinggal karena kami tak ada rencana balik lagi ke Madinah.

Tak berapa lama... Satu persatu jamaah mulai berdatangan, lobby akhirnya jadi penuh. Belum lagi deretan kopor yang tertumpuk dipinggir, di depan pintu keluar dan di depan hotel. Eh, ternyata kopor-kopor kami yang diambil jam 09.00 juga masih tertumpuk disini. Sepertinya bus atau kendaraan apalah yang akan membawa kami ke Bir Ali dan ke Mekah belum datang. Kami lalu menempati sofa-sofa di lobby yang jumlahnya tak sebanding dengan Jamaah yang ada sehingga kami bergantian menempati sofa yang ditinggalkan penghuninya. Dulu-duluan ceritanya.

Menit demi menit menggeser waktu, Jamaah yang tadinya ngobrol santai kini mulai terlihat gelisah. Tuh kan... ada yang berkali-kali melongok jam tangan dan sesekali melirik keluar, memastikan apa kendaraan sudah datang. Tak sedikit juga yang memainkan jari-jari mengetuk-ngetuk pinggiran kursi, mengoyang-goyangkan kaki, dan sesekali mendesah, jelas sekali keresahannya. Seorang dua orang kulihat menghubungi biro, menanyakan kapan jadi berangkat. Selenting info yang terdengar kemudian, bus yang akan mengantar kami masih dalam perjalanan. Mekah macet total, katanya untuk bergerak satu meter saja susah. Dalam bayanganku... sepenuh apa ya Mekah saat ini, apa seperti waktu perjalanan hajiku 14 tahun yang lalu? Atau malah lebih banyak lagi? Menunggu yang tak pasti, itu mungkin yang terbersit dipikiran kami-kami. Iya, karena menunggu tak pasti kapan kendaraan akan sampai di hotel dan mungkin juga karena sudah tidak sabar lagi, maka beberapa jamaah lalu memutuskan untuk naik taxi ke Bir Ali. Toh tempatnya dekat saja, hanya butuh satu jam perjalanan dari hotel, itu paling lama dan setiap sopir taxi pasti tahu tempatnya. Sedangkami kami memilih tetap menunggu bus yang sudah disediakan biro. Sabar... sabar...

Hampir tiga jam kami menunggu, kejenuhan melanda... itu pasti, ngantuk menghampiri... ah, nggak perlu ditanyakan lagi. Rasanya duduk di Sofa terus capek, berdiri terus juga capek. Akhirnya silih berganti sofa ini diduduki. Tiba-tiba Pak Galih dari biro yang sedari tadi dihubungi suami lewat hand phone dan tak tersambung-sambung muncul dihadapan kami lalu mengatakan kalau busnya sudah datang tapi tidak bisa masuk sampai depan hotel. Lalu? Lagi-lagi kami harus jalan untuk menjumpai kendaraan sambil membawa barang tentengan yang lumayan berat, tepatnya lebih berat dari tentengan sebelumnya sewaktu kami baru datang. Nah loo... ya lumrah saja toh kalau kami belanja di Madinah. Hehehe... Tapi jangan dibayangkan kami belanja yang macam-macam ya, bukan emas, bukan permata, juga bukan souvenir untuk oleh-oleh. Ini belanjaan kami waktu ziarah ke kebun kurma. Isinya kurma, manisan apricot, kacang dan coklat serta kurma matang segar yang dibeli diseputar hotel. Meski di tanah air juga ada yang menjual kurma dan sejenisnya, tapi kalau nggak bawa dari tempatnya kok ya kurang afdhol ya. Alhasil kami terhuyung-huyung jalan menuju bus yang terparkir dan lumayan agak jauh. Owalah bus... bus... kok yo jauhmen toh parkirnya, apalagi Pak Galih sempat lupa dimana letak busnya dan kami harus memutar... haiyah Pak Galih... Pak Galik.... bawaanku berat banget lho....

Akhirnya kami sampai di dalam bus yang sudah penuh Jamaah. Lhoh ini jamaah dari mana aja ya, kok jumlahnya dua kali lipat atau mungkin lebih dari jumlah kami datang ke Madinah lalu? Ow ternyata kami masih dari satu biro yang sama, cuma mereka sudah datang ke Madinah lebih dulu dan tinggal ditempat yang beda dengan kami. Kamipun duduk mengambil tempat yang masih ada. Aku dan bungsuku duduk sebelahan di deretan tengan, suami duduk di seberangku, Bapak dan Ibu di belakang dekat pintu, adikku Atik diseberangnya Ibu, sedang Uul iparku duduk di depan (dapat prioritas karena khawatir kalau sepanjang perjalanan akan mabuk berat). Setelah dicek-cek ternyata masih ada beberapa tempat duduk yang belum terisi, siapa ya yang belum masuk bus? Sudah lengkap Pak karena yang lainnya sudah berangkat duluan naik taxi. Oh iya, sudah cocok berarti, buspun berangkat maju. Pak Helmy kemudian menghubungi jamaah yang tadi berangkat ke Bir Ali duluan untuk menunggu di masjid, nanti akan berangkat sama-sama ke Mekahnya. Ngeeettt! Sopir bus ngerem mendadak. Haduh baru maju sudah bikin pusing nih sopir. Ngeeettt! Bus ngerem mendadak lagi. Haduh, bener-bener bikin pusing. Dan kejadian ngerem-mengerem terjadi berulang-ulang. Ada nggak yah yang bisa gantiin nyetirnya? Kalau ada hayuk diganti saja sopirnya, pasti yang lain setuju. Kalau begini cara nyetirnya... dijamin ada yang mabuk nanti. Benar saja, baru saja bus bergerak sekitar seperempat jam, penumpang bagian belakang sudah ada yang hoek-hoek. Woh, ternyata adikku. Ah, kalau dia sih hantunya mabuk. Moga-moga gak akan ada yang nyusul.

Satu jam kemudian kami sampai di Bir Ali atau masjid al Miqat atau biasa juga orang menyebutnya masjid al Ihram, tempat miqot umroh kami. Sebelum turun Pak Helmy mengingatkan apa saja yang harus kami kerjakan di dalam masjid, yaitu sholat sunah umroh dua rakaat dan berniat. Tuntunan niat dapat dibaca di buku panduan yang sudah dibagikan. Bu Zaenal sebagai salah satu pembimbing juga mengingatkan kami kalau sesudah niat harus dijaga bener ihromnya. Jangan sampai melanggar larangan ihrom dan diminta sesama jamaah saling mengingatkan. Lalu kami turun dan masuk kedalam masjid.

Sejurus mata memandang ke depan ada halaman yang luas dengan taman yang tertata apik. Jika mata memandang ke kiri, terdapat koridor atau selasar yang panjang dengan artistik. Kembali menghadap kedepan, setelah melewati tamannya, berdiri megah sebuah masjid yang sebentar lagi akan kami masuki. Tapi kami harus tahan dulu, kami belok kanan memasuki bangunan yang cukup besar khusus untuk jamaah perempuan. Disini kami akan memperbaharui wudhu. Keran-keran banyak disediakan, namun begitu tetap saja kami mengatri memakainya. Tersedia juga kamar mandi, jumlahnya juga sangat banyak tapi tetap saja kami harus mengantri bila ingin menggunakannya.

Selesai mengambil wudhu kami langsung masuk ke masjid yang terbagi dua bagian didalamnya. Kami (jamaah perempuan) masuk dari pintu belakang masjid sedang jamaah pria masuk dari pintu samping. Didalam masjid ada pembatas ukiran kayu yang memisahkan jamaah perempuan dan jamaah laki-laki. Kami melakukan sholat sunah umroh dua rakaat dan berniat seperti di buku panduan yang kami bawa. Mulai saat ini berlakulah larangan ihrom bagi kami. Tak boleh memotong rambut dan kuku, tak boleh berkata kotor, bergunjing maupun bertengkat, tak boleh memakai wangi-wangian, tak boleh membunuh binatang kecuali yang membahayakan dan masih banyak lagi larangan yang harus kami hindari. Kami harus berhati-hati. Bila larangan ini dilanggar, kami harus membayar Dam atau denda. Mau tahu Dan atau dendanya? Boleh pilih salah satu. Menyembelih satu ekor kambing atau memberi makan 60 fakir miskin berdasarkan ukuran makan normal sehari-hari atau berpuasa sepuluh hari (3 hari ditanah suci dan 7 hari ditanah air). Semoga kami bisa menjaga ihrom kami, ya Allah... bantulah kami.

Setelah itu kami kembali ke bus. Setelah jamaah benar-benar lengkap, buspun mulai bergerak meninggalkan Bir Ali menuju Mekah. Suara talbiyah menggema dari bibir jamaah. Labbaik Allahumma Labbaik, Labbaika laa syariikalah, Innal hamda wannikmata, Lakawalmulk. Laa syarikalah.

23 September 2011

catatan perjalanan umroh Ramadhan kami-6

Perbanyak doa di sujud terakhirnya ya


Sabtu 20 Agustus 2011, hari kedua kami di Madinah. Berempat kami berangkat ke masjid Nabawi untuk melaksanakan sholat subuh berjamaah (aku, Ibu, Atik, dan bungsuku). Seperti hari kemarin, jamaah sudah memenuhi halaman masjid walau belum masuk waktu subuh. Di halaman agak keluar terlihat banyak jamaah yang menikmati santap sahurnya. Perbekalan roti, kurma, susu, yogurt, dan entah apa lagi digelar untuk dimakan rame-rame. Senang melihatnya, pengen ngerasain juga kurma dicolekkan ke yogurt tapi masak mau minta dan lagi kami kan sudah sikat gigi. Kami terus melangkah melewati mereka, tapi tak sampai masuk masjid. Kali ini kami sengaja mengambil tempat diluar masjid atau di halaman masjid. Bukannya kami tak mau berusaha masuk ke dalam masjid. Tapi melihat begitu banyaknya manusia yang sedang berjubel di pintu masuk dan beberapa petugas juga sedang berusaha menghalangi jamaah memasuki masjid karena di dalam masjid sudah penuh. Kemungkinan tak akan ada tempat lagi, maka kamipun tak memaksakan diri bisa masuk. Bahkan dihalaman masjid paling dekat dengan masjidpun sudah dijaga supaya jamaah tidak memaksa masuk. Selain itu, usai sholat subuh kami berencana untuk segera kembali ke hotel. Rencananya pagi ini kami akan ziarah ke dalam masjid, mengunjungi makam Rasulullah atau ke Raudah. Seperti pengumuman yang disampaikan saat makan sahur tadi pagi di hotel, kami diminta sudah berkumpul di lobby jam 07.00. Makanya supaya cepat persiapannya dan tidak saling menunggu kami mengambil tempat di halaman masjid yang shaf-shafnya telah terbentuk sampai kebelakang. Kami tetap mencoba agak kedepan walau dihalaman masjid, barangkali saja masih ada tempat untuk kami berempat. Berulang kali mencoba minta tempat pada jamaah yang duduk. Jangankan untuk empat orang, untuk satu orang saja susahnya bukan main. Jamaah yang telah duduk tak mau bergeser, tak mau memberikan sedikit tempat walau sebenarnya kalau nanti berdiri masih bisa ditempati. Yah, berjuang lagi mencari tempat sampai dapat.

Usai sholat subuh kami sempatkan berdoa sebelum sholat jenazah dimulai. Selalu saja ada yang meninggal sehingga setiap sehabis sholat wajib selalu diumumkan kalau imam akan memimpin sholat jenazah. Kami juga selalu berusaha ikut menyolatkan untuk memberi penghormatan dan mendoakan jenazah yang meninggal. Semoga Allah mengampuni semua dosanya dan keluarga yang ditinggalkan diberi keikhlasan dan sabar menerimanya. Untung saja masih ingat bacaan sholat jenazah yang diajarkan waktu sekolah dulu. Hal yang tak direncanakan sama sekali, tiba-tiba bungsuku ingin jalan-jalan mengelilingi masjid Nabawi. Wuih, yang bener saja! Sekarang? Sebenarnya saatnya kurang tepat karena melihat begitu berdesak-desaknya manusia di halaman masjid. Semua sedang berusaha mencari celah supaya bisa bergerak keluar, baik yang dari dalam masjid maupun yang dihalaman. Lha kami malah mau ke arah masjid, menembus lautan manusia. Wah, arahnya malah berlawanan. Tapi setelah dipikir-pikir kalau tak dilakukan sekarang, kapan lagi? Karena kami akan ziarah ke Raudah, jam 07.00 kami harus kumpul di lobby terus berangkat ziarah, belum tahu butuh berapa lama nanti mencapai Raudah dan sholat disana mengingat Raudah pasti akan penuh sesak. Lalu jam 09.00 kami harus sudah menyiapkan kopor didepan pintu kamar karena kopor akan diambil Biro. Padahal kami belum mulai packing, sedikitpun belum. Kalau ditunda kelilingnya setelah jam 09.00 gimana ya? Ah, nggak mungkin... pasti udaranya panas sekali, nggak mungkin mengelilingi masjid dibawah terik matahari. Bisa-bisa batal puasa pulang dari keliling masjid. Lebih-lebih lagi jam 13.00 kami sudah harus siap di lobby dengan pakaian ihrom. Kami akan berangkat ke Mekah dan tak kembali lagi ke Madinah. Berarti kami harus segera membereskan barang-barang yang tersisa selain yang di kopor. Satu-satunya kesempatan keliling masjid ya sekarang.

Okelah kalau begitu, secepatnya kami beranjak dari duduk dan melangkah mengitari masjid Nabawi, saatnya membelah lautan manusia. Langkah kami kadang tertahan karena arus yang melintas dihadapan kami, langkah kami juga kadang harus berbelok mengikuti arus keluar halaman, padahal kami harus masuk, lebih mendekati masjid. Tapi kalau kami melawan arus akan lebih menguras tenaga.

Alhamdulillah, seperempat bagian masjid telah kami lalui. Tak terhitung berapa jamaah yang kami lewati. Kami terus melangkah lebih dekat ke masjid supaya tak terlalu jauh memutarinya dan cepat menyelesaikan keliling masjid. Sampailah kami dibagian depan masjid Nabawi, ke arah pintu ke makam Rasul. Kami terus melangkah mendekat, barangkali saja kami bisa memandang lebih dekat lagi dan bisa mengamati makam Rasul dari luar pintu. Sampailah kami didepan pintu menuju makam Rasul, bukan didepan persis sih.. Mungkin sepuluh meter didepan pintu dan kami tak bisa lebih mendekat lagi karena pintu ini jalan keluar jamaah laki-laki. Kalau kita mendekat, pasti akan diusir, haram… haram.., itu yang biasa kami dengar. Artinya kami disuruh pergi atau tak boleh melintasi.

Diantara bahu-bahu yang tinggi, diantara tubuh-tubuh yang kekar, disela-selanya… kami berusaha melihat ke dalam. Walau tak bisa memandang utuh sampai bawah, tapi lumayanlah… kami bisa melihat pintu-pintu makam Rasul beserta sahabat Umar dan Abu Bakar, dan papan hijau diatas pintu. Meski tulisannya tak mampu kami baca, karena kami hanya bisa melihat dari samping dan dari kejauhan, yah… kira-kira 10 meter dari pintu masjid.

Setelah puas memandang dan sempat tertegun serta sempat bertanya-tanya... Apakah masih dibolehkan bagi kami jamaah perempuan mendekati makam Rosul seperti yang kualami empat belas tahun yang silam ya? Kalau saja diperbolehkan, seberapa sulitnya pasti akan kuusahakan mendekatinya. Lalu kamipun melanjutkan perjalanan. Masih separo putaran lagi nih, mau balik atau meneruskan mengelilingi masjid? Sepertinya sama saja, karena posisi kami memang pas di tengah-tengah untuk jalan pulang ke hotel. Sebaiknya lanjut mengelilingi saja, supaya bisa melihat utuh situasi di sekeliling masjid. Subhanallah, disemua penjuru sisi masjid yang kami lalui… tak terhitung berapa yang datang ke masjid hari ini, halaman begitu penuh... padat dengan jamaah.

Selesai sudah kami berkeliling, saatnya kembali ke hotel untuk bersiap-siap ziarah ke Raudah yang rencananya akan diantar dan dipandu... bu Maunah apa bu Masamah ya namanya, hehehe lupa.

Tepat jam 07.00 kami sudah di lobby, kali ini kami hanya bertiga (aku, Ibu dan bungsuku), sedang Atik belum diijinkan masuk ke masjid. Tamunya masih setia mengunjungi. Kami tunggu siapa saja yang akan ikut ziarah ke Raudah. Bu maunah sudah ada bersama kami. Sebenarnya berangkat sendiri juga nggak apa-apa karena aku dan Ibu sudah pernah mengunjungi Raudah, tapi kalau ada pemandunya juga tak masalah malah lebih bagus karena sehari-harinya beliau kan berada di masjid. Tentunya hafal betul liku-likunya masjid. Beberapa saat kami menunggu tak juga ada yang datang. Bu Maunah beberapa kali juga melihat jam tangannya dan bilang kalau berangkatnya jangan siang-siang. Waktu buka Raudah juga cuma sebentar. Sebaiknya kami segera berangkat ke masjid, bukannya kami tak mau menunggu tapi karena terbatasnya waktu terpaksa kami tinggal.

Sampai di halaman masjid, posisi kami saat ini hampir mendekati pintu masuk masjid. Bu Maunah memimpin doa, sedang kami mengaminkannya. Lalu kata beliau saat mau masuk masjid kami disuruh membaca basmalah dan membaca doa “Ya allah, bukalah pintu rahmat-Mu untukku” baru melangkah dengan mendahulukan kaki kanan saat masuk.

Sekarang kami berempat sudah di dalam masjid. Kami menyimpan alas kaki di rak yang telah disediakan di dalam masjid, berjalan lebih masuk kedalam masjid melewati orang-orang yang sedang duduk maupun baring. Tidak tahu kenapa mereka tak segera berdiri mencari tempat terdekat pintu masuk ke Raudah. Apa memang mereka tak ingin ke Raudah ya? “Lewat sini bu, cepat, sebentar lagi pintu dibuka” Itu yang kami dengar disela-sela mendahului jamaah yang sepertinya juga punya tujuan yang sama, ke Raudah. Hampir setengah berlari kami menuju ke arah yang ditunjukkan Bu Maunah. Benar saja, tak lama kemudian kami melihat pintu pembatas dibuka, kami berjalan lebih cepat dari sebelumnya menuju pintu dan berjalan lebih cepat lagi supaya segera sampai ke Raudah dan mendapat tempat di depan seperti yang dipesan Bu Maunah “Ambil tempat terdepan ya, mepet pembatasnya”.

Susul-menyusul diantara jamaah yang sedang berjalan cepat juga. Kaki ini melangkah cepat, hampir berlari… dalam jarak pandang yang mampu terlihat… pemandangan di depan kami mulai memperlihatkan bangunan makam Rasul dari arah belakang dan samping. Tiba-tiba mata ini menjadi sembab, panas, dada berdegup lebih kencang, bukan karena kami terengah-engah. Ada perasaan yang tak bisa diungkap dengan berjuta kata. Air mata tak berhenti mengalir membasahi pipi, walau berkali-kali diusap... tetap saja basah.

Semakin mendekati tempat yang dituju, semakin berkecamuk perasaan. Benar-benar aku akan berada ditempat ini lagi setelah 14 tahun yang lalu. Subhanallah, Alhamdulillah, Allahu Akbar. Hanya Engkau yang mampu memperjalankan kami hingga kami sampai ditempat ini. Kalaupun kami berkecukupan bekal, kalaupun kami mampu mengadakan perjalanan, kalaupun kami dalam kondisi sehat, namun jika Engkau tak berkehendak… tak kan mungkin kami berada ditempat ini lagi. Segala puji-pujian hanya untuk-Mu ya Allah yang telah memberiku kesempatan lagi mengunjungi rumah Rosulku.

Lalu, apa yang akan kami lakukan di Raudah ini? Kami melakukan sholat tahiyatul masjid, sholat dhuha, sholat hajad dan sholat taubat. Pesan dari Bu Maunah, berdoalah sebanyak-banyaknya pada sujud terakhir dari setiap sholat dan jangan beranjak sampai semua sholat dilakukan. Abaikan saja orang yang menyuruh kita cepat beranjak. Alhamdulillah, kami dapat mengerjakannya dengan tenang, dengan bacaan yang tak tergesa-gesa. Kamipun dapat berdoa sepuas-puasnya dalam sujud terakhir dalam setiap sholat yang kami kerjakan. Segala pinta dan harap dengan linangan air mata, doapun terluncur. Begitu indahnya doa yang kami panjatkan. Ya Allah, berikan kesempatan padaku untuk kembali mengunjunginya lagi, secepatnya bersama keluargaku. Amin Allahumma Amin.

21 September 2011

catatan perjalanan umroh Ramadhan kami-5

Jum’at Panik


Kalau saja masih banyak waktu, ingin rasanya mendatangi tempat-tempat bersejarah saat kehidupan Nabi Muhammad maupun tempat tempat peradaban islam berkembang. Namun karena hari ini hari Jum’at, kami tak bisa penuhi semua hasrat. Banyak tempat yang tak bisa kami kunjungi, sebenarnya sayang sekali tapi apa boleh buat. Kami harus secepatnya kembali ke hotel dan bersiap-siap berangkat ke masjid untuk sholat Jum’at. Akan lebih sayang kalau sampai kesempatan ini terlewatkan karena kami hanya punya Jum’at sekali saja di Madinah untuk umroh Ramadhan ini. Belum juga jam sebelas tapi matahari sudah mulai unjuk keperkasaannya. Sinarnya benar-benar menyengat pedih menusuk kulit dan membuat udara yang kami hirup semakin kering. Bernafas terasa panas dan pandangan ke segala penjuru begitu menyilaukan. Jadi agak bergayalah ya kalau kami memakai kacamata hitam yang dibeli ditoko pojokan hotel. Padahal sumpek juga rasanya karena gak biasa makai, pandangan kok rasanya terbatas gitu. Ndeso ya? Biar aja.

Begitu kendaraan dihentikan di depan hotel, kami langsung turun dan masuk lobby. Kok ternyata keok juga ya, padahal cuma sebentar jalan-jalannya dan ziarahnya juga nggak kemana-mana, nggak jalan-jalan yang gimana gitu. Malah kami lebih banyak duduk di mobil. Apa mungkin karena udara yang begitu panas dan kondisi tubuh yang lagi puasa ya? Tapi yang terlihat paling lelah diantara kami sepertinya Bapak. Saat mengikuti ziarahpun sepertinya kurang semangat, kurang tertarik melihat pemandangan sekitar, malah sempat tertidur. Apa mungkin karena pemandangannya masih sama seperti tahun lalu saat Bapak berkunjung ya atau mungkin juga karena kecapekan perjalanan sebelumnya. Ah, nggak tahulah, yang tahu keadaannya ya Bapak sendiri, kami-kami kan hanya melihat fisiknya saja. Tapi yang jelas kondisi kesehatan Bapak memang kudu terus dipantau sejak dari tanah air, ya makannya, ya aktifitas kesehariannya, ya minum obatnya. Tapi ya dasar Bapak, semua nggak diindahkan, heheheh... maaf ya Pak. Dipantang makan sate umpamanya, malah hampir tiap hari makan sate, iya kan Pak? Hayo ngaku... Katanya, makanan sing paling enak ki yo sate. Disuruh ngurangin gula, ee.. gayanya dimeja makan ya disediain segelas teh tawar, tapi sampai siang seringnya masih utuh. Lha minumnya apa? Ya air kulkas dikasih sirup nu atau bikin es teh manis sendiri. Hebat kan? Dibilangin kalau makan porsinya jangan banyak-banyak ya Pak, wee... malah suka nambah dua tiga kali. Haiyah Bapak... Bapak! Kok nggak bisa diet gini... Gawat!

Nah, sampai juga akhirnya di kamar, bisa selonjoran sebentar. AC dipasang kencang biar cepat dingin ruangannya, biar keringat dan gerahnya cepat hilang, biar bisa cepat-cepat mandi dan siap-siap berangkat ke masjid. Saat kami masih sedang santai-santainya, mungkin masih sekitar jam sebelas, pintu kamar diketuk. Ternyata suamiku yang menempati kamar sebelah. Ada apa ini kok sudah rapi? Katanya mau berangkat ke masjid lebih awal biar bisa masuk masjid. Jum’atan pasti masjidnya full jamaah, pasti susah masuknya. Penduduk sekitar yang laki-laki pasti juga akan pergi Jum’atan ke masjid. Kulihat diluar tak ada siapa-siapa, lha ini mau berangkatnya sama siapa, mau berangkat sendiri? Katanya sama Uul saja, iparku. Lhoh sama Uul saja, hanya berdua, lha Bapak kok ditinggal, kok nggak sekalian diajak bareng ke masjidnya. Katanya lagi, Bapak masih istirahat dikamar, masih tidur, kelihatannya capek sekali, jadi nggak berani membangunkan. Oooo... Ya sudah, nanti disamperin saja kalau kami berangkat.

Hampir jam 12.00, kami (aku dan Ibu) sudah siap berangkat ke masjid, sedang Atik dan bungsuku tetap dikamar, mereka tak ikut ke masjid. Kami ingat harus mampir dulu ke kamar Bapak, siapa tahu Bapak belum berangkat jadi bisa berangkat bareng atau malah masih tidur. Lha kalau ini ya harus dibangunkan, wajib dibangunkan ini. Laki-laki kan harus jum’atan wong nggak ada alasan apa-apa. Kami ketuk kamarnya dan kami panggil, tak ada jawaban. Kami ketuk-ketuk lagi agak keras, tetap tak ada jawaban. Kutempelkan telinga dipintu, tak ada suara apa-apa di dalam yang bisa kudengar, tak ada suara shower atau gemericik air di kamar mandi. Sepi sekali, hanya suara AC. Bapak ada dimana ya? Masih dikamar apa sudah berangkat ya. Kalau melihat kondisi Bapak tadi sepulang dari ziarah, mungkin Bapak masih dikamar dan mungkin masih tidur, tapi kok diketuk-ketuk pintunya nggak ada jawaban. Kalau sudah berangkat ke masjid kok nggak bilang-bilang atau nawari berangkat bareng. Semakin keras kami mengetuknya, lebih sering dan berkali-kali. Tetap saja tak ada jawaban. Jangan-jangan… ah, kami tak mampu membayangkan kalau Bapak pingsan didalam. Kucoba turun ke lobby dan menanyakan apa kunci kamar Bapak dititipkan di meja resepsionis, ternyata tidak. Masak kuncinya dibawa ke masjid, biasanya kan dititipkan di resepsionis. Kucoba menerangkan ke pegawai resepsionis bahwa kemungkinan Bapak masih di dalam kamar, kuminta tolong membukakan kamarnya takut terjadi sesuatu dengan Bapak. Weh, tahu tidak.. reaksinya biasa-biasa saja, kok bisa ya... Hei! Aku ketakutan ini, ada apa dengan Bapakku di kamar. Dia hanya bilang kuncinya tidak ada. Iya-iya, kuncinya tidak ada, aku tahu, barangkali aja kuncinya masih didalam kamar bersama Bapakku. Apa nggak ada kunci serepnya? Tolong dong!

Sementara itu seorang pegawai lain datang tapi sepertinya sedang tak tugas jaga karena kulihat sajadah tersampir di pundaknya dan sepertinya juga terburu-buru mau berangkat Jum’atan. Mereka ngobrol sebentar lalu pergi. Sebentar kemudian ada lagi yang datang juga membawa sajadah, ini juga mau pergi ke masjid. Mereka ngobrol sebentar dan pergi, sedang pegawai yang kutanyai tadi tetap diam diruang resepsionis tak melakukan apa-apa. Ini gimana sih kok diam saja. Kutanya lagi bisa nggak buka kamar Bapakku. Dijawabnya kuncinya sedang diambil. Diambil? Siapa yang ngambil? Orang yang tadi ngobrol dan barusan pergi apa orang yang pertama kulihat ngobrol lalu pergi? Weh, emang ngambil kuncinya dimana? Diluar bangunan hotel ini? Dimana? Penjaga resepsionis lalu kuminta meneleponkan ke kamar Bapak dengan telepon yang ada di meja resepsionis, dia memencet beberapa nomor lalu diserahkan padaku gagang telponnya. Apa ini, nada telponnya kok nada tergantung. Kuberikan gagang telponnya dan kusuruh dengerin. Kuminta sekali lagi ditelponkan, lalu pegawai itu kembali memencet beberapa nomor. Nadanya masih sama, nada telpon tergantung. Kubilang tidak bisa dihubungi lewat telephone, trus gimana? Dia hanya menggeleng dan mengangkat bahu. Waduh, kenapa ini Bapak? Apa jangan-jangan tadi Bapak merasa sakit trus mencoba menelpon ke kamar kami tapi tidak kuat, terus terjatuh. Ya Allah mudah-mudah tidak terjadi apa-apa dengan Bapak.

Aku kembali ke lantai sepuluh dengan lift, tentu saja dengan lift kalau naik tangga bisa-bisa aku malah sudah KO duluan. Tujuannya kekamar Bapak, cepat.. cepat.. cepat!! Kulihat Ibu masih duduk di kursi diluar kamar Bapak. Kujelaskan kalau pegawai hotelnya diam saja nggak ngapa-ngapain, katanya lagi diambilkan kuncinya tapi nggak jelas diambilkan beneran apa tidak. Lalu kukatakan pada Ibu kalau telpon di kamar Bapak kondisinya tergantung, Ibu jadi panik. Gimana dong kalau Bapak masih di dalam kamar dan jatuh, apalagi kalau sampai pingsan. Jadi ingat pengalaman-pengalaman sebelumnya. Belakangan ini kami memang sangat khawatir dengan kondisi Bapak karena Bapak pernah mengalami serangan stroke 2 kali. Kami ketuk-ketuk lagi dengan ketukan lebih keras dari sebelumnya. Tetap tak ada jawaban dari dalam, tak ada suara sedikitpun yang terdengar. Apa yang harus kami lakukan? Pengennya mau mendobrak pintu.. tapi nggak mungkin, tenaga nggak ada dan lagi nanti malah jadi masalah dengan fihak hotel. Sebaiknya kembali lagi ke lobby, sekali lagi minta tolong dibukakan kamarnya, kami benar-benar takut. Sekali lagi kami jelaskan kondisinya, tapi reaksi pegawai hotel tetap biasa saja, seperti tak terjadi apa-apa, tak juga memahami kepanikan kami. Ergh...!!! menjengkelkan sekali. Dari tadi yang dibilang cuma kunci tidak ada, kunci tidak ada. Iya-iya kuncinya tidak ada di resepsionis, tapi apa tidak bisa melakukan yang lain, yang lebih ekstrim, mendobrak pintu atau apa gitu. Jangan diam saja! Ibu terus menjelaskan bahwa yang di dalam kamar itu suaminya dan kemungkinan sakit ada karena kondisi Bapak memang mengkhawatirkan. Pegawai hotel tetap tak berbuat apa-apa, memang sepertinya tak mau membukakan ini. Ibu lalu bilang, mungkin haram perempuan masuk ke kamar laki-laki. Iya, aku ingat, tadi pegawai hotel juga bilang “haram-haram” gitu, cuma nggak faham maksudnya. Jadi mungkin benar yang dibilang Ibu. Mungkin juga mereka takut nanti ada kesalahan kalau membuka kamar Bapak terus ada barang yang hilang. Pasti fihak hotel yang akan disalahkan.

Lama kami menunggu, tetap tak jelas juga mau dibukakan apa tidak pintu kamar Bapak. Kalau kami kembali ke kamar Bapak lagi dan ketuk-ketuk lagi yang lebih keras juga tak mungkin, tadi sudah kami lakukan dengan ketukan yang sangat keras. Kami diam saja di lobby, tak melakukan apa-apa, hanya menanti dan berharap pegawai hotel ini beranjak dari ruang resepsionis lalu mengerjakan sesuatu seperti keinginan kami atau kunci cadangan seperti yang dikatakan segera datang. Hallah... kok sepertinya ajaib.

Keadaan hotel sudah sepi, sepertinya penghuninya sudah pada berangkat ke masjid. Tidak tahu lagi apa yang harus diperbuat, sedang orang-orang diluar terlihat sedang berjalan terburu-buru kearah masjid. Pasti sebentar lagi adzan. Benar juga, adzanpun berkumandang tanda masuk waktu sholat jum’at. Ya sudah, pasrah saja pada Allah, berdoa dan berharap semoga Bapak sudah berangkat ke Masjid. Akhirnya kami putuskan untuk berangkat saja ke Masjid. Sepanjang jalan menuju masjid mulut ini terus berdoa untuk keselamatan Bapak. Bapak, semoga engkau baik-baik saja.



20 September 2011

catatan perjalanan umroh Ramadhan kami-4

Sayang hanya sebentar


Sekarang tanggal 19 Agustus 2011. Hari pertama kami menyambut udara pagi di Madinah. Walau perjalanan yang sangat melelahkan baru saja kami lalui, tak menyurutkan langkah kami ke meja makan di ruang makan hotel untuk makan sahur bersama-sama jamaah di lantai M. Disebut lantai M karena di tombol liftnya tertulis M dan ini yang harus kami pencet untuk sampai ke lantai tersebut. Ruang makan ini cukup luas, mampu menampung beberapa biro perjalanan. Dari pantauan yang terlihat terdapat empat tempat buffe yang disusun mepet dinding ruang makan. Jamaah diarahkan untuk mengambil makan sesuai buffe yang disediakan biro. Salah mengambil buffe bisa jadi masalah, jamaah lain bisa tak kebagian makan. Jadi harus dipastikan mana buffe untuk biro kami. Selesai makan sahur kami langsung berangkat ke masjid untuk sholat subuh. Tapi kearah mana ya kaki ini akan melangkah setelah keluar hotel? Karena ini adalah hari pertama, jadi belum tahu letak masjid. Belok kiri apa kanan? Kami mencoba mengingat-ingat. Oh iya, waktu pak Helmy bilang masjidnya ada didepan, tangannya nunjuk kesisi kiri hotel, berarti kami harus melangkah ke kiri. Yang terlihat saat kaki-kaki ini melangkah... adalah bangunan gedung-gedung besar dan menjulang tinggi. Inilah pemandangan disekeliling kami, serta jalan-jalan jadi kelihatan sempit padahal bila beberapa kendaraan besar seperti truk bertumpuk dijalan inipun masih muat. Lampu-lampu yang sangat terang membuat suasana seperti siang hari cuma langitnya saja yang terlihat gelap. Lalu... di sebelah mana ya masjidnya? Apa dibalik gedung-gedung itu? Tapi saat diamati benar-benar, kami lihat orang-orang berduyun-duyun kearah samping bangunan hotel kami (Fayruz) trus ke belakang, jadi tak mungkin bila masjidnya di balik gedung-gedung besar itu. Ah, apa dibalik gedung hotel kami ya? Hayuk ikuti saja kearah mereka. Kaki ini terus melangkah sampai batas bangunan hotel lalu belok kiri. Dan... Subhanallah, iya, kami disuguhi pemandangan yang indah. Bangunan masjid yang kami rindukan ada didepan kami. Rindunya bisa menggelar sajadah didalam masjid. Bisa dapet tempat nggak ya? Bismillah... semoga kami masih kebagian tempat.

Usai sholat subuh kami kembali ke hotel. Menurut rencana yang kami dengar saat makan sahur tadi, hari ini kami akan melakukan ziarah, katanya sih ziarah keluar dan Jamaah diharapkan kumpul di lobby hotel jam 07.00. Nggak bisa dilewatkan kesempatan ini, akan kemana ya ziarahnya? Kami secepatnya bersiap-siap, jangan sampai jamaah yang lain sudah siap dan sudah duluan menunggu di bawah sedang kami masih belum apa-apa, jangan sampai ah. Kemon, kemon, kemon... Secepatnya kami bergantian mandi dan mempersiapkan segala sesuatunya yang kudu dibawa. Apa yang harus dibawa ya? Masker untuk menahan debu dan udara kering sudah kami siapkan, bahkan bawa cadangannya juga, kacamata hitam juga sudah, eh cameranya nggak boleh ketinggalan, ini penting untuk mengabadikan tempat-tempat yang akan dikunjungi buat kenang-kenangan. Yang paling penting kayaknya duwitnya nih duwitnya.., wuih... sajaknya. Kali-kali aja ada yang mau dibeli ya. Sip! Semua sudah lengkap. Saatnya menuju lift dan turun ke lobby.

Kini kami telah berada di lobby hotel, keadaannya masih sepi... ternyata yang lain belum turun, baru kami bertujuh (aku, suami, bungsuku, Bapak, Ibu, Atik dan Uul). Rencananya pagi ini kami akan berkeliling mengunjungi tempat-tempat bersejarah zaman kehidupan Rasulullah. Banyak tempat yang bisa dikunjungi di Madinah ini, seperti masjid Nabawi sendiri yang didalamnya terdapat rumah Rosul yang kemudian menjadi makam beliau, Raudah, dan mimbar Rosul, makam Baqi, masjid Quba, gunung Uhud, kebun qurma, masjid qiblatain, masjid tujuh dan masih banyak lagi.

Menit demi menit berlalu, tapi jamaah yang lain belum juga turun ke lobby. Apa memang nggak ada yang mau ikutan ziarah? Kalau tunggu-tungguan gini bisa kesiangan ini berangkatnya. Kami juga tidak tahu siapa yang akan membawa kami ziarah juga mau naik apa. Pak Galih atau Pak Helmy tak ada di lobby. Tapi kemudian ada satu bapak memakai jubah putih, berkopyah dan dibahunya terselempang sorban khas bintik-bintik merah mendekati kami, menjelaskan kalau dia dari biro lalu menanyakan apa kami yang akan pergi ziarah. Oh, ini ya yang akan mengurus ziarah kami? Lalu si bapak ini menanyakan lagi jamaah yang lainnya mana? Lhoh? Mana kami tahu? Kami tak janjian dengan mereka apa mereka mau ikut ziarah apa tidak, kami hanya mengikuti jadwal yang sudah disusun biro. Akhirnya kami diminta naik ke kendaraan sambil menunggu informasi selanjutnya. Sebentar kemudian bapak yang tadi, ikutan naik ke kendaraan dan memberitahu kalau yang lain memang tidak ikut ziarah. Owalah... mbok yo ngasih tahu kalau nggak ikut... kami kan nggak usah nunggu lama-lama.

Pintu kendaraan ditutup, kemudian mesin mobil dinyalakan begitupun ACnya. Si bapak lalu mengambil pengeras suara yang sudah disediakan, walau sebenarnya tak pakai pengeras suara sudah cukup wong kami cuma bertujuh, eh berdelapan ding sama sopir dan si bapak sendiri. Pertama-tama si bapak memperkenalkan diri. Nah, sekarang kami tahu namanya, “Khotib” namanya. Lalu menjelaskan bahwa dialah yang akan jadi pemandu ziarah pagi ini menggantikan Pak Helmy karena Pak Helmy sedang ada keperluan yang lain. Lalu memberitahukan mana-mana yang akan dikunjungi dan yang lainnya hanya dilewati saja karena terbatasnya waktu mengingat hari ini hari Jum’at. Jamaah harus kembali ke hotel secepatnya untuk persiapan sholat jum’at di masjid, cocok dah... kamipun sepakat.

Tujuan pertama perjalanan ziarah ini adalah ke masjid Quba, masjid pertama yang didirikan Nabi Muhammad setelah Hijrah ke Madinah. Kami diminta turun untuk melaksanakan sholat sunah. Dijelaskan bahwa masjid Quba ini punya keistimewaan, keistimewaannya adalah pernah dinyatakan Rosulullah dalam sabdanya, “Barang siapa berwudhu di rumahnya (tempat tinggalnya), kemudian berkunjung ke masjid Quba, lalu mengerjakan shalat, maka ia mendapat pahala seperti pahala orang yang mengerjakan umroh”. Tak boleh disia-siakan donk kesempatan ini. Kamipun segera turun dari kendaraan dan melaksanakan beberapa sholat sunah seperti yang dianjurkan. Kami lalu tahiyatul masjid, dhuha, sholat hajat, dan sholat taubat, masing-masing 2 rakaat. Walau susah mencari tempat yang nyaman untuk melakukan sholat apalagi waktu sujudnya karena penuhnya ruangan oleh jamaah, tapi Alhamdulillah kami bisa mengerjakan semuanya. Kalau tak ingat kalau kami masih perlu mengunjungi ke tempat-tempat lain, pasti aku akan berlama-lama di masjid ini. Tapi tak bisa, yang lain sudah menunggu di kendaraan, siap melanjutkan ziarah.

Tujuan selanjutnya adalah kebun kurma. Saat disebut “kebun kurma” yang kebayang dikepala adalah, akan seperti apa ya berjalan dibawah naungan dahan dan daun-daun pohon kurma yang rindang, sedang dalam sela-sela dahan terpencar berumpun tangkai yang menjuntai dan buah kurma siap petik. Kami akan memilih dan memetik kurma sesuai kematangan yang kami inginkan, pasti indah dan menyenangkan sekali. Kebayang pula kalau seandainya kebun itu milik kami atau kami punya pohonnya, terus pohon itu berbuah, terus kami mengunjunginya, terus kami mengamati perkembangan buahnya, terus kami memetiknya. Ah..., berandai-andai memang menyenangkan sekali.

Tapi saat kami sampai di kebun kurma Abdul Aziz, lalu dari dalam mobil terlihat pohon-pohon kurma yang sudah tinggi, daunnya tertutup debu sehingga hijaunya tak kentara dan sedang tak ada buahnya. Uuh... lain dari bayangan. Apa memang saat ini sedang tak berbuah ya, sedang bukan musimnya. Atau mungkin sudah berbuah tapi sudah dipanen, dan kami terlambat mengunjunginya. Ah, tidak tahulah. Yang jelas bayangan kurma-kurma menjuntai tak ada lagi. Kalaupun yang kami lihat pohonnya ada buahnya, tangan kami tak mampu meraihnya karena pohonnya terlalu tinggi. Tapi tetap saja kami ingin mengabadikan saat-saat seperti ini. Yah, kapan lagi berfoto dikelilingi pohon kurma, di tanah air tak mungkinlah… Dan selanjutnya kami menuju toko kurma yang menyediakan berbagai jenis kurma, manisan, coklat dan aneka oleh-oleh. Yuk belanja yuk…

Yang jadi pilihan pertama adalah kurma ajwa atau biasa disebut kurma nabi. Bentuknya yang mungil cenderung ke bulat dan warnanya hitam memikat menjadi mudah mengenalinya. Weh, tapi harganya bok! Selangit. Sekilonya delapan puluh real, kalau dikurskan ke rupiah saat ini kami harus bayar dua ratus rebu. Ck ck ck... dan kami belinya tak mungkin hanya sekilo, ada kerabat dan sahabat yang akan kami bagi. Kenapa harganya mahal banget yah?

Pilihan yang kedua masih kurma, kami mencari kurma ambar. Sesuai namanya “ambar” artinya paus, jadi kurma ini ukurannya lebih besar dibanding jenis kurma lainnya. Harga yang ditawarkan juga membuat kami membelalakkan mata, sama selangitnya. Sekilonya delapan puluh real. Hiks... hik...

Masih ada yang mau dibeli, bungsuku mau coklat. Ya... ya... ya... mumpung masih disini dik, ayo cepat dipilih tapi jangan banyak-banyak ya. Eh ini untuk apa ya, dimakan sendiri apa untuk oleh-oleh? Katanya untuk oleh-oleh ke teman-temannya. Oke!

Tak terasa hari telah semakin siang, terpaksa kami harus menyudahi ziarah di kebun kurma ini kalau tak mau terkuras isi dompet. Tapi memang kami harus menyudahi ziarahnya kok karena sebentar lagi masuk waktu sholat jum’at. Jangan gara-gara ziarah kami terlambat ke masjid Nabawi. Kami segera kembali ke mobil dan balik ke hotel. Masjid Qiblatain, Gunung Uhud, makam Uhud, dan masjid tujuh tak jadi kami kunjungi. Kami hanya melintas saja, menyaksikan dari jauh, mendoakan syuhada-syuhada Uhud dari kendaraan saat melewatinya. Semoga lain waktu Allah masih mengijinkan kami mengunjunginya lagi dan lebih dekat. Amin Allahumma Amin.