30 Maret 2010

Hujan Sore Ini

Suara berisik yang tiba-tiba mendera atap rumah, membuyarkan konsentrasiku dalam membuat alas kursi dari rajutan benang. Kupandang sekilas keluar jendela dari tempatku duduk sambil mengerutkan alis mataku, mencoba mempertajam pandanganku untuk meyakinkan suara yang kudengar. Suaranya kian bergemuruh karena tetes-tetes air semakin jelas kulihat, kian besar dan kian rapat, apalagi sebagian atap rumah terbuat dari seng. Hujan! ini hari ketiga dari hujan sebelumnya yang setiap harinya berlangsung cukup lama. Suara berisik seolah beradu dari sekeliling penjuru diluar rumah, sangat jelas kudengar. Tetes air hujan yang jatuh ke daun-daun berpacu dengan tetes air hujan yang jatuh ke atap, seakan juga berlomba dengan tetes air hujan yang jatuh dari atap ke lantai dan gerojokan talang air di beberapa bagian rumah ini. Hujan sore ini melengkapi dinginnya udara yang sedari pagi mengiringi selaput awan menghalangi matahari.

Aku berdiri, berjalan kearah jendela besar yang menghadap pekarangan rumah bagian belakang. Segera kutarik kursi yang paling dekat dari berdiriku mengarahkannya ke jendela. Aku duduk di belakang jendela agak menyandarkan badanku ke kaca jendela. Tak henti-hentinya kuamati jatuhnya air dari atap ke saluran air dipinggir rumah. Walau baru saja berlangsung, tapi hujan kali ini memang sangat deras dan butir-butir airnya yang jatuh begitu kelihatan besarnya. Mungkin kalau saat ini berjalan di bawah hujan agak lumayan sakit bila terkena jatuhnya air dari langit. Namun..., meski hujan kali ini deras, tak membuat keadaan gelap. Langitnya masih terang sehingga pemandangan sekitar masih terlihat jelas. Jarak pandangku juga masih normal. Maka kutatap sekeliling sejauh kesanggupanku memandang.

Suasananya sangat sepi saat ini, hanya suara deras hujan yang mengguyur di jalan, di atas genting dan didaun-daun yang membuat bunyi-bunyian laksana untaian nada. Gemericik air dari atap rumah ke lantai menyuarakannya lebih keras, juga air talang yang menggerojok. Suara-suara itu seolah membuat shymponi air hujan yang sedang menemani arus jalan raya di depan rumah yang sepi, karena tak seorangpun pengendara melintas ataupun seorang pejalan kaki menapaki dinginnya aspal yang basah. Sepertinya sore ini tak ada yang berusaha menembus derasnya hujan seperti hari-hari sebelumnya. Mungkin karena hujan yang turun berturut-turut inilah yang membuat hujan hari ini begitu dingin sehingga orang-orang malas keluar rumah.

Aku beranjak dari dudukku, ingin mengamati hujan dari dekat. Kuambil payung dan melangkah keluar rumah. Desiran angin yang lumayan kencang langsung kurasakan saat membuka pintu, membuat kulitku merinding dan dinginnya cepat menjalar sampai ke seluruh tubuhku. Dengan berbekal sandal karet dan payung besarku, kunikmati tetesan hujan yang membuat suara berisik dipayungku. Aku terus berjalan pelan sampai keujung rumah dibatas anak tangga. Kuamati sekelilingku, kulihat dari ketinggian dimana aku berdiri saat ini. Air di parit depan rumah meluap sampai ke jalan karena paritnya tak sanggup menampung datangnya air dari berbagai arah pembuangan, padahal parit ini dalamnya setengah meter dan agak lebar. Airnya mengalir deras menuju hutan yang beberapa meter jaraknya dari rumah melewati pekarangan dan satu rumah tetangga dengan pekarangannya yang lumayan luas. Daun-daun, ranting dan beberapa benda mengambang terhanyut mengikuti aliran menuju hutan. Kemungkinan jika ada barang yang masih terpakai seperti sandal ikut terhanyut takkan terselamatkan lagi karena derasnya arus air. Tujuan parit kearah hutan hanya dibatasi pagar kawat yang kutahu pagar dibagian parit ini berlubang selebar paritnya.

Aku memutar tubuh meninggalkan anak tangga, kembali kearah rumah. Kali ini langkahku mengarah berjalan mengelilingi rumah. Kuamati pekarangan yang banyak kutanami pohon-pohon besar, seperti mangga, jambu, rambutan dan tanaman hias. Rumput-rumput yang tadinya terlihat hijau kini sebagian tertutup daun daun kering dan kuning yang berjatuhan dan beberapa buah yang sudah lumayan membesar juga jatuh berserakan, sepertinya tak kuat bertahan di rantingnya karena terpelanting saat angin berhembus kencang dan tak mampu menahan derasnya hujan. Kuamati halaman rumah tetangga dibelakang rumah yang kebetulan antara rumah kami tak berpagar. Keadaannya sama seperti pekaranganku. Pekarangannya yang luas dan ditanami rumput, sekarang dipenuhi daun-daun kering yang berguguran dan beberapa buah juga terlepas dari rantingnya tergeletak dirumput. Pasti dibeberapa pekarangan tetanggaku yang lain juga demikian keadaannya. Genangan-genangan air membuat danau-danau kecil di pekarangan rumah karena permukaan tanahnya yang tak rata. Biasanya genangan-genangan ini akan menjadi rumah katak setelah hujan reda. Dan nanti akan terdengar suara katak bersahut-sahutan memecah kesunyian.

Masih dengan berbekal payung besarku, kususuri jalanan kecil dipinggir rumah pelan-pelan, takut terpeleset. Sesekali kakiku kucelupkan digenangan air dan gerojogan air talang untuk membuang pasir diantara sandal karet dan telapak kakiku. Alhasil air hujan mengenai celana panjang yang kupakai. Betapa dinginnya air hujan ini. Apalagi sempat airnya menetes ke lenganku dan tetesan dari payung mengenai mukaku. Ditambah desiran angin menyibak rambut yang kugerai. Lengkap sudah dinginnya. Kini tanganku basah, kakiku basah, ujung celana panjangku juga basah, mukaku basah.

Bungsuku menyusul dibelakangku sambil bernyanyi-nyanyi, menggunakan payung kecil berbentuk kelinci. Senang sekali memainkan payungnya dengan sekali-kali membiarkan payungnya tak menutupi kepalanya, membuat kepalanya basah, bajunya juga basah dan melompat-lompat memainkan genangan air di lantai yang membuat kaki dan celana panjangnya basah selutut.
“Ssstt, jangan main-main... pakai yang bener payungnya” Dia mengamatiku dan memakai kembali payungnya dengan benar. Tapi dasar anak-anak, tetap saja kakinya dijulur-julurkan ke hujan dan tangannya menengadah keatas menampung air hujan. Dalam hati aku ingin tertawa melihat polahnya. Ini tak seberapa dibanding polahku waktu kecil. Tapi tetap saja kupasang muka tak membolehkan bermain hujan. Lalu keberi tanda kalau saatnya masuk rumah lagi. Sebenarnya dia agak keberatan untuk masuk, tapi apa daya tanganku dan jari telunjukku sudah kuacungkan. Ini tandanya perintah dan tak boleh dilanggar.
“Masuk...! dingin, besok sekolah” Masih dengan muka kuseram-seramkan supaya menurut. Meski berat akhirnya dipenuhi juga perintahku.

Kami berdua masuk ke rumah lagi dan mengganti dengan pakaian yang kering. Kemudian kami duduk di ruang tamu melanjutkan aktifitas yang terputus sebentar. Bungsuku kembali menikmati acara cartoon disneynya. Sedang aku kembali duduk dibelakang jendela menikmati tetes-tetes hujan yang masih deras. Anganku menembus ke masa silam berpuluh tahun semasa kecilku, seusia bungsuku saat ini.

Dulu..., hampir setiap hujan turun tak peduli siang atau sore hari, aku dan beberapa kerabat yang kebetulan tinggal berdekatan suka bermain hujan. Kami akan bergantian bermain di pancuran talang rumah seolah sedang mandi di air terjun pegunungan. Udara dan air dingin hujan tak menyurutkan langkah-langkah kami berkejar-kejaran. Diantara kami ada saja yang membawa sabun, shampoo. Kami main di pancuran dan memperagakan seolah sedang iklan sabun mandi atau shampoo seperti di tivi. Hahaha... dasar anak-anak. Jika kami bosan kami akan keluar halaman rumah berkeliling menembus jalan-jalan kampung. Ada yang memakai sandal, tapi ada juga yang telanjang kaki. Kenapa saat itu tak ada rasa takut terkena pecahan kaca atau paku yang terserak di jalan? Benar-benar besar nyali kami. Yang ada hanya canda tawa, bersenang-senang. Sesekali kami saling menyibakkan air kearah yang lain dengan kaki yang membuat baju kami tersiram air yang bercampur tanah. Kami akan berlari-lari lagi menikmati jatuhnya titik-titik air dari langit, kemudian mencari tempat membersihkan baju-baju kami dengan mengguyur badan kami di pancuran talang di setiap rumah yang kami temui. Air talang ini bersih atau kotor ya? Ah... rasanya kami tak memikirkannya waktu itu.

Jika hujan sangat lebat dan disertai angin maka kami akan langsung menuju rumah-rumah tetangga kami yang mempunyai pohon mangga, kedondong dan buah-buah lain. Mengharap ada mangga, kedondong dan buah-buah itu jatuh. Dan ketika benar benar ada yang jatuh, kami langsung berlari sekencang-kencangnya untuk mengambilnya. Siapa cepat dia yang dapat. Ah... kalau dipikir betapa bahayanya keadaan waktu itu. Berada dibawah pohon diwaktu hujan. Bagaimana kalau seandainya ada petir menyambar? Kenapa tak pernah terpikir bahaya yang mengancam diantara kebahagiaan kami waktu itu? Setelah berhasil mendapatkan kami akan berlarian pulang, mencuci mangga ataupun kedondong di gerojogan talang rumah. Kami memecah dengan membantingnya, sekali... dua kali... dan terbukalah buah mangga yang masih mentah. Kami membaginya dan kami makan bersama-sama. Lidah kami dan gigi kami tahan saja menikmati mangga mentah bersama kulitnya. Hmmm... benar-benar rakusnya kami waktu kecil. Kemudian kedondong yang kami dapat juga dipecah. Jika kami tak kuat membantingnya, kami akan menjepitkan ke pintu, dan krrrektt...!!! suara mangga dan kedondong tergencet pintu. Kami sama-sama menikmati. Kami akan bermain hujan lagi sampai terdengar suara teriakan dari dalam rumah, suara nenek atau mbok atau bulek atau paklek kami.
“Hayooo! sudah main hujannya”

Kamipun berlarian pulang kerumah masing-masing sambil menggigil kedinginan, kuamati jari-jariku sudah mengkerut dan pucat karena terlalu lama bermain air hujan. Aku dan adik-adik serta saudara kemudian mengantri di sumur dan kamar mandi untuk membilas badan kami yang mungkin kotor sekali setelah bermain hujan. Kami akan bergotong royong, bergantian menimba air sumur untuk memenuhi bak mandi. Guyuran air satu gayung mengenai tubuhku, air kamar mandi ini terasa hangat dibanding air hujan. Aku bisa berlama-lama menikmati air kamar mandi ini untuk berbilas, keramas sampai bersih. Tapi karena kami harus bergantian menggunakan kamar mandi, aku tak boleh lama-lama. Disamping itu air kamar mandi juga terbatas.

Setelah semua selesai kamipun masuk ke dalam rumah untuk mengganti dengan pakaian kering, badan kami masih terasa menggigil menahan dingin. Si mbok biasanya sudah menyiapkan beberapa gelas teh hangat di baki untuk kami sekeluarga, satu gelas untuk satu orang. Kami yang kedinginan akan dengan cepat menghabiskan gelas-gelas yang terisi teh di baki. Dan biasanya setelah bermain hujan kami akan kelaparan, si mbok yang tahu kebiasaan kami telah menyiapkan nasi goreng dan telur ceplok. Aku dan adik-adik akan segera menyerbu ke meja makan dan dalam waktu yang sangat cepat nasi goreng dan telur ceplok ludes. Perut kamipun kenyang. Benar-benar hari yang menyenangkan.

Suara geluduk dan kilatan cahaya yang mendahuluinya memecah anganku. Aku... diduniaku yang sekarang sedang menikmati tetes-tetes hujan yang deras dari balik jendela, dan bungsuku masih menikmati acara tivinya. Baru kusadari bahwa ruang tamu ini sudah semakin gelap, sudah saatnya menyalakan lampu. Gorden-gorden juga harus segera ditutup untuk menghindari pandangan dari arah luar. Kulihat sekali lagi kearah luar jendela, hujan masih sangat deras. Sepertinya hujan hari ini masih akan bertahan lama, entah kapan berhentinya. Mungkin bisa sampai besok pagi baru berhenti. Sebaiknya aku segera bangkit dari kursiku dan melanjutkan kegiatan yang tertunda beberapa saat. Sebentar lagi suamiku pulang dari kantor, pasti bajunya basah saat akan memasuki mobilnya dan pasti akan kedinginan dalam perjalanan pulang.
Sebaiknya aku segera membuat teh panas untuk menyambut kedatangannya dan menyiapkan makan malam. Sekali lagi komandoku untuk bungsuku,
“Dik, ayo tivinya selesai. Bantu mama nyiapin meja makan ya...!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar