21 September 2011

catatan perjalanan umroh Ramadhan kami-5

Jum’at Panik


Kalau saja masih banyak waktu, ingin rasanya mendatangi tempat-tempat bersejarah saat kehidupan Nabi Muhammad maupun tempat tempat peradaban islam berkembang. Namun karena hari ini hari Jum’at, kami tak bisa penuhi semua hasrat. Banyak tempat yang tak bisa kami kunjungi, sebenarnya sayang sekali tapi apa boleh buat. Kami harus secepatnya kembali ke hotel dan bersiap-siap berangkat ke masjid untuk sholat Jum’at. Akan lebih sayang kalau sampai kesempatan ini terlewatkan karena kami hanya punya Jum’at sekali saja di Madinah untuk umroh Ramadhan ini. Belum juga jam sebelas tapi matahari sudah mulai unjuk keperkasaannya. Sinarnya benar-benar menyengat pedih menusuk kulit dan membuat udara yang kami hirup semakin kering. Bernafas terasa panas dan pandangan ke segala penjuru begitu menyilaukan. Jadi agak bergayalah ya kalau kami memakai kacamata hitam yang dibeli ditoko pojokan hotel. Padahal sumpek juga rasanya karena gak biasa makai, pandangan kok rasanya terbatas gitu. Ndeso ya? Biar aja.

Begitu kendaraan dihentikan di depan hotel, kami langsung turun dan masuk lobby. Kok ternyata keok juga ya, padahal cuma sebentar jalan-jalannya dan ziarahnya juga nggak kemana-mana, nggak jalan-jalan yang gimana gitu. Malah kami lebih banyak duduk di mobil. Apa mungkin karena udara yang begitu panas dan kondisi tubuh yang lagi puasa ya? Tapi yang terlihat paling lelah diantara kami sepertinya Bapak. Saat mengikuti ziarahpun sepertinya kurang semangat, kurang tertarik melihat pemandangan sekitar, malah sempat tertidur. Apa mungkin karena pemandangannya masih sama seperti tahun lalu saat Bapak berkunjung ya atau mungkin juga karena kecapekan perjalanan sebelumnya. Ah, nggak tahulah, yang tahu keadaannya ya Bapak sendiri, kami-kami kan hanya melihat fisiknya saja. Tapi yang jelas kondisi kesehatan Bapak memang kudu terus dipantau sejak dari tanah air, ya makannya, ya aktifitas kesehariannya, ya minum obatnya. Tapi ya dasar Bapak, semua nggak diindahkan, heheheh... maaf ya Pak. Dipantang makan sate umpamanya, malah hampir tiap hari makan sate, iya kan Pak? Hayo ngaku... Katanya, makanan sing paling enak ki yo sate. Disuruh ngurangin gula, ee.. gayanya dimeja makan ya disediain segelas teh tawar, tapi sampai siang seringnya masih utuh. Lha minumnya apa? Ya air kulkas dikasih sirup nu atau bikin es teh manis sendiri. Hebat kan? Dibilangin kalau makan porsinya jangan banyak-banyak ya Pak, wee... malah suka nambah dua tiga kali. Haiyah Bapak... Bapak! Kok nggak bisa diet gini... Gawat!

Nah, sampai juga akhirnya di kamar, bisa selonjoran sebentar. AC dipasang kencang biar cepat dingin ruangannya, biar keringat dan gerahnya cepat hilang, biar bisa cepat-cepat mandi dan siap-siap berangkat ke masjid. Saat kami masih sedang santai-santainya, mungkin masih sekitar jam sebelas, pintu kamar diketuk. Ternyata suamiku yang menempati kamar sebelah. Ada apa ini kok sudah rapi? Katanya mau berangkat ke masjid lebih awal biar bisa masuk masjid. Jum’atan pasti masjidnya full jamaah, pasti susah masuknya. Penduduk sekitar yang laki-laki pasti juga akan pergi Jum’atan ke masjid. Kulihat diluar tak ada siapa-siapa, lha ini mau berangkatnya sama siapa, mau berangkat sendiri? Katanya sama Uul saja, iparku. Lhoh sama Uul saja, hanya berdua, lha Bapak kok ditinggal, kok nggak sekalian diajak bareng ke masjidnya. Katanya lagi, Bapak masih istirahat dikamar, masih tidur, kelihatannya capek sekali, jadi nggak berani membangunkan. Oooo... Ya sudah, nanti disamperin saja kalau kami berangkat.

Hampir jam 12.00, kami (aku dan Ibu) sudah siap berangkat ke masjid, sedang Atik dan bungsuku tetap dikamar, mereka tak ikut ke masjid. Kami ingat harus mampir dulu ke kamar Bapak, siapa tahu Bapak belum berangkat jadi bisa berangkat bareng atau malah masih tidur. Lha kalau ini ya harus dibangunkan, wajib dibangunkan ini. Laki-laki kan harus jum’atan wong nggak ada alasan apa-apa. Kami ketuk kamarnya dan kami panggil, tak ada jawaban. Kami ketuk-ketuk lagi agak keras, tetap tak ada jawaban. Kutempelkan telinga dipintu, tak ada suara apa-apa di dalam yang bisa kudengar, tak ada suara shower atau gemericik air di kamar mandi. Sepi sekali, hanya suara AC. Bapak ada dimana ya? Masih dikamar apa sudah berangkat ya. Kalau melihat kondisi Bapak tadi sepulang dari ziarah, mungkin Bapak masih dikamar dan mungkin masih tidur, tapi kok diketuk-ketuk pintunya nggak ada jawaban. Kalau sudah berangkat ke masjid kok nggak bilang-bilang atau nawari berangkat bareng. Semakin keras kami mengetuknya, lebih sering dan berkali-kali. Tetap saja tak ada jawaban. Jangan-jangan… ah, kami tak mampu membayangkan kalau Bapak pingsan didalam. Kucoba turun ke lobby dan menanyakan apa kunci kamar Bapak dititipkan di meja resepsionis, ternyata tidak. Masak kuncinya dibawa ke masjid, biasanya kan dititipkan di resepsionis. Kucoba menerangkan ke pegawai resepsionis bahwa kemungkinan Bapak masih di dalam kamar, kuminta tolong membukakan kamarnya takut terjadi sesuatu dengan Bapak. Weh, tahu tidak.. reaksinya biasa-biasa saja, kok bisa ya... Hei! Aku ketakutan ini, ada apa dengan Bapakku di kamar. Dia hanya bilang kuncinya tidak ada. Iya-iya, kuncinya tidak ada, aku tahu, barangkali aja kuncinya masih didalam kamar bersama Bapakku. Apa nggak ada kunci serepnya? Tolong dong!

Sementara itu seorang pegawai lain datang tapi sepertinya sedang tak tugas jaga karena kulihat sajadah tersampir di pundaknya dan sepertinya juga terburu-buru mau berangkat Jum’atan. Mereka ngobrol sebentar lalu pergi. Sebentar kemudian ada lagi yang datang juga membawa sajadah, ini juga mau pergi ke masjid. Mereka ngobrol sebentar dan pergi, sedang pegawai yang kutanyai tadi tetap diam diruang resepsionis tak melakukan apa-apa. Ini gimana sih kok diam saja. Kutanya lagi bisa nggak buka kamar Bapakku. Dijawabnya kuncinya sedang diambil. Diambil? Siapa yang ngambil? Orang yang tadi ngobrol dan barusan pergi apa orang yang pertama kulihat ngobrol lalu pergi? Weh, emang ngambil kuncinya dimana? Diluar bangunan hotel ini? Dimana? Penjaga resepsionis lalu kuminta meneleponkan ke kamar Bapak dengan telepon yang ada di meja resepsionis, dia memencet beberapa nomor lalu diserahkan padaku gagang telponnya. Apa ini, nada telponnya kok nada tergantung. Kuberikan gagang telponnya dan kusuruh dengerin. Kuminta sekali lagi ditelponkan, lalu pegawai itu kembali memencet beberapa nomor. Nadanya masih sama, nada telpon tergantung. Kubilang tidak bisa dihubungi lewat telephone, trus gimana? Dia hanya menggeleng dan mengangkat bahu. Waduh, kenapa ini Bapak? Apa jangan-jangan tadi Bapak merasa sakit trus mencoba menelpon ke kamar kami tapi tidak kuat, terus terjatuh. Ya Allah mudah-mudah tidak terjadi apa-apa dengan Bapak.

Aku kembali ke lantai sepuluh dengan lift, tentu saja dengan lift kalau naik tangga bisa-bisa aku malah sudah KO duluan. Tujuannya kekamar Bapak, cepat.. cepat.. cepat!! Kulihat Ibu masih duduk di kursi diluar kamar Bapak. Kujelaskan kalau pegawai hotelnya diam saja nggak ngapa-ngapain, katanya lagi diambilkan kuncinya tapi nggak jelas diambilkan beneran apa tidak. Lalu kukatakan pada Ibu kalau telpon di kamar Bapak kondisinya tergantung, Ibu jadi panik. Gimana dong kalau Bapak masih di dalam kamar dan jatuh, apalagi kalau sampai pingsan. Jadi ingat pengalaman-pengalaman sebelumnya. Belakangan ini kami memang sangat khawatir dengan kondisi Bapak karena Bapak pernah mengalami serangan stroke 2 kali. Kami ketuk-ketuk lagi dengan ketukan lebih keras dari sebelumnya. Tetap tak ada jawaban dari dalam, tak ada suara sedikitpun yang terdengar. Apa yang harus kami lakukan? Pengennya mau mendobrak pintu.. tapi nggak mungkin, tenaga nggak ada dan lagi nanti malah jadi masalah dengan fihak hotel. Sebaiknya kembali lagi ke lobby, sekali lagi minta tolong dibukakan kamarnya, kami benar-benar takut. Sekali lagi kami jelaskan kondisinya, tapi reaksi pegawai hotel tetap biasa saja, seperti tak terjadi apa-apa, tak juga memahami kepanikan kami. Ergh...!!! menjengkelkan sekali. Dari tadi yang dibilang cuma kunci tidak ada, kunci tidak ada. Iya-iya kuncinya tidak ada di resepsionis, tapi apa tidak bisa melakukan yang lain, yang lebih ekstrim, mendobrak pintu atau apa gitu. Jangan diam saja! Ibu terus menjelaskan bahwa yang di dalam kamar itu suaminya dan kemungkinan sakit ada karena kondisi Bapak memang mengkhawatirkan. Pegawai hotel tetap tak berbuat apa-apa, memang sepertinya tak mau membukakan ini. Ibu lalu bilang, mungkin haram perempuan masuk ke kamar laki-laki. Iya, aku ingat, tadi pegawai hotel juga bilang “haram-haram” gitu, cuma nggak faham maksudnya. Jadi mungkin benar yang dibilang Ibu. Mungkin juga mereka takut nanti ada kesalahan kalau membuka kamar Bapak terus ada barang yang hilang. Pasti fihak hotel yang akan disalahkan.

Lama kami menunggu, tetap tak jelas juga mau dibukakan apa tidak pintu kamar Bapak. Kalau kami kembali ke kamar Bapak lagi dan ketuk-ketuk lagi yang lebih keras juga tak mungkin, tadi sudah kami lakukan dengan ketukan yang sangat keras. Kami diam saja di lobby, tak melakukan apa-apa, hanya menanti dan berharap pegawai hotel ini beranjak dari ruang resepsionis lalu mengerjakan sesuatu seperti keinginan kami atau kunci cadangan seperti yang dikatakan segera datang. Hallah... kok sepertinya ajaib.

Keadaan hotel sudah sepi, sepertinya penghuninya sudah pada berangkat ke masjid. Tidak tahu lagi apa yang harus diperbuat, sedang orang-orang diluar terlihat sedang berjalan terburu-buru kearah masjid. Pasti sebentar lagi adzan. Benar juga, adzanpun berkumandang tanda masuk waktu sholat jum’at. Ya sudah, pasrah saja pada Allah, berdoa dan berharap semoga Bapak sudah berangkat ke Masjid. Akhirnya kami putuskan untuk berangkat saja ke Masjid. Sepanjang jalan menuju masjid mulut ini terus berdoa untuk keselamatan Bapak. Bapak, semoga engkau baik-baik saja.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar