2 Juli 2010

Hueekkk....!! Hueekkk...!!

Jalan-jalan ke Samarinda? Mabok’an nggak? kalau nggak ya amanlah selama perjalanan, kalau mabok’an musti disiapkan dengan serius perjalanannya. Bantal, minyak kayu putih atau balsem untuk bloyoan, obat anti mabuk dan uang receh untuk kerokan. Jaga-jaga aja kalau sampai ditujuan “ambruk”.

Berhubung diriku mabok’an, otomatis siap dong dengan segala sesuatunya (mabok aja sombong!) saat ada janji sama orang imigrasi jam 9-10 pagi (siap-siap aja kalau diajak jalan-jalan keluar negeri, ngarep). Perjalanan ditempuh 3 jam (kelamaan ya?), tapi ya emang 3 jam, kalau kurang dari 3 jam berarti ngebut, buntut-buntutnya mabuk darat tak bisa dihindari dan perlengkapan yang dibawa kepakai semua, ya obat gosoknya, ya uang recehnya, ya bantalnya. Lemes, pucet dan dingin sekujur badan.

Rencana berangkat jam 6 pagi supaya perjalanan bisa agak santai. Tapi karena bawa anak-anak yang persiapannya lamaaaa akhirnya tertunda sampai jam 7 lebih, baru berangkat. Minum obat sebelum berangkat menjadi kewajiban kalau nggak mau ditengah jalan KO. Dan bener saja selama perjalanan aman saja malah bisa disambi ngerajut, lumayan dapet 4 bulatan (sombong karena nggak mabok). Mampir ngisi bensin dulu seratus ribu biar berangkat & pulang aman.

Sampai di kantor imigrasi, mbak Mega yang ngurusin paspor sudah mengantrikan untuk foto. Dapet no 32,33,34,35 dan yang barusan dipanggil no 26, lumayan tidak perlu menunggu lama lagi. Saat menunggu antrian suami mencandai bungsuku tapi dengan nada serius.

“Nanti kan dipanggil satu-satu nggak boleh ditemeni, nah nanti kalau ditanyain harus dijawab yang bener. Gini contohnya, namanya siapa? nama bapaknya siapa? tanggal lahirnya kapan? nggak boleh salah jawabnya, nggak boleh nangis”

“Iya dik, nanti juga ditanyain kenapa bikin paspor? trus NEMnya berapa?” kataku juga dengan serius.

“Ah, masak sih sampai ditanyain NEMnya?”

Akhirnya giliran kami dipanggil. Udah canggih lho sekarang ngurusnya. Fotonya sudah langsung jadi, diprint di berkas-berkas yang kudu ditanda tangani dan cap jarinya sudah nggak butuh tinta lagi. Katanya sih sudah sejak 2006. Wah ketinggalan jaman.

Selesailah mengurus dan tanda tangan di paspor, tinggal menunggu jadinya yang katanya dua hari lagi akan dikirim ke kantor suami. Giliran sekarang bayar ke agen yang ngurus paspor.

“Karena bapak yang bisnis nanti akan dibayar kantor, untuk ibu dan anak-anak per orangnya enam ratus lima puluh ribu”

Weit, mahal ya? meski sehari sebelumnya udah dikasih tahu suami masih saja berat membayar dua juta kurang lima puluh ribu. Apa ini memang udah harga patoknya ya?

Sulungku juga sedang mengurus paspor di Bandung dengan menggunakan agen travel, anehnya untuk setiap pelayanan beda harga, kalau yang sehari tujuh ratus ribu, yang tiga hari lima ratus ribu yang seminggu tiga ratus ribu. Karena nggak buru-buru dipakai, ya udah ngambil yang seminggu aja, ngirit. Perbedaan harga ini, uang apa ya? Uang percepatan ya?

Masih ada waktu tuk jalan-jalan sampai jam 3 sore, supaya sampai rumah tidak kemaleman. Seperti rencana sebelum berangkat. Anak-anak minta dibelikan sandal dan sepatu. Ya hayuk ke mall aja sekalian makan. Sebelum makan mampir dulu nyari film, belilah beberapa film dan habis tujuh puluh ribu. Hmm, pengeluaran tak terencana.

“Bakso komplit” pintaku karena liat gambarnya yang isi mangkuknya komplit

“Mie ayam jamur” kata bungsuku

“Kwe tiow goreng” kata anakku no 2

“Ifo mie” kata suami

Bagus.. bagus..! kalau pesennya beda, bisa saling comot. Minumnya ?

“Juice mangga” kataku

Mama ini, dimana-mana kok pesennya juice mangga. Hampir semua serempak mengomentari pesananku.

“Ya biar aja to, kesukaannya kan sendiri-sendiri. Nggak boleh ada yang minta lho ya..”

Akhirnya dimeja tersaji minuman juice mangga, juice melon, es capucino, teh anget, wedang kopi. Dalam sekejap selesailah acara makan dan giliran bayar. Didepan kasir aku merogoh dompet sambil menghitung-hitung berapa kira-kira habisnya?

“Seratus dua belas ribu bu” kata mbak kasirnya

Weitt, makan siang berempat kok ya lebih dari seratus ribu. Kami berjalan ke toko sepatu mencari sepatu sekolah dan kaos kakinya. Kumpulin nota dan giliranku lagi berdiri di depan kasir.

“tujuh ratus dua puluh lima bu”

Weitt, lembaran uang seratus ribuan terpaksa dikeluarkan dari dompet. Hik hik hik, kok banyak ya... Belum beli sandal lagi, habis berapa lagi ya? Suami menunggu di depan toko. Anak-anak memilih sandal, aku hanya mengamati. tidak ikut-ikut memilihkan, nanti kalau dipilihkan malah sampai rumah nggak kepakai karena nggak sesuai keinginan. Agak lama juga memilih sandal.

“Ayo, kalau memang nggak ada kita pindah ke toko yang lain” kataku saking lamanya menguplek-uplek deretan sandal yang nggak kepilih-pilih.

“Udah kok, lagi diambilin sebelahnya”

Udah cocok semua, giliranku lagi berdiri di kasir membayar tiga ratus enam belas sedang anak-anak menunggu sandalnya dibungkus.

“Mual perutku” kataku ke anak-anak

“Kenapa ma?”

“Mau muntah”

“Lhoh kok tiba-tiba mau muntah?”

“Iya, mau muntah karena ngeluarin duit yang segitu banyaknya seharian ini”

“Yeee, mama. Siapa yang nawarin beli sepatu”

“Iya, nggak apa-apa kalau memang diperlukan dan juga nggak setiap saat beli. Cuma ya hueekkk...! aja ngeluarin segitu banyaknya dalam sekejap”

Semua yang direncanakan untuk dibeli sudah didapat. Saatnya pulang, tapi mampir dulu ke masjid untuk sholat dhuhur dan ashar dijamak. Pilihan jatuh ke masjid pojok depan mall lembuswana karena searah mau pulang. Keadaan agak berantakan sih karena sedang renovasi salah satu gedungnya. Tapi untuk tempat wudlu masih aman.

Setelah selesai sholat, kembali semua naik ke mobil. Mesin mobil dihidupkan dan kata suami tiba-tiba,

“Sudah ini, mampir ke Lembuswana nggak?”

“Tidaaaakkk” kataku secepatnya sebelum didahului anak-anak dan sebelum aku bener-bener hueekk...!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar