23 Mei 2009

Kebangetan

Kuamati perlengkapan bayi satu paket dalam kemasan tas ransel plastik bening yang kubeli beberapa waktu lalu. Didalamnya ada sabun mandi, samphoo, bedak, lotion, cologne dan beberapa barang lagi. Masih dalam posisi yang sama, tergeletak diatas meja sudut, diruang makan.
Aku jadi ingat cerita-cerita dibalik pembelian barang-barang itu. Tapi kapan ya pastinya…? kucoba mengingat-ingat. Ternyata kalau sudah pikun, untuk mengingat-ingat susah. Nggak ingat sama sekali kapan kejadiannya. Karena sudah kelamaan, ada beberapa bulan yang lalu, sebelum pergantian tahun.
Dan sekarang, aku di ruang makan sedang menyeruput teh manis yang digelasnya ada remah-remah kue karena kucelupin biscuit. Kulihat perlengkapan bayi satu paket itu lagi. Kejadian lampau kembali melintas, menari-nari dalam kepalaku. “Temanku Melahirkan”. Inilah judulnya.
Apa benar teman? bisa saja karena sudah pernah dikenalkan dan lagi tinggal dilingkungan yang sama, satu komplek perumahan perusahaan. Tapi kalau dilihat dari pergaulanku, seharusnya ada hubungan pertemanan. Seperti telpon, bertandang, bertemu dan lain-lain. Ya umumnya teman. Lha ini..., enggak. Sepertinya aku juga tidak pernah ingin tahu nama kecilnya, mungkin diapun juga begitu. Satu-satunya yang kutahu, hanya nama suaminya “Riz”. Ini juga karena suami beberapa kali menyebut namanya waktu cerita pekerjaan.

Seingatku, baru sekali aku bertemu. Waktu itu kejadiannya pas acara olah-raga pagi, hari Minggu. Aku ingat harinya karena setiap hari Minggu teman-teman suami mengadakan olah-raga bersama. Kebetulan pagi itu pak Riz datang sama istrinya. Entah waktu itu diundang atau datang sendiri. Yang jelas waktu aku selesai jalan keliling lapangan dia sudah ada, bergabung dengan yang lain.
Untuk kegiatan olah-raga ini, Menurut cerita teman-teman, sudah bertahun-tahun diadakan. Cuma katanya agak lama berhenti. Sekarang ini mulai digiatkan lagi. Yang datang juga banyak, bapak-bapak, ibu-ibu, malah kadang anak-anaknya pada dibawa. Malah kalau pas rame-ramenya, bisa sampai lima puluh orang, bahkan lebih.

Jam setengah tujuh, satu per satu datang. Aku dan suami juga biasanya sudah datang. Acaranya santai saja. Ibu-ibu biasanya melakukan jalan sehat keliling lapangan bola. Sekedar mengeluarkan keringat. Ada yang memang senang olah-raga. Biasanya mereka pasang net dan main volley. Tapi karena yang suka volley tidak banyak, akhirnya yang main campuran, bapak-bapak dan ibu-ibu. Ada juga yang hanya duduk-duduk, ngobrol sambil menikmati teh manis panas yang disediakan kantor. Sedang sebagian besar bapak-bapak biasanya bermain sepak-bola.

Kalau kuperhatikan setiap kali datang ke lapangan, yang paling bersemangat memang pasukan bapak-bapak yang main sepak-bola. Semangatnya luar biasa dan patut diacungi jempol. Suamiku biasanya ikut sepak bola. Setiap berangkat selalu siap dengan sepatu bolanya, kaos kaki yang panjangnya selutut, dan memakai dekker untuk menyelamatkan tulang keringnya.
Bapak-bapak pemain sepak bola ini sepertinya nggak peduli kalau lapangan bola kondisinya enggak rata alias banyak lubang. Apalagi kalau pas musim hujan, lapangan ini beceknya minta ampun, bola yang ditendang juga nggak bisa menggelinding jauh karena tertahan air. Tapi Bapak-bapak ini nyantai saja. Badannya penuh lumpur.
Yang lucunya lagi, pemainnya bukan sebelas lawan sebelas. Kalau pas yang datang banyak, bisa kelebihan pemain. Tapi tetap saja dimainkan, pernah sampai dua puluh lawan dua puluh. Lapangan jadi penuh.
Katanya yang penting rame, semua gerak dan semua yang punya hobby bola bisa ikut main. Memang sepertinya semua gembira. Beban pekerjaan sementara terlupakan. ”Refreshing”. Yang membuat seru lagi pemain tidak memakai seragam, jadi mana lawan mana kawan ya hanya hafal muka saja. Kadang kalau lupa ya bola malah dikasih ke lawan.

Hari makin siang, kira-kira sudah jam delapan lewat. Matahari sudah mulai terasa panas menyengat badan. Bapak-bapak yang main sepak bola sepertinya juga sudah mulai kelelahan. Teman-teman yang jalan sehat dan yang main volly sudah pada kumpul. Semua kumpul di tribun, menikmati teh manis dari kantor yang kadang-kadang ada bau kopinya, menikmati air mineral juga kue yang dibiayai dari iuran bapak-bapak.
Kalau ada yang syukuran naik pangkat, pulang dinas keluar kota atau keluar negeri, ulang tahun, atau apapun, konsumsi Minggu pagi jadi lebih komplit. Bisa dilihat dari Minggu ke Minggunya, ada saja yang menyumbang makanan. Mie ayam, nasi uduk, pecel, nasi kuning, bubur manado dan masih banyak lagi. Lumayan, dapet makan gratis, he he he.
Teman-teman rasanya juga makin akrab. Nggak ada jarak yang mana atasan yang mana bawahan atau bos dan anak buah. Semua seperti keluarga. Mudah-mudahan saja kegiatan seperti ini terus ada, supaya keakraban diantara karyawan dan keluarga terus terbina.

Setelah cukup istirahat dan menikmati makanan. Satu per satu pamitan. Ada yang mau melanjutkan ke pasar, ada bapak-bapak yang mau ke kantor untuk kerja lagi. Kamipun bubaran dan bersalaman. Tak lupa membersihkan lagi tribun, supaya tetap terjaga kebersihannya.
Pas bubaran ini pak Riz menghampiri memperkenalkan istrinya. Sebenarnya tanpa dikenalkan, tadi juga sudah sempat berkenalan. Cuma, memang tidak bicara banyak. Informasi yang kudapat kemudian, bu Riz masih belum selesai kuliah, dan rencananya beberapa hari lagi akan kembali ke Surabaya untuk melanjutkan. Informasinya lagi, ternyata masih pengantin baru.
Sayangnya, perbincangan harus disudahi karena anakku sudah ngajak pulang dan matahari sudah terlalu panas . Sejak itu rasanya tidak pernah bertemu lagi. Hanya beberapa kali sempat kulihat, itupun dari jauh pas belanja di super market. Dengan Pak Riz juga jarang ketemu. Paling berpapasan di acara kawinan, di acara perusahaan atau di jalan. Kalau suami pasti sering bertemu, kalaupun tidak bertemu muka, ya telepon, radio atau ber-email. Karena hubungan pekerjaan.
000
Waktupun berlalu. Aku kembali dengan kegiatan sehari-hari. Sebagai ibu rumah tangga, pedagang dan pengurus di organisasi sosial.
Cerita sebagai ibu rumah tangga..., namanya juga ibu rumah tangga. Ya seperti umumnya. Mengurusi kebutuhan dan keperluan rumah, mengurusi kebersihan rumah, merawat tanaman koleksi dan lain-lain.
Cerita sebagai pedagang... aku membuka usaha dagang, perhiasan dan batik. Lumayan juga, dari hasil dagangku aku bisa mengoleksi beberapa perhiasan yang kuinginkan, dan bisa mengoleksi baju, sepatu, dan masih banyak lagi. Yang paling berkesan ketika aku berhaji dengan hasil keringatku sendiri. Sebenarnya tanpa berdagang, suami masih berlebih kalau hanya membiayai keperluan rumah tangga. Apalagi kami bukan tipe boros dan hura-hura.
Cuma, dengan membuka usaha, aku dan suami jadi agak longgar jika saudara atau teman membutuhkan bantuan. Menurutku memang perempuan harus mandiri, apalagi di keluargaku semua perempuan bekerja, akupun jadi tebawa untuk mandiri, walau hanya membuka toko di rumah.
Syukur alhamdulillah, makin lama makin maju dan lancar usaha dagangku. Strategi yang kupakai dengan pembayaran dicicil. Sepertinya ini yang jadi daya tariknya. Memang harus lebih hati-hati. Namanya juga dihutang. Ada saja masalahnya. Ada yang susah ditagih, ada yang lari, tapi sejauh ini banyak lancarnya.
Usaha dagang ini kubuka di rumah, supaya aku masih bisa menjaga, mengurusi dan mengawasi anak-anakku. Apalagi waktu mulai kubuka anak pertamaku masih kecil. Waktu itu masih umur dua tahun. Tentunya masih sangat butuh perhatian dan pengawasan. Aku tidak menyerahkan anak ke pembantu, sebisanya kutangani sendiri, dari mulai memandikan, menyuapi, sampai menidurkan lagi.
Membuka toko dirumah. Ada kelebihan ada kurangnya. Lebihnya, aku bisa agak santai, tidak diburu waktu. Kegiatan yang lain bisa tertangani selagi tidak ada pembeli. Kurangnya, karena tinggal di komplek pembeli jadi tidak seluas kalau buka di pertokoan. Apalagi setiap yang mau masuk komplek harus melewati pos penjaga. Tapi rezeki tidak bisa diduga, itu rahasia Allah, ada saja yang datang kerumah. Dari teman, membawa teman, membawa temannya lagi. Akhirnya meluas juga.

Waktu dua puluh empat jam kadang nggak cukup untuk dibagi sebagai ibu rumah tangga, dagang dan organisasi. Tapi aku tetap berusaha bisa menangani. Walau kadang antara kegiatan satu dan yang lain, ada saja yang nggak kepegang. Kalau lagi rame-ramenya, usaha dagang ini sangat menyita waktu. Ditambah lagi pembeli yang datang tak kenal waktu dan kalau sudah memilih-milih barang juga nggak ingat waktu. Bisa berjam-jam untuk memutuskan barang apa yang dibeli. Harus sabar, tetap melayani dengan baik. Belum lagi pembeli yang datang bareng dengan jadwal suami pulang siang, untuk makan dan istirahat. Ini yang kadang-kadang membuatku tidak bisa menemani suami makan siang, karena harus melayani pembeli.

Seorang teman pernah memberi saran supaya membuat jadwal. Cuma waktu itu masih bisa tertangani, kegiatan juga belum banyak. Aku juga punya anggapan kalau pembeli itu punya waktu longgar yang berbeda-beda. Para pegawai kantor misalnya, biasanya mereka akan datang diluar jam kantor. Bisa pas istirahat siang atau sesudah pulang kerja. Pernah seorang pembeli bilang,
“Maaf mbak, kalau aku datangnya suka pas jam istirahat ya. Habisnya nggak bisa curi-curi waktu di jam kerja”

Aku sih nggak masalah mau datang pagi, saat jam istirahat atau datang sore, kalau aku memang di rumah ya pasti kulayani. Rezeki kok ditolak. Untungnya suami juga tidak protes.

Lalu sebagai pengurus di organisasi sosial kewanitaan... Kegiatan ini juga tak kalah sibuknya. Sudah kujalani lebih dari tujuh tahun. Kunikmati saja, paling tidak aku jadi tambah teman. Tapi memang kalau pas banyak kegiatan atau lagi ada even-even tertentu. Bisa sibuk banget. Yang rapat, yang bikin budget, yang bikin laporan keuangan, latihan kalau mau ada pentas dan masih banyak lagi. Mau nggak mau karena sudah kadung nyebur di organisasi, ya harus dijalani dengan sungguh-sungguh, harus bertanggung-jawab. Dari semua kegiatan, tetap kehidupan rumah tangga yang paling penting, tetap harus diutamakan.
000
Sore itu sekitar jam lima sore. Diatas meja, di teras rumah. Kudapati satu bingkisan kotak yang dibungkus tas kresek putih. Dari model kotaknya aku bisa menebak kalau isinya pasti makanan. Tapi tetap saja kutanyakan “apa ya…?”.
Kuangkat bungkusan itu. Masih hangat dan bau harumnya tercium saat kudekatkan kehidungku. Kubuka tutup kardusnya, ternyata “nasi selamatan”. Disitu ada nasi dan lauk pauk lengkap, ada kerupuk, ada buahnya juga. Mungkin saja tadi waktu mengantarkan makanan, pembantu di rumah lagi menyiram pohon di kebun atau mungkin lagi mandi, jadi tidak dengar waktu bel pintu dibunyikan. Dan kotak itu ditaruh begitu saja dimeja di teras. Ada kertas kecil yang diselipkan, ”Telah lahir anak kami yang pertama dengan selamat” baris paling bawah tertulis ”kami yang berbahagia, Riz dan keluarga”.
“Pak Riz...? Kaget bukan main ketika kubaca kertas kecil itu. Bagaimana tidak kaget, apalagi setelah melihat tanggal kelahirannya. Karena sehari sebelum nasi selamatan itu datang, aku sempat bertemu bu Riz di super market. Waktu itu dia bersama ibunya. Aku sempat menanyakan kabarnya. Dia hanya menjawab baik-baik saja. Dia memakai baju yang longgar model gamis. Kulihat waktu itu perutnya besar. Jadi kupikir sedang hamil beberapa bulan. Lalu seorang teman sempat mengatakan padanya.
“Lho, kok sudah jalan-jalan. Wah belum sempet kerumah lho aku”

Aku nggak ngeh waktu itu. Kirain belum sempet ke rumahnya, karena dia baru datang dari Surabaya. Maklum rumahnya kan belakang-belakangan. Tapi ternyata lain yang dimaksud. Yang kukira tadinya masih hamil beberapa bulan, ternyata malah sudah melahirkan. Bukti tanggal kelahiran jelas-jelas tercantum dilembar kertas. Bukan baru kemarin tapi sudah beberapa hari yang lalu. Kututup lagi kotaknya, kubawa masuk dan kuletakkan di meja makan. Niatku kutunggu suami datang dari kantor supaya nanti bisa bersama-sama menikmati makanan selamatan kelahiran.

Sudah agak malam suami baru datang, diatas jam enam. Nasi selamatan sudah dingin. Anakku sebenarnya sudah tidak sabar ingin menikmatinya. Tapi kubilang,
“Tunggu papa sebentar dik, nasinya juga perlu dipanasi dulu”
Nasi selamatan sudah hangat, suamiku juga sudah selesai mandi. Kami menikmati juga walau harus dipanasi dulu.

Keesokan paginya kuputuskan pergi ke super market, agenda utama adalah membeli perlengkapan bayi yang nanti akan kuberikan kalau pas menengok. Belum tahu kapan akan berkunjung, yang penting barang sudah kudapatkan dulu. Beberapa barang keperluan bayi dipajang di super market, seperti handuk, wash lap, sabun, sampo, ada juga dijual mainan bayi, tempat makan bayi dan masih banyak lagi. Bingung juga memilihnya, tapi akhirnya kuputuskan membeli perlengkapan bayi dalam kemasan satu paket, isinya sabun, sampo, pengharum, bedak dan masih ada beberapa barang lagi. Aku ingat dulu waktu anakku lahir aku pernah diberi perlengkapan mandi dari beberapa teman, dan ternyata sampai setahun lebih barang-barang itu belun juga habis, dan untungnya lagi barang-barang seperti itu awet.
Sampai dirumah barang belanjaan untuk menengok bayinya pak Riz langsung kusimpan ditempat yang dapat dengan mudah terlihat, supaya tidak kelupaan. Kupilih meletakkan di meja sudut, dekat ruang makan. Pas sekali. Karena ditempat ini biasanya tidak akan dipindah-pindah. Dan dari mana-mana kelihatan, tinggal membungkusnya nanti.

Hari masih sore, langit masih terang, masih sempat kulirik jam dinding di ruang keluarga. Jam lima lewat lima belas menit saat kudengar suara mobil suamiku yang khas memasuki garasi. Khas, karena masih jauh saja suara knalpotnya yang keras sudah kedengaran menderu-deru. “Tumben sudah pulang” pikirku saat itu. Tidak biasa-biasanya suamiku pulang sesore ini. Hampir bisa dipastikan, paling cepet pulang jam enam. Tapi aku tidak protes. Tuntutan pekerjaan yang membuat suamiku datang lewat dari jam pulang kantor. Lha sekarang, masih sore pulang cepet, aku hanya bisa menduga dan biasanya dugaanku benar, pasti ada acara sore ini.
Benar juga tebakanku. Setelah mengucap salam dan masuk rumah dengan terburu-buru, saat kubukakan pintu tadi, sebentar kemudian suamiku sudah bersiap-siap mau pergi. Lha iya kan...Mau pengajian kalau melihat baju koko yang dikenakannya. Sebelum suamiku keluar rumah, kusempatkan menunjukkan barang yang kubeli tadi siang.
”Pa, ini lho, barang yang untuk menengok bayinya Pak Riz, cocok nggak?”
Suamiku melihat sesaat barang-barang yang kubeli, lalu katanya,
“Oke, bagus” sambil jempolnya diacungkan.
”kapan kerumahnya?”
”Besok aja ya, sekalian nanti nengok anaknya Pak Roni. Samain aja kadonya Ma”
”O, Ya !”

Kusimpan lagi barang belanjaan itu ditempatnya semula diatas meja sudut, dekat ruang makan. Aku masih juga belum membungkusnya. Memang sengaja tidak kubungkus. Pikirku nanti saja kalau memang sudah bener-bener mau berangkat menengok, aku akan membungkusnya. Toh membungkus juga sebentar saja, paling lima menit. Asal ada barangnya, ada pembungkusnya, ada perekatnya. Pasti beres. Set... set... set... selesai.
000
Keesokan harinya, rencana tinggal rencana. Aku dan suami tidak jadi atau tidak bisa menengok si bayi. Alasannya, suami tidak bisa pulang lebih awal, ada pekerjaan yang harus diselesaikan di kantor. Pulangnya lebih malam dari biasanya. Nggak mungkin juga menengok bayi malam-malam, nanti malah mengganggu.
Kutunggu lagi hari besoknya, dan beberapa hari lagi, wallah ternyata sama saja. Suami pulangnya malam terus. Aku baru ingat kalau sekarang ini sudah mendekati akhir tahun. Biasanya pekerjaan tidak ada selesai-selesainya dan malah makin padat saja, karena semua proyek dan pekerjaan harus selesai sebelum tutup tahun. Kata suami ada satu proyek pemasangan alat-alat baru yang harus dipasang di beberapa tempat. Proyek pemasangan ini baru bisa dikerjakan karena barang-barang yang akan dipasang juga baru darang. Padahal pekerjaan ini harus selesai sebelum tutup tahun. Jadilah kerja seperti dikejar-kejar. Bahkan hari Sabtu dan hari Minggunya juga menjadi hari sibuknya.

Aku memakluminya dan tidak protes. Belasan tahun mendampingi, jadi sedikit banyak tahu pekerjaannya. Kapan waktu longgarnya, kapan waktu sibuknya. Aku hanya bisa mendoakan, mudah-mudahan pekerjaannya cepat selesai, dengan baik dan bisa diselesaikan sesuai jadwal. Mudah-mudahan juga suami diberi kesehatan dan kekuatan untuk menjalani.
Kadang kulihat suami sangat capek, matanya kuyu. Membuka pintu mobil, berjalan masuk rumah kemudian duduk di kursi membuka sepatunya yang minta ampun beratnya, namanya sepatu safety. Setelah itu dia akan merebahkan sebentar di sofa sebelum beranjak ke kamar untuk mandi dan ganti baju dilanjutkan makan malam dan kemudian istirahat.
Ini potret suami kalau pas lagi banyak-banyaknya kerjaan. Yah, pemandangan seperti ini sudah sering kulihat. Belum lagi kalau pabrik ada gangguan, biasanya pulang hanya sempat untuk mandi dan makan malam saja terus kembali lagi ke kantor meneruskan pekerjaan. Kalau memang benar-benar sudah capek sekali dan tidak ingin ke kantor, biasanya suami pulang membawa berkas-berkas pekerjaan dengan harapan bisa diselesaikan di rumah.

Kalau pas bisa pulang lebih awal atau agak sorean, aku yakin ada acara lain atau ada undangan yang tidak bisa ditinggalkan, seperti menghadiri acara pembukaan pelatihan, pembukaan kursus yang bekerja-sama dengan Dinas Tenaga Kerja, rapat pengurus di yayasan umat islam, atau menghadiri undangan pengajian dari teman
000
Hari-hari terlalui, ternyata kesibukan dan kegiatan terus menghampiri. Suami sibuk dengan pekerjaannya yang banyak dan belum selesai-selasai. Akupun jadi asyik dengan duniaku, sibuk dengan urusan rumah tangga, dagang, dan organisasi. Sampai akhirnya, ketika aku sedang duduk di ruang makan. Pandanganku tertuju pada benda di meja sudut, di ruang makan. Aku jadi sadar, kalau sampai saat ini kami berdua belum menengok si bayi mungilnya Pak Riz. Sudah berapa bulan ya usianya sekarang... ? Ada saja urusan yang mesti dikerjakan, mesti diselesaikan. Dan sekarang, setelah semua kegiatan berlalu. Ternyata sudah terlalu lama. Ada perasaan tidak enak kalau mau menengoknya sekarang. Akhirnya kami tidak jadi menengok bayi mungil pak Riz.

Kulihat barang-barang perlengkapan bayi satu set yang kubeli waktu itu. Belum kubungkus juga. Masih tergeletak bersama kertas pembungkusnya di atas meja sudut, dekat ruang makan. Kalau memang tidak cepat menyempatkan, yah beginilah akhirnya. Apa yang akan kukatakan bila nanti bertemu dengannya? Pasti akan ketemu, cepat atau lambat. Apalagi dengan tinggal dalam satu komplek. Ini pasti terjadi. Ah, Kebangetan benar !

Tidak ada komentar:

Posting Komentar