5 November 2011

Tragedi Mina 8 Dzulhijjah 1417 H

Masih terekam dalam ingatanku, tentang peristiwa terbakarnya tenda-tenda jamaah haji di Mina bertahun-tahun silam, tepatnya tanggal 8 Dzulhijjah 1417 H atau 15 April 1997. Bukan karena aku mengoleksi lembar beritanya di koran atau punya rekaman videonya dari televisi, tapi karena aku turut mengalaminya waktu itu, karena aku turut dalam kepanikan bersama ribuan jamaah, ah... bukan ribuan, mungkin puluhan ribu atau mungkin ratusan ribu manusia yang berusaha menyelamatkan diri dari amukan si jago merah. Dada ini berdegup kencang, berlomba antara takut dan ingin menyelamatkan ihram kami, antara tangis dan segala harap, entah mana yang lebih dominan kala itu. Apakah semua seirama? Saling melengkapi?

Hari telah menjelang dhuhur waktu itu, kami serombongan dengan bendera jamaah haji dan umrah Hidayatullah dari Bontang dan Balikpapan telah sampai di Mina lebih awal dari jamaah kebanyakan karena kami mengambil napak tilas Rasulullah sebelum berangkat ke Arafah. Kami datang dengan mengendarai bus hingga kami diturunkan tepat disamping blok tenda kami. Kami menempati salah satu tenda yang lumayan besar yang disediakan pemerintah Arab Saudi di salah satu blok untuk Indonesia, cukup untuk seluruh rombongan jamaah kami. Ada papan nama diatas pintu gerbang masuknya menunjukkan peruntukan tenda yang ada, rencananya tenda ini akan kami tempati selama kami berada di Mina. Makanya saat kami sudah diperbolehkan mengatur barang bawaan ke dalam tenda, aku dan suami segera mengambil tempat di sudut dengan maksud supaya tak banyak dilewati orang yang lalu lalang. Kami atur sedemikian rupa tikar dan tas perbekalan selama di Mina sebagai pembatas bahwa inilah wilayah kami untuk tidur malam ini nanti. Semua jamaahpun melakukan hal yang sama. Sejauh mata memandang, yang terlihat hanyalah hamparan tenda putih berbaris-baris, entah ada berapa banyak jumlahnya dan semuanya berukuran besar tapi keadaannya masih banyak yang kosong karena memang jamaah lebih banyak masih berada di Mekah dan baru akan berangkat esok hari langsung menuju Arafah untuk wukuf. Malah dari sepenglihatan dan sepengetahuanku, dari blok dimana tenda kami berdiri, baru rombongan kamilah yang datang ke Mina.

Walaupun pemerintah Arab Saudi telah menyediakan tenda-tenda yang begitu banyaknya dan tertata rapi untuk setiap negara dan daerah asalnya, ternyata masih ada saja tenda-tenda terpancang di perbukitan, entah siapa penghuninya. Dengar-dengar katanya tenda-tenda yang ada dibukit itu dari jamaah yang datangnya sendiri-sendiri, maksudnya mereka bukan rombongan atau yang terorganisir seperti kami. Wah, tentunya butuh perjuangan yang sangat berat untuk melalui semuanya sendiri apalagi letaknya yang sulit dijangkau, pasti susah sekali mobilisasinya. Mungkin saja mereka penduduk setempat atau penduduk sekitar. Katanya sih keadaan seperti itu biasa saja, setiap tahun haji datang pasti ada saja yang mendirikan tenda di perbukitan.

Waktu semakin mendekati adzan dhuhur, kami segera diminta untuk mengambil wudhu dan akan melakukan shalat dhuhur berjamaah. Aku dan beberapa teman segera mencari air untuk wudhu. Entah kenapa kami waktu itu tak mengambil wudhu di kamar mandi yang disediakan pemerintah Arab Saudi, padahal jumlahnya cukup banyak. Apa karena airnya tidak mengalir ya? Ah... tak tahulah, lupa keadaannya waktu itu, yang jelas kami keluar dari blok tenda kami menuju blok lainnya dan mengambil wudhu. Itupun kami mengambil wudhunya dari seember air yang kami gayungkan. Masih ingat percakapan kami waktu kami wudhu bersama. Saat itu teman kami namanya Yuri mengomentari salah satu dari kami cara berwudhunya karena mengambil wudhu langsung dari ember.

“Nggak begitu caranya wudhu, kalau begitu kan airnya netes lagi ke ember” sambil dia mempraktekkan mengambil air dengan gayung lalu mengucurkannya dan yang lain mulai berwudhu.

Saat kami sedang dalam antrian wudhu, kulihat dari salah satu bukit yang ada di Mina, ada asap hitam mengepul dari arah balik bukit itu. Kalau bukit yang jaraknya begitu jauh dari kami berdiri saat ini, asapnya bisa terlihat dengan jelas, pasti ada apa-apa dibalik sana. Iya, sepertinya ada kebakaran dibalik bukit itu. Spontan terucap dari bibir ini “Kasihannya mereka, bagaimana keadaannya ya? Semoga mereka selamat”. Yah, sebatas itu saja yang kami lakukan, tak mungkin kami menaiki bukit yang jauh dan menolongnya. Lalu kami menyelesaikan wudhu, semua telah mendapatkan wudhunya sekarang. Kami segera kembali ke tenda bersiap-siap shalat dhuhur berjamaah karena adzan baru saja dikumandangkan dari tenda kami. Tapi baru saja kami masuk dan belum juga siap apa-apanya, tiba-tiba kami dikejutkan dengan suara dari luar gerbang blok tenda kami. Kami semua diminta keluar tenda secepatnya karena kebakaran sudah dekat dengan tempat kami. Ya Allah! Apa yang akan terjadi dengan kami semua, baru saja kami masuk tenda, baru saja kami lihat kepulan asapnya masih di balik bukit yang jaraknya sangat jauh dari tenda kami, sekarang sudah dekat dengan tenda kami. Kami akan mengungsi kemana? Disekitar kami hanyalah tenda-tenda kain yang kering, sebentar saja pasti terlalap api semuanya dan kami akan dikelillingi api. Api yang tinggi dan berkobar diiringi kepulan asap hitam yang akan menyesakkan pernafasan kami, bahkan mungkin bisa membakar paru-paru kami. Duh Gusti Allah..., kumohon pertolongamu, lindungilah kami semua dari cobaan ini. Kami semua panik, bingung, keluar-masuk tenda. Lalu kami dengar lagi teriakan “Selamatkan diri, tidak usah membawa apa-apa, apinya sudah dekat, tinggalkan saja barang-barangnya”. Kami semakin panik, sedekat apa sih api yang berkobar saat ini sampai kami tak diijinkan membawa barang-barang kami padahal perbekalan untuk wukuf dan selama di Mina ada disini semua.

Untuk membawanya sendiri jelas aku tak mampu karena tas tentengan ini berat jika membawanya harus sambil berlari, jelas-jelas aku tak kuat membawanya sendiri. Untuk mengurangi beratnya juga tak memungkinkan lagi karena kami memang harus secepatnya meninggalkan tenda. Yah... kalau memang harus ditinggal, ya apa boleh buat, diikhlaskan saja. Tapi tidak, suamiku bersikukuh membawanya, dua tas perbekalan harus dibawanya sedang yang lain boleh ditinggal. Ini bekal kami selama di Mina, harus dibawa yang lainnya bolehlah ditinggal. Satu tas ditentengnya di tangan satunya sedang tas lainnya kami tenteng berdua. Sambil berjalan cepat kami menenteng tas perbekalan keluar tenda.

Kami telah berada dijalur beraspal dimana kami diturunkan pertama kali sampai di perkemahan. Begitu banyak jamaah dalam kepanikan, berjalan ke kanan, kekiri, berlari-lari tak tahu arah yang dituju. Semua panik tak tahu harus kemana, semua bingung tak tahu harus menghubungi siapa. Tak ada alat komunikasi, hand phone waktu itu masih langka. Seingatku, dari kami serombongan hanya satu orang yang mempunyai hand phone saat itu, Pak Harry Sulistyadi yang selalu mengabarkan keadaan kami ke teman-teman di tanah air. Tapi kami tak tahu sekarang ini beliau ada dimana, kami benar-benar tak tahu apa yang harus kami kerjakan. Mengikuti arus kekiri ternyata salah, setelah diikuti ternyata dari arah berlawanan orang-orang berlarian dan berteriak jangan kesini, apinya sedang mengarah kemari, kamipun berbalik arah. Suara dentuman berkali-kali terdengar dari arah yang berbeda-beda. Salah satu sumber menyebutkan itu suara tabung gas yang meledak, api cepat menyebar karena tabung gas yang satu eledak mengakibatkan tabung gas yang lain meledak juga terkena imbasnya, meledak bergantianlah tabung-tabung yang dibawa penduduk untuk keperluan selama di Mina, api cepat sekali menjalar. Apa yang bisa kami lakukan sekarang?

Ya Allah, akan sampai kapan keadaan ini berlangsung dan apakah kami akan selamat dari kobaran api? Ya Allah, kami pasrah padamu, disekeliling kami... tenda-tenda dari berbagai arah telah terbakar, kami tak tahu lagi harus menyelamatkan diri kearah mana, segala penjuru telah terkepung api, kami tak bisa bergerak. Lalu aku dan suami duduk dipinggir jalan, dibatas jalan. Memperhatikan orang-orang yang panik dan lalu lalang, aku juga panik dan ketakutan tapi ikutan berlari-lari dan mondar-mandir tak tentu arah sangat menghabiskan tenaga karena kami tak tahu harus kemana. Baru ingat kalau kami tadi keluar tenda belum shalat dhuhur tapi kami akan shalat dimana. Situasi tak mengijinkan untuk shalat dengan sikap sempurna karena kami harus waspada dengan keadaan sekitar, jangan sampai kami malah tertabrak saat sedang mengerjakan shalat. Maka kami putuskan untuk shalat dengan posisi duduk seperti posisi shalat di kendaraan. Kami kerjakan dengan gerakan isyarat untuk semua gerakan shalatnya. Semoga Allah memaklumi keadaan shalat kami. Akhirnya usai sudah shalat kami walau dalam keadaan tertekan, kepanikan, dan ketakutan. Baru tersadar setelah mengucap salam, ternyata saat kami duduk dan mengerjakan shalat, kami duduk disebelah bangunan yang didalamnya ternyata travo yang sangat besar. Ya Allah, kalau saja tadi saat kami sedang shalat terjadi apa-apa dengan alat disebelah kami ini, entah apa yang terjadi dengan kami. Puji syukur kami panjatkan hanya pada-Mu ya Allah, Engkau masih menyelamatkan kami. Kami lalu beranjak menjauh dari peralatan listrik yang super besar itu.

Tiba-tiba jamaah berlarian sambil berteriak “Api... api...!” semua berlarian sekencang-kencangnya, kocar-kacir, aku dan suami juga. Kali ini aku dan suami menuju ke arah kanan, menuju tempat yang lebih tinggi kearah bukit, tapi kami harus melewati tenda-tenda, yah... mau gimana lagi , ini jalan satu-satunya menuju bukit. Padahal bila tenda ini satu terkena percikan api sedikit saja, ludeslah semuanya dan kami masih di dalamnya. Kami harus secepatnya menghindari tenda-tenda ini. Kami terus merangsek kedalam dan... ternyata buntu. Kami terjebak di diantara tenda-tenda, ternyata jalan yang kami tempuh bukan jalan umum, ini jalan pembatas antar tenda. Ya Allah..., api semakin dekat, selamatkan kami ya Allah....

Kami semakin panik, api semakin dekat, keringat mengucur semakin deras, jantung berdegup semakin kencang, nafas terengah-engah ketakutan, sambil bibir ini terus berdzikir, berucap pasrah penuh permohonan. Kalaulah sampai waktuku hari ini, matikanlah kami dalam khusnul khotimah ya Allah.... Suara takbir begitu riuh dari segala penjuru penuh kepasrahan. Kami tetap akan berusaha menyelamatkan diri tapi kami juga pasrah atas kehendak-Mu.

Suami terus mendobrak pembatas, yang lain ikutan membantu. Kami berlomba cepat-cepatan dengan api. Hayuk... duluan siapa sampainya. Tak mudah membuka pembatas sengnya, selain hanya menggunakan tangan kosong dan kaki, tentunya takut terluka terkena ujung seng atau paku yang terkuak tak sempurna. Buah dari hasil kerja keras dan pantang menyerahpun terlihat. Kini kami bisa melewatinya satu persatu, harus cepat melewatinya karena antriannya panjang. Semoga saja semua bisa selamat melewati pembatas yang sudah terbuka ini.

Tak sampai disini, kami harus menaiki bukit yang lumayan tinggi dengan berbagai rintangan. Batu besar menghalani perjalanan kami, kami harus menaikinya dengan susah payah dan yang lebih beratnya lagi karena kami masih membawa dua tas perbekalan yang lumayan berat.

“Ditinggal saja Pa tasnya!” kataku pasrah karena melihat suami yang kesulitan antara menyelamatkan diri dan menyelamatkan perbekalan sehingga jalannya kepayahan.

“Enggak, Insya Allah masih kuat” katanya penuh keyakinan.

Kami terus mendaki setinggi-tingginya, menghindari api sampai kami melihat tak ada sesuatu yang bisa memicu kebakaran disekeliling kami. Barulah setelah merasa aman kami berhenti. Tak tahu siapa saja yang ikut dengan kami, apakah akhirnya mereka menghentikan langkah apa malah meneruskan naik lebih tinggi lagi. Yang jelas setelah aku dan suami duduk, kami bertemu mbak Indri dan pak Mursito, teman satu biro perjalanan dan satu perusahaan. Dari atas bukit kami melihat sebegitu banyaknya tenda-tenda telah habis terbakar, termasuk tenda kami. Entah ada berapa orang yang terluka atau menjadi korban kebakaran dan entah nanti kami akan tidur dimana malam ini.

Matahari sudah mulai condong ke barat, apinya sudah padam, kebakaran sudah bisa diatasi. Setelah benar-benar merasa aman, kamipun turun dari bukit. Tak terkira tingginya bukit yang kami panjat, kok bisa-bisanya kami mendaki secepat itu. Yang lebih mengherankan lagi saat kami berpapasan dengan teman kami yang sudah tua dan berbadan sangat gemuk. Untuk jalan saja beliaunya kepayahan, lha ini kok bisa naik bukit yang begitu terjal dan sulit didaki. Tak bisa membayangkan bagaimana caranya naik. Subhanallah, Alhamdulillah... Inilah pertolongan Allah yang diberikan pada kami semua.

Kami telah sampai di bawah, tenda kami sudah tak ada. Dinas kebersihan bekerja keras membersihkan supaya bisa segera dipasang lagi tenda-tenda penggantinya. Tapi ini butuh waktu yang tak sebentar karena area yang terbakar sangat luas. Intinya malam ini kami tak punya tempat untuk tidur. Tak mungkin kami menempati tenda milik jamaah lain karena mereka akan memakainya nanti setelah dari Arafah dan kami juga tak diijinkan menempatinya. Terpaksalah malam ini kami tidur dijalanan. Tetap saja harus bersyukur, ternyata masih ada alas untuk kami tidur walau hanya tikar-tikar tipis. Inilah ujian ihram kami, apakah kami mampu melaluinya dengan sabar dan berjiwa besar karena dalam keadaan seperti ini tingkat emosi biasanya meninggi. Yah, jangan sampai kami bersitegang dengan sesama jamaah. Ya Allah, kami berlindung kepada-Mu jagalah ihram kami. Penuhilah hati kami untuk selalu berdzikir, sabar, pasrah kepada-Mu. Amin ya Rabbal ‘alamin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar