23 Mei 2009

Lima Belas Januari

"Mama ulang tahun ya..." kata suami mengejutkanku. Kuambil HP yang dibawanya lalu kulihat layarnya. "Ulang tahun 42". Aku tersenyum. Suami lalu menyalami sambil mencium pipiku. Tak berapa lama, anakku yang masih kelas 5 SD berjalan terburu-buru kearahku sambil membawa perlengkapan sekolahnya, lalu mengulurkan tangannya dan menciumku. "Met ulang tahun ya..." katanya sambil tersenyum.
"Traktir dong...". Katanya lagi. Aku tertawa, lalu kujawab sambil bercanda,
"Gimana sih, mama kok suruh traktir terus, kamu ulang tahun, mama juga yang traktir. Hayo, kamu sekarang yang traktir". Dia cengingisan.
"Ya udah, nanti kubelikan coklat". Katanya sambil memakai sepatu. Tahu betul kalau aku suka coklat.

Sekarang sudah jam tujuh kurang lima belas menit. Rumah kembali sepi karena suami sudah berangkat kerja dan anakku juga sudah berangkat sekolah. Tinggal aku sendiri ditemani seorang pembantu. Aku memang bukan pegawai kantoran, hanya seorang ibu rumah tangga. Seperti kebanyakan ibu ditempat tinggalku ini. Hanya beberapa yang kerja kantoran, bisa dihitung.

Belum selesai merapikan meja makan bekas sarapan tadi pagi, HPku bunyi, nada dering lagunya Naff "Kaulah Hidup dan Matiku". Ini dari anakku yang kuliah di Bandung. Segera kuangkat.
"Ma...! Met ulang tahun ya Ma..." Katanya membuka percakapan.
"Iya Mir, makasih ya". Jawabku.

Senang mendengar suaranya lagi. Padahal tadi pagi, baru saja kutelpon untuk membangunkan sholat subuh. Tapi ini lain, dia yang telpon khusus mengucapkan selamat ulang tahun. Jarang-jarang dia menelpon kalau tidak butuh sekali, seperti mau beli buku, beli baju atau minta tambahan pulsa. Anak sulungku, Mahasiswa Tehnik Mesin ITB semester empat. Menyempatkan telpon pagi-pagi hanya untuk mengucapkan selamat ulang tahun. Senang sekali rasanya, ternyata masih mengingat tanggal lahirku, masih perhatian juga.

Jam demi jam berlalu, hari semakin sore, kira-kira sekarang sudah jam enam. HPku berbunyi. Kali ini nada dering lagunya coklat "Bendera". Nada dering yang kutunggu setiap saat, dari anakku yang di Magelang. Aku hanya bisa menunggu telponnya karena aku tidak bisa menghubunginya. Peraturan sekolah tidak mengijinkan siswa membawa HP. Hanya disediakan wartel untuk komunikasi. Inipun harus ngantri dan waktunya dibatasi. Biasanya dua kali dalam seminggu dia menyempatkan menelpon.

Nada dering coklat masih berbunyi. Segera kuangkat telponnya, tapi aku kecewa karena salurannya jelek sekali. Suara anakku tidak terdengar jelas, terputus-putus.
"Telpon lagi ya Sof, nggak denger ini". Kutunggu beberapa detik, nada sambung terdengar lagi. Belum sempat kuangkat sudah mati, senewen juga rasanya. Telpon di wartel ini memang jelek sekali, harus beberapa kali baru tersambung bagus. Kutunggu lagi. Ada dua kali tidak sempat kuangkat sudah terputus.

Akhirnya nada dering dengan lagu benderanya coklat terdengar lagi. Kubiarkan sebentar, setelah yakin tidak putus baru kuangkat. Dari seberang kudengar.
"Denger Ma..."
"Ya, denger" Jawabku senang. Dari seberang kudengar lagi suaranya agak jutek memaki-maki telpon wartelnya.
"Sialan ini telpon, jelek sekali. Mama..., padahal tadi aku udah siap-siap mau kasih mama kejutan"
"Apa ?"
"Aku tadi udah siap-siap nyanyi Happy Birtday, sialan ini telpon. Gak jadi sureprise"
Bisa kubayangkan wajahnya kalau lagi jengkel. Memang saluran ini jelek sekali, setiap telpon tidak pernah bersih, yang suaranya kecillah, yang putus-putuslah, yang menggemalah.
"Acaranya apa ni Ma?"
"Nggak ada Sof, cuma besok rencananya di rumah mau ada pengajian"
"O, pengajian untuk ulang tahun Mama ya?"
"Nggak juga, udah lama nggak ngadain pengajian di rumah"
Sepuluh menit berlalu, akhirnya telpon ini harus diakhiri karena banyak temannya yang ngantri.
"Udah ya Ma, banyak yang ngantri ini, nggak enak sama yang lain"
"Ya, ya, hati-hati ya, baik-baik, assalamu'alaikum" Kataku menutup percakapan.
"Wa'alaikum salam, Mmmmuah". Jawabnya, kemudian telpon terputus.

Aku, diusiaku yang ke 42. Sudah tidak muda lagi. Kuamati anakku yang masih kelas 5 SD, masih asyik dengan carton Disneynya. Aku bersyukur pada penciptaku karena telah dikaruniai keluarga yang penuh kasih sayang, dikaruniai anak-anak yang baik-baik. Kurasakan pipiku basah, bulir-bulir hangat mengalir dari ujung mataku.
Aku kembali mengingat masa-masa kecil mereka. Masa-masa masih bersama yang penuh keceriaan, canda tawa dan tangisan mereka. Aku kembali bernostalgia mengingat masa-masa indah dulu. Memandikan mereka dengan air hangat, menyuapi mereka sambil keliling rumah, mengajari kata demi kata setiap saat, mengajari memakai sepatu sendiri, mengajari mengancingkan baju sendiri.
Kalau ingat waktu itu... kakinya yang mungil dan tangannya yang mungil berusaha keras sampai badannya keringatan. Tangisnya meledak saking jengkel karena nggak berhasil-berhasil. Kuajari terus sampai akhirnya mereka tertawa senang ketika berhasil dan memamerkan padaku. Ah..., masa-masa itu begitu indahnya. Tapi sayang waktu tak bisa diulang.
Aku hanya bisa mengingat kembali ketika mengajak mereka ke taman bermain ayunan, main prosotan, mengajak mereka ke laut mencari kerang dan batu karang, berlomba melempar batu sejauh-jauhnya ke tengah laut, juga menangkap anak kepiting.
Kembali kuingat lagi masa-masa mengantar mereka ke sekolah. Kemudian melatihnya untuk ikut bus jemputan yang lewat depan rumah. Jika mereka terlambat, aku menyuruhnya berjalan cepat untuk menuju halte selanjutnya yang jaraknya 100 m yang nanti akan dilewati bus itu lagi. Ah..., kalau ingat masa-masa itu, rasanya kasihan juga. Tapi aku harus mengajarkan pada anak-anakku pentingnya mengatur waktu, kalau lambat-lambat nanti akan ketinggalan. Akhirnya anakku bisa melewatinya dengan baik.
Aku kembali mengingat masa-masa mengantar mereka les musik, les sempoa, les bahasa inggris yang jaraknya ada 6 kilo dari rumah. Walau kadang harus kupaksa juga berangkatnya. Aku yakin ini semua untuk kebaikan mereka. Ah..., masa-masa itu begitu indahnya. Terlalu mahal untuk dilupakan.
Sekarang anakku sudah besar, kegiatannya sudah berbeda. Sudah tidak membutuhkan bantuan dengan sentuhanku. Bantuan yang dibutuhkannya sudah berbeda. Yang dibutuhkan sekarang adalah dukungan, memberi semangat, mengingatkan. Apa mereka masih mengingat masa-masa kecil mereka yang indah itu ya...?

Aku, diusiaku yang ke 42. Ada beberapa helai rambutku yang ternyata sudah memutih. Putraku, kau tumbuh besar, badanmu tegap, langkahmu mantap, kau tumbuh menjadi anak yang pintar. Putra sulungku, kau sedang menuntut ilmu di Bandung. Kau berhasil masuk perguruan tinggi ternama yang diidolakan setiap pelajar "ITB". Kau sekarang sudah semester empat Tehnik Mesin. Banyak prestasi yang kau berikan padaku, teruslah berkarya. Ya Allah, puji syukurku pada-Mu telah memberiku putra yang baik. Terimakasih anakku, kau telah menjadi putraku yang baik. Sekarang kau berada jauh di seberang, tanganku tak bisa membelaimu sesering waktu kau kecil. Mataku juga tak bisa memandangmu setiap saat. Tapi percayalah, gambarmu tetap tajam dalam anganku, aku tidak akan pernah lupa dan akan terus mendoakanmu. Ya Robbi, jagalah putraku ini. Berikanlah kesuksesan padanya, berikanlah kebahagiaan padanya, karuniakan kebaikan-kebaikan padanya.

Aku, diusiaku yang ke 42. Kulitku ternyata tidak sehalus dulu lagi. Apakah masih terasa nyaman jika untuk membelai? Putriku. Kuimpikan setelah mendapatkan seorang putra. Begitu lama untuk mendapatkanmu. Hampir lima tahun aku menunggumu. Akhirnya kau hadir juga. Sekarang kau sudah besar, kau tumbuh menjadi putri yang pintar. Kau sedang menjalani pendidikan di Magelang, di SMU unggulan se Indonesia "Taruna Nusantara" kau masih kelas satu. Banyak-banyaklah berprestasi di sekolahmu. Seperti motto hidupmu "Hidup hanya sekali, lakukan yang terbaik". Ya Robbi, terimakasih Kau telah anugerahkan seorang putri yang baik kepadaku. Terimakasih putriku. Walau waktu yang kita punya tidak banyak saat ini, tapi kau selalu menyempatkan waktumu untuk menyapaku lewat telponmu. Kau benar-benar penuh perhatian. Ya Robbi, jagalah putriku ini. Berikanlah kesuksesan padanya, berikan kebahagiaan padanya, karuniakan kebaikan-kebaikan padanya.

Aku, diusiaku yang ke 42. Sudah harus memakai kacamata kalau membaca. Putri bungsuku, kau hadir sebagai pelengkap kebahagiaanku. Sekarang kau masih dalam jangkauanku. Setiap menit, setiap detik, setiap saat aku masih bisa memelukmu, membelaimu, menciummu. Putriku, kaupun punya prestasi yang luar biasa, tak kalah dengan kakak-kakakmu. Teruslah berprestasi, teruslah berkarya, jangan menyerah, jangan mudah patah semangat. Putriku... Terimakasih kau hadir sebagai pelengkap. Melengkapi kebahagiaanku. Ya Robbi. Tak henti-hentinya kuucap syukur atas karunia-Mu. Jagalah putri bungsuku ini. Berikanlah kesuksesan padanya, berikan kebahagiaan padanya, karuniakan kebaikan-kebaikan padanya.


Aku, diusiaku yang ke 42. Badanku sudah tak sekencang dulu lagi. Betapa bersyukurnya aku memiliki suami yang penuh kasih sayang, penuh perhatian, sabar dan mengerti aku. Terimakasih suamiku, kau telah menjadi pendamping hidupku. Kau telah menjadi bapak dari putra putriku. Terimakasih, kau telah memilihku menjadi pendampingmu, menjadi ibu dari putra putrimu.


Terimakasih Ya Allah, Engkau telah memberikan kepadaku keluarga yang penuh kasih sayang, kebahagiaan dan keberkahan. Terimakasih Ya Allah, Engkau telah memberikan karunia yang besar pada kami sekeluarga. Terimakasih Ya Allah, terimakasih, mudah-mudahan Engkau terus memberikan kebahagiaan kepada kami sampai akherat. Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar