12 Mei 2009

Aku Resmi Menjadi Istrinya

“Apa?, siraman?” tanya tante, om dan kakek-nenekku, sepertinya tidak setuju kalau acara pernikahanku harus diawali dengan acara siraman.
”Apa itu, nggak usah pake siraman kan juga nggak apa-apa”
Bapak dan Ibu kemudian meluruskan dan menjelaskan pada semua.

Bapak, Ibu dan semua keluarga besar memang tidak biasa menganut acara adat. Yah, ini yang kemudian dijelaskan Bapak dan Ibu, kalau acara siraman ini hanya sebatas untuk mempercantik gambar di video saja. Jadi tidak ada maksud apa-apa, tidak ada keyakinan apa-apa. Akhirnya mereka mau mengerti juga. Makanya untuk itu persiapan acara siramanpun juga hanya biasa-biasa saja.

Pagi ini seluruh keluarga sibuk mempersiapkan acara siraman yang rencananya akan dilaksanakan jam 10.00 wib. Mulai dari gentong untuk tempat air siraman, bunga taburan untuk siraman, mangkuk untuk tempat guntingan rambutku setelah siraman dan yang utama petugas sorot video.

Periasku “bu Bei” sudah datang, dengan cekatan mempersiapkan peralatan riasnya di kamar yang sudah dihias apik oleh Om dan tanteku. Bunga anggrek dan sedap malan berjejer rapi dipinggir tembok. Diatas meja, satu rangkaian kecil bunga anggrek dendrobium dipadu dengan anggrek kala, menambah cantik ruangan. Beberapa orang yang telah ditunjuk sebagai sesepuh untuk acara siraman segera dihubungi Bapak supaya cepat datang agar acara siraman bisa secepatnya dimulai.

Aku sendiri masih mondar-mandir mempersiapkan beberapa barang kebutuhan siraman. Seperti kain yang akan kupakai pada waktu siraman dan kain setelah acara siraman. Karena aku kurang sreg dengan kain yang sudah tersedia. Kucari di kamar Ibu dan akhirnya kutemukan juga kain di lemari Ibu, kain jumputan warna kuning kombinasi ungu. Ini akan kukenakan untuk siramannya. Dan kain jumputan warna oranye akan kukenakan setelah siraman atau waktu rias nanti.

Semua akhirnya siap, aku menuju ke kamar dan siap untuk dirias. Riasan sederhana saja, tipis-tipis, supaya nanti setelah siraman gampang untuk riasan selanjutnya. Kemudian rambutku hanya diurai, dijepit diatas telinga. Kain warna kuning campur ungu dililitkan ke tubuhku. Disimpul di kanan kiri, dipeniti dibagian belakang, akhirnya pas sekali menempel mengikuti lekuk tubuhku.

Riasan sudah selesai. Bapak, Ibu dan Nenek duduk di kursi beludru yang sudah disiapkan, segera aku dipandu penata riasku untuk sungkem, memohon doa restu Bapak, Ibu dan Nenek. Setelah itu Bapak dan Ibu menuntunku ke tempat siraman. Aku didudukkan di tempat yang sudah disediakan. Para sesepuh sudah berkumpul disekelilingku juga para kerabat.

Acara siraman berlangsung cepat. Dimulai dari Nenek, kemudian Budhe, lalu Tante, yang terakhir Bapak dan Ibu bersamaan. Aku kembali dituntun ke kamar untuk dirias. Sebelum merias, rambut bagian belakangku dipotong dan potongan rambut diletakkan di mangkuk yang berisi air. Perias meminta Bapak dan ibu untuk melarungkannya. Dengan disorot kamera video Bapak dan Ibu berjalan keluar rumah membawa mangkuk yang berisi potongan rambutku. Lalu membuangnya di parit depan rumah.

Bu Bei lalu mengeringkan rambutku, sambil rambutku di asapi dengan bakaran ratus, supaya harum. Bau ratus yang khas, selain mengharumkan rambutku juga mengharumkan seluruh ruangan kamarku. Kemudian setelah rambutku kering benar, aku mulai dirias model Jawa. Bagian dahi diberi ukiran rambut. Kalau orang Jawa bilang dipaesi. Rambutku kemudian disanggul. Setelah itu kukenakan baju kebaya warna merah bersama kain panjang sogan. Sebagai pelengkap aku mengenakan selop dan Ibu memakaikan gelang, kalung cincin dan giwang.

Adzan Dhuhur berkumandang. Sholat dhuhurpun dilangsungkan di masjid yang masih satu halaman dengan rumahku. Setelah selesai, keluarga dan para kerabat mulai mempersiapkan masjid untuk acara pernikahanku. Meja untuk menikah sudah siap, sound system juga sudah siap. Kini tinggal petugas dari KUA, pembaca Qur’an, Mubaligh, para saksi dan tentunya calon pengantin laki-laki dan rombongan keluarga.

Para tamu sudah mulai hadir, aku masih berada di kamar. Hanya ditemani periasku. Kutunggu kapan waktunya tiba. Setelah beberapa saat, tanteku masuk dan membimbingku menuju masjid. Kemudian aku didudukkan berdampingan dengan calon suamiku.

Apa iya aku akan menikah hari ini? Bagai mimpi rasanya. Batin dan pikiran ini masih tidak percaya, padahal Jelas-jelas sekarang ini aku duduk berdampingan dengan calon suami dihadapan Bapak, Petugas KUA dan para saksi serta keluarga besar dari kedua fihak dan para undangan. Aku duduk dengan perasaan dag dig dug. Berkali-kali kutarik nafas panjang untuk menguasai emosiku dan menyebut nama-Mu, Tahlil, Tahmid dan Takbir kuucap terus untuk menenangkanku. Apa calon suamiku juga merasakan hal yang sama seperti aku? Sama deg-degannya, sama-sama seperti dalam mimpi?

Setelah semua siap, petugas KUA mulai menanyakan ulang identitas kami, apa sudah sesuai dengan yang ditulis di buku nikah. Alhamdulillah semua yang tercatat di buku nikah sudah benar. Maka acara akad nikah bisa segera dilangsungkan. Ijab kabul dengan bahasa arap meluncur dengan lancar dan benar. Kemudian para saksi menyatakan sah. Wow! Kami telah sah menjadi suami istri. Benar-benar menakjubkan. Buku nikah sudah ditangan, sekarang suamiku menyerahkan mas kawin yang berupa Qur’an dan seperangkat alat sholat. Kuterima mas kawinnya dan kucium tangannya, dibalasnya aku dengan ciuman di pipiku. Duh! Benar-benar seperti mimpi. Laki-laki yang tadi duduk disebelahku, masih sebagai orang asing, kini adalah suamiku. Aku sekarang sudah resmi menjadi istrinya. Allahu Akbar!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar