23 Mei 2009

Deary Putriku



Masih pagi, tapi udara pagi ini sudah tidak dingin. Langitnya sangat cerah. Berwarna biru keputihan karena matahari sudah mulai beranjak naik, bersih tanpa awan sedikitpun. Itu tadi kulihat saat aku berdiri di depan pintu , mengantarkan suami berangkat ke kantor dengan mobil pribadinya dan anakku menuju halte di samping rumah menunggu bus jemputan yang disediakan perusahaan untuk berangkat ke sekolah. Lumayan, agak hemat BBM. Aku tersenyum dan melambaikan tangan mengiringi keberangkatan mereka.
Dan setelah tidak kelihatan, kututup lagi pintunya. Tak lama, kudengar suara bus yang akan mengantar anakku ke sekolah, berhenti di halte menaikkan penumpang. Biasanya, ada beberapa anak sekolah menunggu di halte itu. Beberapa saat kemudian suara bus itu lamat-lamat mulai hilang, tanda bus sudah berangkat.

Sekarang, jarum pendek jam dinding diruang tamu mulai merambat meninggalkan angka tujuh dan panjangnya juga sudah mulai bergeser mendekati angka satu. Ini berarti, seperempat jam yang lalu anak bungsuku baru saja meninggalkan rumah menuju sekolah naik bus jemputan yang biasanya tidak banyak penumpangnya, kebanyakan pada diantar orang tua. Meskipun sebenarnya jarak rumah dan sekolah dekat saja. Ini yang menyebabkan anak-anak dikomplek ini, rasa mandirinya kurang. Seperempat jam yang lalu, suami juga baru saja meninggalkan rumah menuju kantor dengan sedan birun yang telah menemani bertahun-tahun. Suara knalpotnya semakin keras saja dari hari ke hari.

Sekarang tinggal aku dan seorang pembantu perempuan yang sudah ikut lama, kalau tidak salah ada lima tahun. Umurnya kurang lebih seumuran anak sulungku, sekitar dua puluh tahun. Untung punya pembantu seperti dia, selain jujur, kalau disuruh atau diajari cepat nangkap, rajin, dan pekerjaannya beres. Tidak perlu menyuruh-nyuruh terus, dia sudah mengerti pekerjaannya. Kapan harus bangun pagi, kapan harus menyiapkan teh, menyiapkan sarapan pagi walau hanya mie rebus, mie goreng, nasi goreng, roti bakar, singkong atau pisang goreng. Dia juga tahu kapan harus menyirami pohon-pohon koleksiku, kapan harus membersihkan kamar mandi dan lain lain.

Pagi ini, Aku mulai merapikan ruang keluarga yang masih banyak barang-barang anakku karena semalam diangkut dari kamar. Biasanya dibawa untuk menemani belajar. Ada hand phone, komik, pianika, buku-buku tambahan, boneka dan masih banyak lagi. Aku memang tidak mengharuskan belajar di kamar atau di meja belajarnya, terserah saja mau belajar dimana, yang penting nyaman. Kakak-kakaknya dulu juga begitu . Kadang saja, dia mau belajar di kamar. Tapi akhir-akhir ini sudah jadi kebiasaan maunya di ruang keluarga. “Nggak enak Ma belajar di kamar, sepi” katanya waktu itu. Iya juga, apalagi sekarang tinggal dia sendiri. Kakak-kakaknya sudah tidak tinggal serumah. Yang paling besar kuliah di Bandung sedang yang nomor dua minta sekolah di asrama, sekarang di Magelang. Karena sepi, kubiarkan saja belajarnya pindah ke ruang keluarga. Yang penting mau belajar. Sebenarnya malah lebih enak bisa mengawasi langsung. Kalau dia belajar di kamar, aku harus bolak-balik memantau, apa masih belajar, apa main-main, apa malah sudah ketiduran. Dengan pindah ke ruang keluarga, kalau dia mulai main-main, bisa langsung diingatkan. ”Ayo dik, bukunya dibaca lagi” Maka dia akan kembali serius dengan bukunya. Jadilah ruang keluarga digunakan sebagai ruang belajarnya.

Kalau belajarnya pindah, mestinya meja belajarnya rapi. Ini enggak, tetap saja berantakan. Buku-buku masih saja banyak menumpuk dimeja, barang-barang apa aja bisa-bisanya dipakai mainan. Biasanya, selesai pakai langsung taruh saja di meja. Nggak ada rapi-rapinya. Mauku ya dirapikan atau ditaruh lagi di tempatnya. Jadi kalau mau mengambil atau mencari yang diperlukan, tidak kesulitan. Nggak lama mencari-cari, karena barang yang dicari suka terselip diantara tumpukan.

Selesai juga ngangkutin barang-barang dari ruang keluarga. Satu per satu buku kuatur lagi. Buku pelajaran dan buku tulisnya yang habis dipakai kemarin berhambur di tempat tidur, sepertinya baru dikeluarkan dari tas. Ada juga kotak pensil, jepit rambut, pin, sobekan-sobekan kertas, spidol dan pensil warna. Aku nggak habis pikir, ruang keluarga, meja belajar sampai tempat tidur, bisa-bisanya berantakan. Ada dua meja belajar di kamarnya. Yang satu memang meja belajarnya, khusus untuk buku pelajaran dan perlengkapan sekolahnya, beberapa buku tambahan, buku soal-soal untuk memperkaya pengetahuan, dan beberapa barang yang memang sering dipakainya. Meja satunya, sebenarnya dulu meja kakaknya, untuk menaruh buku-buku bacaan atau buku-buku kakaknya dulu. Siapa tahu masih bisa dipakai dan masih diperlukan. Dan memang benar, kadang-kadang diperlukan, karena dibukunya sendiri kurang lengkap keterangannya. Ada juga ditaruh buku-buku bacaan, komic, cerita dan lain-lain.

Waktu menata buku, ada satu buku "ORGI", satu lembar kubuka. Ternyata catatan hariannya, ”Diary”. Kulihat sepintas lembar-lembarnya. Tidak banyak yang ditulis. Yang menarik, ada judul di tiap halaman. Jadi ingin tahu. ”Penasaran”, apa sebenarnya yang ditulis. Kembali ke halaman pertamanya. Diberi judul ”Tentang Aku”, dibawahnya tertulis namanya, dan berderet-derat identitas lain memenuhi halaman. Ada tercatat hobby, cita-cita, nama teman-teman akrabnya, makanan kesukaan, kegiatan yang disukai dan masih banyak lagi. Halaman ini dihiasi dengan gambar-gambar lucu yang diwarnai spidol, ditempeli stiker pahlawan komic kesukaannya ”naruto”. Halaman kedua. Masih dengan lukisan-lukisan lucu dan stiker-stiker lucu. Diberi judul "Tentang temanku". Menceritakan senangnya bermain bersama teman-teman. Menceritakan beberapa teman akrabnya, menikmati hari-hari disekolah dengan guru dan teman sekelas. Pintar juga menulis. Sepertinya dia bisa menulis lebih baik lagi nanti. Kata-kata sederhana, wajar, tapi bagus merangkainya.

Lembar selanjutnya. Diberi judul sama "Tentang Temanku" masih bercerita tentang dia dan teman-temannya, sewaktu berenang bersama, bersepeda bersama, menceritakan kenakalan-kenalan kecil yang diperbuat bersama teman-temannya, menikmati kehidupan. Lembar selanjutnya "Bermain di parit", kemudian "Bermain hujan" dan banyak lagi.

Kubolak-balik halaman. Halaman ke sepuluh. Lumayan untuk sebuah diary. Aku kembali hanyut dalam tulisannya. Kata-kata yang sederhana, menunjukkan usianya. Pengakuan di kertas menunjukkan apa yang dirasakan saat ia menulis. Halaman kesepuluh, diberinya judul “Tentang keluargaku”. Badala...! Sepertinya ada juga cerita tentang aku, papanya dan kakaknya. Dia menyebut dirinya anak yang aneh, lucu, imut, kadang suka jahil, suka ngambek, cengeng. "Yak, betul nduk. Wong kamu sebentar-sebentar nangis" Aku mengiyakan. Tapi anak ini memang bener-bener lucu dan nggemesin. Kalau punya mau atau hatinya lagi jengkel, dikasih tahu nggak mau ngerti-ngerti. Apalagi kalau udah pakai nangis. Satu-satunya jalan, kudiamkan saja, lama-lama juga diam sendiri. Wajahnya memang imut, mungil. Betul juga. Masih dalam satu judul, dia menceritakan kakaknya yang paling besar. Dia cerita kalau kakaknya suka menggoda, mengganggu, jahil. Tapi dari cara menulis, dia suka dijahili kakaknya. Dia tahu kalau kakaknya sebenarnya sayang. Ditulisnya ”kakakku ini suka mau menciumku, tapi bibirnya dimonyongkan dan penuh ludah. Hiii menjijikkan, benci aku! sampai aku jadi nangis karena dikejar-kejar mau dicium”. Lumayan ceritanya. Giliran kakak perempuannya yang diceritakan. Tidak banyak tapi inti dari tulisannya, dia sangat sayang kakaknya dan kakaknya juga, walaupun kutahu kalau kadang-kadang sering terjadi adu mulut, ribut, bertengkar berebut sesuatu, nggak ada yang mau ngalah. Kalaupun mengalah, pasti dengan perasaan jengkel, bisa dilihat dari cara jalannya atau cara bicaranya. Yah... namanya juga anak-anak. Giliran papanya yang diceritakan. Ditulisnya, "papaku ini baik, suka ngajak jalan-jalan, suka beliin oleh-oleh kalau pergi, tapi kadang-kadang papaku ini suka teriak-teriak, marah-marah, jahat, hih mengerikan". Kemudian dilanjutkan dengan menulis tentangku. Dia tulis ”Mamaku sama saja seperti ceritanya papaku tapi berlebihan”.

Kubuka lagi lembar selanjutnya, sudah tidak ada cerita lagi. Aku tersenyum puas, ternyata dia bisa bercerita. Ternyata dia punya kekuatan untuk menulis, walau sekarang tulisannya hanya sebatas banyak menceritakan dirinya dan teman-temannya. Mudah-mudahan nanti bisa berkembang lebih baik. Mudah-mudahan nanti ketemu orang yang bisa membimbingnya dengan baik.
Kututup buku diarinya. Menarik nafas agak dalam. Menunjukkan kepuasanku setelah membaca. Mudah-mudahan saja ada yang bisa membimbingnya menulis nanti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar