12 Mei 2009

Sembilan Bulan Kemudian Kau Hadir Sayang

Ramadhan pertama yang kujalani kali ini, tepat dua bulan setelah aku resmi menjadi seorang istri. Waktu itu pesta pernikahan dan resepsi dilaksanakan di kediaman orang tuaku di Solo pada bulan Februari 1988, lalu seminggu kemudian keluarga suami mengadakan syukuran atas pernikahan kami. Istilahnya ngunduh mantu. Kemudian, seminggunya lagi aku diboyong suami keluar Jawa, di Kalimantan Timur, tepatnya di Bontang. Kota kecil, yang baru kudengar. Mungkin tidak semua peta Indonesia menampilkannya.

Kami berdua tinggal di rumah panggung yang disediakan perusahaan untuk karyawan. Meskipun rumah panggung, tapi fasilitas yang ada melebihi yang kuperkirakan. Rumah ini terdiri dari 3 kamar tidur, 2 kamar mandi lengkap dengan air panas dan dingin, ruang makan, ruang tamu, dapur dan gudang. AC disetiap ruang. Bahkan di dapurpun ada. Mesin cuci beserta pengeringnya, benar-benar kering, jadi tidak usah dijemur diterik matahari. Tinggal menyeterikanya saja.

Kami jalani ramadhan ini berdua, kami makan sahur berdua dan buka puasa berdua. Tapi, makan sahur kali ini, kenapa suapanku tak mau kutelan. Aku ingat betul waktu itu. Suapanku terasa hambar. Lidahku dan kerongkonganku tak enak lagi untuk dimasuki makanan. Hanya dua suapan yang mampu kutelan dan sisanya harus menjadi penghuni sampahku. Kujalani puasaku satu hari dengan bekal sahur dua suapan dan teh manis. Mudah-mudahan kuat menjalaninya. Akhirnya sampai beduk buka puasa dikumandangkan, kami menikmati makan bersama. Aku sempat memasaknya sendiri.

Saat makan sahur untuk puasa keesokan harinya lagi, dan makanan sudah tersaji di meja makan. Kami berdua siap menikmatinya, mengisi tenaga untuk puasa. Baru saja mau kusuapkan makanan kemulutku, aku sudah mau muntah. Perutku rasanya mual sekali. Seperti mabok darat. Satu suappun tak bisa. Akhirnya aku tidak jadi makan sahur.
”Kenapa Ma?” tanya suamiku waktu itu.
”Nggak tahu”
Setelah kuhitung-hitung, aku terlambat haid. Mestinya sudah kudapatkan dua hari yang lalu. Ya benar, aku terlambat dua hari. Apa ini tandanya hamil ya? Aku tidak tahu, aku belum yakin.

Keesokan paginya kami pergi ke Rumah Sakit perusahaan untuk memeriksakan keadaanku. Apa benar aku hamil, apa benar kami sudah akan diberi amanat dari Allah. Ditemani suami aku mendaftarkan ke receptionis. Kemudian menunggu di depan ruang pemeriksaan sebelum dipanggil masuk. Rasa mau muntah masih terasa. Akhirnya setelah beberapa saat menunggu, namaku dipanggil. Kumasuki ruang periksa, seorang perawat menanyakan apa keluhanku. Lalu kujelaskan apa yang kualami dua hari ini. Perawat kemudian menanyakan kapan haidku terakhir dan menyuruhku memeriksakan air kencingku. Kuturuti permintaannya dan kutunggu lagi hasilnya.

Masih ditemani suamiku di ruang tunggu ini, perasaanku gelisah. Apa hasilnya nanti. Kemudian namaku dipanggil lagi. Kami berdua masuk keruang periksa. Dari pemeriksaan lab telah diperoleh hasilnya. Dan aku dinyatakan positif hamil. Kabar gembira ini seperti menyiram kegelisahanku selama menunggu tadi. Tak bisa kubayangkan perasaanku waktu itu. Kemudian aku diberi beberapa vitamin dan obat penahan muntah. ”Harus dimakan setiap hari ya Bu...”. Pesan perawat itu supaya bayi yang kukandung sehat. Kemudian aku diterangkan bahwa menurut perhitungan, aku akan melahirkan tanggal 17 Desember 1988. Perawat juga berpesan padaku supaya rajin memeriksakan kandungan setiap bulan. Ya, pasti akan kupenuhi jadwal control kandungan.

Beginilah rasanya hamil muda. Tak bisa menikmati makanan, mencium baunya saja sudah mau muntah, tak bisa menikmati harumnya perfume, tak bisa jalan-jalan, karena jalan sedikit saja hanya beberapa meter sudah tidak kuat, sudah lemas. Untuk mandi saja aku harus punya persediaan sabun dan odol dari berbagai merk. Karena setiap kali mandi aroma harus ganti. Kalau sampai sama pasti akan muntah. Baru bisa kupakai lagi setelah beberapa hari kemudian. Ah, betapa beratnya ngidamku.

Bulan berganti bulan, muntah masih saja jadi langganan. Kalau ingat makanan yang bisa kutelan dan bertahan di perut hanya nasi goreng yang pedas sekali. Bumbunya hanya bawang putih dan cabe kecil saja. Yah, bagaimana lagi, dari pada tidak makan. Tapi keadaan lama-lama berubah. Kondisiku sudah semakin kuat, meski masih muntah tapi masih agak bisa kutekan. Jagi aku bisa mengkonsumsi makanan-makanan lain yang lebih bergizi.

Akhirnya menginjak usia tujuh bulan kandunganku. Sudah besar perutku. Kalau tepat perhitungan khamilanku, berarti tinggal dua bulan lebih sedikit aku akan melahirkan anak pertama. Saatnya sebentar lagi menghadapi persalinan. Yang kupikirkan sekarang aku akan melahirkan dimana ya? Di Bontang yang jauh dari orang tua, jauh dari keluarga apa di Solo dekat Ibu. Apa yang bisa kulakukan setelah anakku lahir nanti? Meskipun sudah membaca buku, tapi tetap saja rasa takut dan khawatir. Tidak tahu bagaimana menghadapi bayi mungil, tidak tahu menggendongnya, menyusuinya. Tidak tahu bagaimana mengurusnya nanti. Maka keputusan kami adalah aku melahirkan di Solo saja. Ada Ibu yang siap membantu dan mengajariku.

Aku telah kembali ke rumah Ibu untuk melahirkan. Dengan harapan ada yang mengajariku mengurusi bayi dan merawatnya. Bersama suami, kamipun menyiapkan semua perlengkapan menyambut bayiku, dari baju bayi, popok, gurita, minyak telon, bedak, kaos tangan, kaos kaki, kereta dorong, box bayi, dan masih banyak lagi. Juga kusiapkan satu tas berisi keperluanku saat kelahiran tiba. Setelah semua beres suamiku harus kembali lagi ke Bontang dan aku tetap tinggal di Solo. “Maaf, untuk sementara aku tidak bisa menemani”. Aku harus mempersiapkan diri menghadapi kelahiran nanti.

Kandunganku semakin kuat, perutku semakin besar, nafsu makanku juga sudah baik dan rasa muntah itu tak kurasaan lagi. Akhirnya untuk mengisi kekosongan waktu, aku mencari les menjahit. Aku sudah bisa pergi sendiri, tanpa ditemani. Bahkan aku sudah bisa menyetir mobil sendiri tanpa takut muntah lagi. Akhirnya hari-hari luangku kugunakan untuk pergi ke tempat kursus menjahit.

Tanggal 1 Desember 1988, ada kesempatan suami ke Solo. Waktu itu sebetulnya suami habis dinas Jakarta bersama teman dan ketika selesai dinas teman ini beli mobil dan akan dibawa ke Surabaya. Akhirnya bersama suamiku, mereka berdua mengendarai mobil dari Jakarta. Dan suami berhenti di Solo sedang teman melanjutkan perjalanan ke Surabaya. Tapi sebelumnya kami mencarikan oleh-oleh khas Solo untuk istrinya. Ada rasikan, ada geti, ada brem yang kami beli. Setelah sore kami kembali lagi kerumah. Dan teman berpamitan untuk melanjutkan perjalanannya ke Surabaya.

Kira-kira jam sepuluh malam. Suamiku sepertinya terkena masuk angin. Mungkin karena perjalanan darat dari Jakarta ke Solo. Kemudian minta diblonyoi minyak kayu putih. Setelah selesai. Kenapa sekarang gentian aku yang kelihatannya masuk angin. Kemudian akupun minta diblonyoi juga. Kurasakan perutku kembung, mulas. Aku segera ke kamar kecil. Apa yang kulihat ketika kubuka celana. Ada lendir berwarna merah muda. Aku ketakutan, aku keluar lagi dan kuberitahu ke suami apa yang barusan terjadi. Suami juga bingung.
“Bilang ke Ibu aja, kenapa kok begini”
Aku segera ke kamar Ibu, kulihat Ibu sudah tidur dan Bapak masih terjaga. Kuberitahu Bapak. Kata Bapak waktu itu menenangkanku.
“Nggak apa-apa, wis sekarang siap-siap aja ke rumah sakit, kayaknya udah waktunya ini”
Kemudian Bapak membangunkan Ibu, Kudengar samar-samar waktu aku meninggalkan kamar beliau.
“Bu, Bu, itu kelihatannya Eni mau melahirkan. Ayo siap-siap Bu, udah ada tandanya tadi”
”Nggak usah buru-buru, nanti saja jam satu ke rumah sakit” kata Ibu menenangkan Bapak juga.

Jam satu malam, Aku dan suami diantar Bapak dan Ibu berangkat ke rumah sakit. Untung sudah kupersiapkan segala sesuatunya yang harus dibawa. Tas berisi perelngkapanku dan perlengkapan bayi sudah siap, tinggal diangkat saja. Kalau diingat perkataan perawat yang memeriksaku pertama kali, seharusnya aku melahirkan masih tanggal 17 Desember nanti. Lha sekarang masih tanggal 2 Desember jam satu dini hari. Berarti 15 hari lebih cepat.

Sampai di rumah sakit aku segera dibawa ke ruang persalinan, aku diperiksa perawat yang sedang jaga. Suami minta dipanggilkan dokter yang selama ini merawat kehamilanku. Perawat yang satunya kemudian memanggil dokterku. Sedang perawat yang satu menjagaku dan menenangkanku. Beberapa saat dokter kandunganku datang. Aku segera diperiksa. Lalu katanya.
“Ndak apa-apa Bu, masih lama, ini masih pembukaan dua”
Jam demi jam terlewati, perutku sekamin mules. Rasanya seperti mau buang air besar. Ini yang dinamakan kontraksi. Setiap kontraksi itu datang dan suamiku pas ada disamping, dia merasa tidak sampai hati. Kemudian dia keluar ruangan lagi.

Pagipun tiba, kata suamiku sudah jam tujuh pagi. Oh, ternyata aku sudah diruangan bersalin ini selama enam jam. Dan bayi dalam kandunganku masih juga belum bisa dikeluarkan karena masih pembukaan delapan. Setiap kali kontraksi datang aku selalu ingin mengejan. Perawat yang menungguiku bilang kalau jangan mengejan, harus ditahan. Aku mencoba menahannya, tapi tidak tahu cara menahannya. Mengejan itu tiba-tiba saja datang, aku tidak bisa menguasainya.

Setelah beberapa lama, dokterku kembali ke ruangan bersalin, kemudian melihat kondisiku lagi dan kemudian menyuruh perawat mempersiapkan persalinan karena sepertinya sudah siap dilakukan persalinan. Akhirnya proses persalinan berlangsung. Kuusahakan mengejan sekuat tenaga seperti yang disuruh dokter dan perawat. Tapi bayi dalam kandunganku tidak keluar juga. Akhirnya dokter memutuskan kalau aku harus melahirkan dengan bantuan forcep, aku tidak tahu apa itu forcep. Yang jelas setelah dilakukan forcep, terdengan tangisan melengking. Bayi yang kulahirkan selamat.

Setelah bayi bersih, suamiku kembali diperbolehkan masuk ruang persalinan. Kemudian mendekati bayi yang baru kulahirkan. Kumandang adzan diperdengarkan di kedua telinganya. Setelah itu kembali menengokku dan memberi ucapan selamat padaku.
“Selamat ya Ma, bayinya bagus banget, hidungnya besar. Pasti ganteng nanti”
Puji syukur kupanjatkan padaMu ya Ilahi, Telah kau berikan aku seorang anak laki-laki penerus kami. Mudah-mudahan setiap langkahnya dalam lindunganMu. Amin.

Bayi yang kulahirkan tepat jam delapan pagi lebih lima belas menit, tanggal 2 Desember 1988, lebih cepat lima belas hari dari perkiraan. Beratnya 3,450 gram dan panjangnya 52 cm. Kunamai Andi mirza Zakaria.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar