29 Oktober 2010

iya kan?


Siapa yang tidak suka main tebak-tebakan? Yang jawabannya bisa benar-benar jawaban, bisa suka-suka, malah kadang asal-asalan dan diplesetin. Rasanya hampir semua menyukainya, terlebih anak-anak. Sampai-sampai bungsuku punya koleksi buku khusus teka-teki atau tabak-tebakan. Kalau sedang membaca, dianya akan senyum-senyum, ketawa, bahkan terpingkal-pingkal.

Tebak-tebakan bisa jadi alat komunikasi yang menyenangkan, yang tadinya sepi bisa jadi riuh dengan gelak tawa, saling mempertahankan jawaban dan menjadi akrab. Bungsuku, dengan koleksi buku tebakannya, dia akan berusaha menghafal beberapa tebakan yang menarik menurutnya dan nanti akan dilemparkan ke teman-temannya atau ke siapa saja yang dia mau.

Dia akan senang sekali jika ternyata tebakan yang dilemparkan tak bisa dijawab, sambil menunggu semua berpikir dia akan senyam-senyum,

“hayo apa.. hayo apa?”

“apa ya?”

“udah.. nggak bisa jawab? Nyerah?”

“iya nyerah”

Kalau udah begini dia akan memberikan jawabannya, kemudian akan dilanjutkan tebakan berikutnya dan akhirnya saling memberi tebakan. Kadang karena saling mempertahankan jawaban, suasana menjadi gaduh, penuh gelak tawa dan mencoba mencari dukungan yang lain kalau jawabannya yang benar.

Ada satu cerita semasa kecil, sama seperti bungsuku juga, main tebak-tebakan. Kali ini dengan bapak yang kusayangi. Tiap kali bapak memberi tebakan, kami berusaha mencari jawaban. Tiap kali jawaban diberikan, bapak bilang “salah”. Haduh… kami terus mencari-cari jawaban dan akhirnya kamipun menyerah, bapak memberikan jawabannya.

Tapi, karena seringnya main tebak-tebakan ini, kamipun jadi ingat jawabannya dan tiap kali memainkannya kamipun bisa menjawab. Tebak-tebakan berkembang terus, ada saja yang jadi bahannya.

Kemudian giliran bapak yang diberi tebakan, kami senyum-senyum karena bapak sepertinya akan menyerah, tapi tetap berusaha menjawab. Karena bapak belum pernah mendengar tebakannya jadi bapak kesulitan menjawab.

“hayo apa?”

“sebentar ya?”

“hayo apa, cepet… apa? Nyerah ya?”

“ya sebentar dong, nah.. tahu aku jawabannya… pasti FIUNG..”

“apa itu fiung ?

“fiung itu ya fiung”

“Apa…. Nggak ada jawaban fiung”

“ada.. fiung itu ya jawabanmu itu, hayo jawabanmu apa? Ya.. itu fiung”

“ah… nggak mutu!”

Kamipun memainkan tebakan lagi, tak bosan memainkannya… lagi-lagi kalau bapak nggak bisa menjawab pasti jawabannya “fiung”

Pernah kata “fiung” ini kuberikan ke bungsuku untuk menjawab tebakannya, dan apa komentar dari bungsuku?

“ah… nggak mutu!”

Yeeee…. Sama !

Tidak ada komentar:

Posting Komentar