28 Mei 2010

Riani yang terjebak

Riani mengangkat kepalanya yang sedari tadi menunduk, mencoba meyakini apa yang didengarnya. Dihadapannya duduk laki-laki setengah baya, orang yang dihormati dan dicintainya selain ayah dan ibunya. Berbicara pelan dengan pandangan penuh kasih sayang. Pakde Zaenal sedang melakonkan perannya sebagai penggati orang tua Riani yang saat ini tidak bisa hadir dalam pertemuan yang sangat penting. Riani duduk dalam kediaman, mendengarkan pakde Zaenal menyampaikan aduan Anggito (suaminya) beberapa hari yang lalu.

Sesekali Riani menarik nafas panjang dan melepaskannya, seolah berat sekali bebannya saat ini. Beberapa kali ingin sekali memotong ucapan pakde Zaenal. Tapi diurungkannya, Riani akhirnya memilih diam saja, sebentar-sebentar dia mengangguk. Entah apa arti anggukannya, mengertikah..? mengiyakankah? Setujukah? atau memaklumi apa yang disampaikan pakde Zaenal. Yang jelas pandangan Riani nampak tak bersemangat dan tak mau tahu apa yang diucapkan Pakde Zaenal. Didalam benaknya telah tertancap “aku ingin pisah”

Kenapa kamu minta pisah dengan suamimu? Apa yang salah? Apa tidak bisa diperbaiki lagi? Apa jalan akhirnya harus berpisah? Mestinya ini tidak perlu terjadi Riani. Jangan mengambil langkah dengan emosi. Pikirkan anak-anakmu. Apa kamu tidak kasihan sama mereka? Begitulah kira-kira yang ditangkap Riani dari ucapan pakde Zaenal.

“Angito sudah bercerita banyak. Menceritakan keadaan rumah tanggamu, juga perilakumu di rumah. Menceritakan sebab tidak harmonisnya rumah tanggamu sekarang ini. Sampai pada puncaknya, kamu minta pisah. Dia memang pernah berbuat salah, itu diakuinya. Tapi Riani, apa permintaan maaf Anggito tidak ada artinya? Apa penjelasan Anggito tidak bisa melunakkanmu?

Pakde Zaenal diam sesaat, menunggu reaksi Riani yang sedari tadi tak bergeming, mulutnya terkatup rapat. Riani memainkan ujung kerudungnya sambil matanya mencari-cari apa yang bisa menyejukkan pandangannya. Kemudian Pakde Zaenal berucap lagi..

“Apa kamu tidak takut dimurkai Allah? Ingat Riani, kamu dijodohkan dan dinikahkan dihadapan Allah. Apa benar kamu menginginkan perpisahan ini?”

Riani mengangkat kepalanya lagi, ditatapnya pakde Zaenal. Kegusaran dihatinya kentara sekali, antara ingin menyampaikan dan membela diri.

“Pakde sudah dengar ceritanya mas Anggito kan, jadi untuk apalagi pakde?”

“Riani, apa masalahmu? Anggito minta pakde untuk meyakinkanmu supaya tidak mengambil keputusan yang salah, keputusan berpisah. Nah, sekarang kuncinya di kamu Riani. Kalau kamu bilang tidak menginginkan pisah, maka perpisahan tidak akan terjadi”

“Yang pakde tidak habis mengerti kenapa kamu menginginkan perpisahan hanya karena ingin menikah dengan orang lain diatas balas dendammu. Betul itu yang kamu inginkan? Nyebut Riani, kamu tidak bisa menikah dengan orang yang hanya kamu kenal didunia maya seperti yang dibilang Anggito”

“Riani sudah capek pakde, Riani ingin berpisah. Bukan karena ada orang lain. Itu salah..! Riani cuma tidak ingin cerita.”

“Kalau kamu tidak cerita, bagaimana pakde bisa menyelesaikan masalah ini. Apa jawaban pakde sama Anggito nanti?”

“Sudahlah pakde, Riani hanya ingin pisah. Riani capek ditipu terus. Riani sudah memaafkannya, tapi apa yang terjadi? dia mengulanginya lagi dan mengulangi lagi. Ternyata bertahun-tahun Riani dibohongi, Riani sakit hati pakde”

Pakde Zaenal yang sedari tadi terkesan memojokkan Riani karena terpengaruh aduan Anggito mengerutkan alisnya, sambil wajahnya ditarik kedalam. Memadang Riani penuh tanda tanya. Kemudian mengatupkan kesepuluh jarinya dan menekan ke pertengahan alisnya. Nafasnya dihembuskannya dengan berat. Teramat berat. Dipandangi lagi wajah cantik Riani yang duduk didepannya. Keponakannya ini sedang dirundung duka yang mendalam. Pakde Zaenal kembali mengingat-ingat percakapannya dengan Anggito beberapa hari yang lalu. Anggito membuka sebagian cerita, meminta tolong menasehati istrinya. Tapi kenapa menutupi sebagian cerita lainnya.

“Riani hanya ingin berpisah. Riani sudah memikirkannya. Saat ini Riani sudah memaafkannya tapi tetep ingin pisah pakde”

“Apa tidak ada jalan lain Riani?”

Riani menggelengkan kepalanya. Pakde Zaenal kembali menghembuskan nafas panjangnya. Wajah sedihnya terpancar jelas, menyesalkan apa yang akan terjadi. Menyesalkan nasib keponakan dan anak-anaknya. Seburuk apakah Anggito?

“Riani, meskipun perceraian dibolehkan… tapi ini sangat dibenci Allah. Jangan sampai pakde ikut dibenci Allah karena menyetujui keputusan ini. Kamu mengerti Riani?”

Riani diam, menggigit bibirnya. Kepalanya kembali ditundukkan memandang petak-petak lantai. Hatinya bergemuruh, isi kepalanya terasa penuh.

“Bagaimana kalau pakde membantumu membuat kesepakatan dengan Anggito? Anggap saja ini jalan terakhir sebelum benar-benar terjadi perpisahan”

“Pakde mau tahu keadaan Riani saat ini?”

Pakde Zaenal menatap Riani dalam-dalam. Ditunggunya apa yang akan diucapkan Riani.

“Bulan ini Riani sudah tidak diberi uang. Kata mas Anggito, karena Riani sudah memutuskan untuk berpisah dan mas Anggito menyetujui berarti mas Anggito sudah tidak punya tanggung jawab menafkahi Riani”

Pakde Zaenal tersentak, seperti disambar petir saja rasanya walau Riani menyuarakan pelan. Sekarang ada yang menyumbal dikerongkongan pakde Zaenal, menelan ludahpun rasanya susah sekali. Tiba-tiba lidahnya serasa kaku. Pakde Zaenal tak berucap sepatahpun.

“Jadi sebenarnya tidak perlu lagi mediasi seperti ini pakde. Buang-buang waktu saja mengharapkan mas Anggito berubah, dia tidak akan berubah. Itu sudah sifatnya. Riani capek bersandiwara terus. Harus tersenyum padahal hati remuk pakde. Selalu menutupi kesalahan yang seolah tidak terjadi apa-apa. Banyak sekali masalah yang Riani hadapi dan ini sudah berlangsung lama, inilah puncaknya. Riani ingin pisah, pisah baik-baik. Jadi bohong kalau perpisahan ini karena keinginan Riani menikah dengan orang lain seperti yang diceritakan ke pakde. Bohong pakde. Tidak mungkinlah Riani menikah dengan orang yang tidak dikenal. Setelah perpisahan inipun Riani juga tidak siap untuk menikah secepatnya. Masih trauma pakde. Terlalu sakit pernikahan yang Riani jalani selama ini”

“Sebenarnya mas Anggito juga sudah tidak mau tidur sekamar dengan Riani, ini sudah berbulan-bulan sejak mas Anggito berkenalan dengan perempuan itu. Alasannya capek, sakit, pegel.. ah itu semua hanya alasan supaya mas Anggito bisa bebas menelepon, sms atau chating. Kenapa mas Anggito meminta pakde memediasi supaya tidak terjadi perpisahan ini. Aneh kalau mas Anggito berpikir Riani minta pisah hanya untuk menikah. Apa dia tidak sadar perlakuannya selama ini sama Riani?”

Pakde Zaenal tidak bisa berkata apa-apa. Tidak sesederhana ini rupanya. Dia pandangi Riani yang berurai air mata. Pakde Zaenalpun tak kuasa membendung anak sungai dipelupuk matanya.

Ruang tamu kini kembali sunyi, pakde Zaenal larut dengan pikirannya, apa yang akan dilakukannya setelah ini. Rianipun masih terisak menahan tangisnya. Kemudian pakde Zaenal berdiri dan mendekati Riani. Diletakkannya tangannya dipundak Riani. Ditatapnya wajah Riani dan dicium rambutnya.

“Kenapa tak kau ceritakan dari awal sebelum semuanya mengkristal Riani. Besok pakde akan bicara lagi dengan Anggito, berdoalah yang baik-baik Riani. Ingat..! perceraian sangat dibenci Allah. Kuatkan hatimu”

Pakde Zaenal kemudian berpamitan, dalam langkahnya terselip kepedihan. Apa yang akan disampaikan ke ibu Riani nanti.

**Keluarga sakinah bukanlah sebuah takdir, tapi sebuah pilihan. Untuk menggapainya harus berusaha dan punya keinginan. Rasa saling menghormati antara suami istri & mengerti akan hak dan kewajiban adalah syarat menggapai keluarga sakinah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar