23 Juni 2010

Siapa menuai pahala ?

Sore itu. Suara televisi yang sedang dinyalakan tak terdengar jelas, sepertinya hanya sebagai teman saja agar suasananya tidak sepi. Ruangan berukuran 6x6 meter adalah ruang tamu yang sekaligus sebagai ruang keluarga. Rumah ini memang tidak mempunyai ruang tamu khusus, jadilah kegiatannya berbaur dari menerima tamu, menonton televisi, menjawab telepon, membaca koran, majalah, mengaji sampai belajar. Pandai-pandailah berbagi kesempatan. Jika tamu si Tuan datang, maka si Nyonya akan bertahan dikamar sampai tamu pulang. Nyonya hanya keluar sebatas membuatkan minuman untuk tamu dan kembali lagi kekamar. Begitu juga sebaliknya. Anak-anak juga bersikap sama, paling basa-basi sebentar, bersalaman lalu masuk kamar sampai tamu pulang. Seperti keong saja, kamarku adalah rumahku. Sesekali keluar melewati ruangan itu untuk memenuhi keperluannya.

Sore itu Miranda, nyonya rumah itu duduk dilantai sedang membuat bunga dari biji-biji yang beberapa hari ini dikumpulkannya. Ada beberapa tangkai telah selesai dibuat. Sesekali saja pandangannya beralih ke televisi dan sekeliling rumah untuk melemaskan otot lehernya yang sedari tadi menunduk memastikan jari-jarinya tak salah menyusun biji-biji itu menjadi sekuntum bunga. Kemudian menunduk lagi dan asyik lagi dengan kegiatannya. Selain sedang asyik dengan kegiatannya itu Miranda memang tak tertarik dengan acara televisi yang sedang tayang dan Miranda yakin disetiap saluran televisi yang akan digantinyapun akan menyiarkan berita yang sama. “Ah nggak kreatif, bikin berita kok sama!” Begitu kira-kira yang dipikirkannya. Jadi dibiarkannya televisi menyala dengan suara yang tak kentara dan tak ada pemirsanya. Apa mereka para pembuat berita tidak tahu kalau jam tayang mereka saat ini banyak anak-anak yang akan menyaksikan? Apa mereka tidak sadar apa yang akan ditanyakan anak-anak pada para orang tua yang tidak semua orang tua bisa menjawab dengan baik. “Ah, anak kecil nggak usah ikut-ikut”, “sudah-sudah, mama juga nggak tahu!”, “Ais, nggak penting itu” dan mungkin masih banyak lagi jawaban-jawaban yang bernada tak mendidik karena memang tidak tahu bagaimana menjawabnya.

Dalam keterasyikannya memasang kelopak-kelopak bunga, Miranda dikejutkan oleh sosok bayangan diluar jendela. Sosok laki-laki berjalan mengarah ke pintu. Tak jelas siapa orangnya karena jendela tertutup fitrase yang agak tebal. Miranda masih tak beranjak dari duduknya, dia hentikan kegiatannya. Miranda mengamati sambil mengerutkan alisnya, meyakinkan kemana bayangan laki-laki itu berjalan. Dalam hatinya berkata “mungkin hanya orang numpang lewat”. Maklum saja rumah dalam perumahan ini tak berpagar, jadi siapa saja bisa melintas tanpa permisi.

Tak berapa lama dari bayangan yang dia lihat tadi, bel pintu rumahnya berbunyi. Kali ini Miranda harus berdiri mendekati pintu dan mengintip dari jendela siapa yang datang. Alisnya berkerut lagi saat melihat dan mengenal orang yang sedang bertamu kerumahnya. Udin, si tukang kebun yang bekerja dirumahnya setiap hari Minggu pagi sampai sore yang sebulannya dibayar tiga ratus ribu rupiah dengan pakaian hariannya, maksudnya bukan pakaian dinas kerjanya. Berarti dia sudah pulang kerumah tadi. “Ada apa sore-sore datang kerumah? Mau meminjam uangkah dan yang nantinya akan diangsur dengan gaji bulanannya” Pikir Miranda. Miranda memutar anak kunci yang masih menempel di pintu dan membukanya agak lebar.

“Apa pak?” tanyanya

“Mau ngomong sebentar bu”

Dalam hati Miranda berucap “serius amat, butuh uang atau apa ya?”

“Mau minta tolong sama bapak, aku ini bu” jawab Udin dengan logat Sulawesinya. Ow, berarti bukan mau pinjam uang. Kalau hanya mau pinjam uang biasanya juga nggak melibatkan Gilang, suami Miranda. Cukup dengan Miranda saja bisa tertangani.

Miranda dan Udin duduk di kursi diteras rumah. Udin mulai menceritakan keadaannya.

“Aduh bu, pusing aku ini. Mau minta tolong sama bapak supaya saya bisa ikut motong rumput didalam”

“Lho.. bukannya pak Udin sudah kerja, udah habis kontraknya?”

“Itulah bu, sekarang ini hanya lebih satu juta saja gajiku, mau pindah saja aku bu”.

Maksud dari percakapan ini adalah Udin saat ini sudah bekerja sebagai pemotong rumput dengan gaji satu juta lebih, cuma tidak dijelaskan lebihnya berapa. Yang jelas kurang dari dua juta. Mana cukup menghidupi keluarganya.

“Nggak cukup nah bu dengan empat anak, mana empat-empatnya sekolah semua. Ini juga mau bayar untuk ajaran baru. Istri saya juga.. ah.., gajinya Cuma berapa bu, nggak cukup. Itu saja.. gaji saya habis untuk makan. Ah, pusing saya bu”

“Pak Udin, pak Gilang harus gimana? kan nggak bisa masukin orang semau sendiri. Pasti akan dimarah orang nanti”
Miranda benar-benar tidak tahu harus bagaimana.

“Orang-orang yang kerja itu semua ada yang bawa bu. Kontraktornya maunya ada jaminan orang dalam”

Udin terlihat pasrah dengan nasibnya, dan sangat berharap akan bantuan Gilang yang apakah nanti bisa mengusahakannya atau tidak. Miranda sendiri tidak yakin karena suaminya bukan tipe orang yang menitipkan orang atau memasukkan orang untuk bisa bekerja. Udin kembali menceritakan saat terjadi pengurangan tenaga kerja. Teman-temannya yang membawa sponsor orang dalam padahal kalau dilihat kerjanya juga tidak lebih baik dari dia tetap dipertahakan sehinga dapat dipekerjakan lagi saat ada kontrak baru. Udin tidak tahu apa kriteria yang dipakai untuk memilih mana yang dipertahankan, mana yang diberhentikan dan orang baru yang akan dipekerjakan. Padahal dari pengalaman dia lebih lama, lebih berpengalaman dan tidak berbuat macam-macam artinya dia orang yang rajin dan sunguh-sungguh dalam bekerja. Yang dia tahu hanya orang-orang ini titipan dari orang dalam.

Beberapa nama yang menjadi sponsor diabsennya. Nama-nama orang yang membawa teman-temannya untuk bisa masuk atau tetap dipertahankan menjadi pemotong rumput diperusahaan ini. Udin termasuk yang tereliminasi karena tak ada sponsor saat itu. Dia harus berjuang sendiri mempertahankan pekerjaan yang sudak dilakoninya puluhan tahun. Sekarang dibuang begitu saja tanpa pesangon.

“Begini saja pak Udin, pak Udin bikin surat lamaran saja. Nanti kasihkan bapak, supaya besok disampaikan ke yang mengurusi karyawan-karyawan ini. Siapa tahu nanti bisa membantu”

“Saya sudah bawa bu, saya tinggal disini ya bu?”

“Iya, nanti aku sampaikan ke bapak. Nanti malam pak Udin sini lagi, ngomong sendiri sama bapak biar jelas maksudnya”

“Jadi nanti malam saya kesini ya bu?”

Miranda mengiyakan diikuti pak Udin yang berpamitan dengan membawa segenggam harapan yaitu mudah-mudahan lamarannya bisa diterima, bisa bekerja lagi sebagai pemotong rumput dengan penghasilah lebih dari dua juta, bisa membiayai sekolah anak-anaknya tahun ajaran baru ini.

Miranda menutup kembali pintu rumah, meletakkan map warna kuning yang beiri surat lamaran pak Udin untuk bisa diperkerjakan lagi sebagai pemotong rumput. Mudah-mudahan nasib baik menyertai pak Udin, harap Miranda dalam hati.

Serasa baru sebentar Miranda duduk bersama Gilang diruang keluarga membicarakan kedatangan pak Udin tadi sore. Kini bel pintu sudah berbunyi lagi. Miranda yakin ini pak Udin. Gilang segera membuka pintu setelah mengintip dari balik jendela dan melihat pak Udin yang datang. Beberapa saat mereka berdua berbincang-bindang, agak lirih suaranya. Miranda yang duduk di kursi tamu sedang merenda tak bisa mendengar jelas. Tapi Miranda tahu maksud kedatangan pak Udin, seperti tadi sore. Membicarakan surat lamaran yang ditipkan ke Miranda.

Tak perlu lama-lama untuk membicarakan. Pak Udin segera undur diri masih dengan harapan yang membulat. Gilang meletakkan map itu diatas meja pojok ruangan.

”Terus gimana Pa?” tanya Miranda penasaran apa yang akan dilakukan suaminya besok.

”Yah.. nanti diserahkan saja sama yang mengurus kerjaan ini. Mudah-mudahan saja bisa dimasukkan kalau memang dibutuhkan”

”Ke siapa Pa?” tanya Miranda lagi.

”Ke pimpinannya, dia kan yang butuh enggaknya karyawan”

Haripun berganti, surat lamaran titipan pak Udin sudah diserahkan ke pimpinan proyek. Sekarang tinggal menunggu hasil apakah akan ada panggilan atau tidak. Gilang sendiri tidak yakin ada tidaknya lowongan. Gilang hanya menyerahkan dan tidak menanyakan lagi, semua akan diproses sesuai aturan perusahaan. Gilang tidak bisa memaksakan kehendaknya. Gilang tidak punya hak. Walau pak Udin adalah tukang kebun yang bekerja dirumahnya, Gilang tak bisa berbuat banyak. Gilang tak bisa bermain belakang, itu dosa, semua sesuai prosedur. Kalau memang rezeki ya pasti dipanggil. Itulah Gilang.

Seminggu berlalu dari penyerahan lamaran kerja titipan pak Udin. Belum ada tanda-tanda atau kabar surat lamaran kerja pak Udin. Diterima apa tidak ya? Pikir Miranda.

Seperti nyambung saja, pak Udin sudah berdiri didepan pntu rumanya setelah Gilang membukakan pintu mendengar bel pintunya berbunyi. Pak Udin dipersilahkan masuk. Gilang mengambil tempat untuk berbincang didepan pintu masuk. Mereka berdua membicarakan dengan lirih, hampir tak terdengar. Lebih kenceng suara televisi yang sedang dinyalakan. Miranda sendiri sedang asyik didepan komputer mengolah kalimat, sedang membuat cerita dan bungsunya duduk didepannya menikmati acara televisi.

”Ma, coba nomor telepon pak Jupri”

“2596” jawab Miranda singkat setelah melihat di intranet.

Gilang segera menekan angka yang dituju, tak ada yang mengangkat. Dicobanya beberapa kali, tak juga ada yang mengangkat.

“Ma, coba nomor telepon pak Sentot”

“3432” jawab Miranda lagi setelah melihat di intranet

Gilang segera menekan angka yang dituju, tak ada yang mengangkat. Beberapa kali dicobanya menghubungi, tapi tak ada hasil.

“Ma, coba nomor telepon pak Joko”

Sekali lagi jari-jari Miranda menekan intranet mencari nomor telepon pak joko dan menemukannya.

“2667”

Sekali lagi Gilang menekan angka yang dituju, mudah-mudahan kali ini berhasil, harapnya. Tak ada yang mengangkat.

“Pada cuti mungkin Pa” kata Miranda

“Eggak, aku tadi lihat dikantor kok”

Tak putus asa Gilang menekan angka 2667 dan akhirnya tersambung juga.

Pembicaraan berlangsung antara Gilang dan pak Joko beberapa menit. Teleponpun kemudian diakhiri. Gilang kembali berbincang-bincang dengan pak Udin. Entah apa yang dibicarakan sekarang. Dan setelah itu pak Udin mohon diri. Gilang melanjutkan aktifitasnya membaca koran yang tertunda dan Miranda masih asyik dengan komputernya, menekan tuts membuat huruf-huruf menjadi kalimat yang menarik. HP Miranda berbunyi tanda sms masuk. Miranda segera membacanya.

“Pak, saya sudah ke rumahnya pak Sentot. Pintu pagarnya digembok, sepertinya orangnya cuti Pak”

Miranda segera menyampaikan isi sms pak Udin ke Gilang. Pak Udin hanya tahu nomor Miranda makanya untuk menghubungi Gilang hanya bisa melalui Miranda.

”Emang kenapa pak Udinnya kok kerumah pak Sentot?” tanya Miranda ingin tahu perkembangannya.

”Mau dijawab apa ini?” tanya Miranda lagi.

”Nggak usah dijawab, pak Udin hanya memberitahu saja kok”

”Terus gimana akhirnya?”

”Yah, kata pak Joko tadi, ditempatnya tidak menambah karyawan lagi”

Inilah akhir perjalanan lamaran kerja yang dibuat pak Udin beberapa waktu lalu. Allah memang belum membukakan rezeki yang lebih untuk pak Udin. Mungkin inilah yang terbaik untuk pak Udin dan orang-orang disekeliling pak Udin, seperti Miranda dan Gilang sebagai orang terdekatnya. Karena pak Udin adalah tukang kebunnya. Pak Yanto dan istrinya yang mempekerjakan istri pak Udin sebagai tukang bersih-bersih rumahnya. Bagaimana Miranda, Gilang, pak Yanto dan istrinya menyikapi keadaan seperti ini. Akankah hatinya tergerak sedikit untuk membantu meringankan beban pak Udin yang sekarang kebingungan membiayai keempat anaknya yang bersamaan harus membayar uang sekolahnya?

**Dibalik kesulitan seseorang, pasti Allah memberikan jalan keluarnya.
**Dibalik kesulitan seseorang, ada bergelimang pahala. Siapa yang akan menuainya?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar