7 Oktober 2011

catatan perjalanan umroh Ramadhan kami-14

Balik lagi ke seberang


Setengah hari lebih kami (aku dan bungsuku) menghabiskan waktu di dalam masjid. Dari menjelang subuh hingga lewat dhuhur. Ngapain aja di masjid? Banyak yang bisa dikerjakan. Selain banyak-banyak dzikir, kami bisa mengerjakan sholat sunah, ngaji, merenung, nulis cerita sampai mengawasi berbagai polah jamaah yang ada. Eh ada lagi ding... bisa tiduran juga. Tadinya sih punya rencana mau pegang Ka’bah bertiga sama suami tapi gagal gara-gara tak ketemu saat di lampu hijau. Mau berusaha pegang Ka’bah sendiri kok takut dan sepertinya nggak mungkin karena melihat jamaah yang sedang towaf banyak sekali. Mau duduk-duduk saja di dalam masjid pasti bungsuku bosan, sebentar saja pasti sudah minta balik ke hotel. Bagaimana kalau putar-putar, melihat-lihat seluruh penjuru dalamnya masjid sambil foto-fotoan, pasti dia mau dia kan suka narsis di depan kamera. Benar saja, akhirnya kami tetap di dalam masjid hingga tak terasa ternyata matahari sudah tinggi. Mau balik ke hotel tanggung, sebentar lagi masuk dhuhur. Bolak balik hotel masjid capek di jalan, belum lagi desak-desakannya dan susah lagi cari tempat sholatnya. Makanya mumpung bungsuku masih mau berlama-lama di dalam masjid dan mumpung masih banyak tempat kosong, cepat-cepat kami cari tempat. Nah sekarang mau duduk selonjoran bisa, mau rebahan juga masih bisa. Tapi tunggu lebih lama lagi yah, apa masih bisa selonjoran?

Alhamdulillah kami bisa menyelesaikan sholat dhuhur di dalam masjid walau agak berhimpit dengan sesama jamaah, tapi masih agak lumayanlah dibanding sholat subuh tadi. Terus ngapain ya enaknya? Tetap berdiam di masjid? Iya tapi sebentar saja, cukup berdzikir dan berdoa. Kalau lebih lama lagi bungsuku bisa cemberut dan nggak mau diajak lagi besok, padahal inginnya setiap subuh bisa sholat di masjid dan berlanjut sampai dhuha. Oke dik kita balik ke hotel sekarang.

Posisi kami sekarang berseberangan dengan letak hotel. Kami tahun persis dimana letak hotel dan dimana harus mengambil pintu yang harus dilewati. Sebenarnya kalau mau cepat bisa saja menyeberang masjid lewat pelataran Ka’bah, tapi mau ke pelataran Ka’bah juga kudu nyari jalannya lagian suasana pelataran Ka’bah juga padat, susah dilewati, bisa nggak keluar-keluar. Ya sudah, kami akhirnya lewat dalam masjid saja menyusuri tiang-tiang penyangga dan melewati jamaah yang ada. Suasana yang penuh di area lantai satu ini membuat langkah kami kadang terhenti dan membelokkan arah, kadang juga harus memutar arah karena terjebak ternyata didepan menghadang shaf jamaah laki-laki. Ini terjadi berkali-kali sehingga kami merasa sudah berjalan jauh dan perkiraan sudah mendekati pintu yang ingin kami tuju, pintu yang biasa kami lalui yang paling dekat dengan hotel kami. Makanya begitu terlihat daerah lalu lintas keluar masuknya jamaah, kami langsung membelokkan arah menuju pintu. Sebenarnya nggak yakin-yakin amat sih dengan langkah kami ke arah pintu yang sedang kami tuju ini, tapi paling tidak sudah mendekati pintu yang kami maksudkan. Maka kami lanjutkan mendekat ke pintu. Dan memang iya, ternyata masih jauh dari yang kami kira. Tapi mau bagaimana lagi sudah kadung ada didepan pintu, mau masuk lagi berarti nambah langkah lagi, kapan sampai hotelnya? Memang butuh kecermatan mencari pintu keluar masjidil haram, salah mengambil pintu bisa jadi malah semakin jauh menuju penginapan.

Menyesali karena salah ngambil pintu keluar? Enggaklah, terus saja kami berjalan di halaman luar masjid. Sampai akhirnya hampir mendekati batas halaman masjid dengan jalan. Tiba-tiba seorang jamaah perempuan sudah renta mendekati kami. Berbicara dengan bahasa yang tak kami mengerti. Duh... ini orang mana ya? Tapi dari caranya bicara, walau tak mengerti maksudnya sepertinya dia minta bantuan untuk diantarkan ke satu tempat. Dipegangnya tanganku kuat-kuat, tak mau dilepaskan. Waduh! Gimana ini?

“Mina... Mina...”, Apa dia mau ke Mina? “Sofa... Marwa... Mina” Weh! Apa lagi ini? Dia mau sa’i apa mau ke Mina? Duh... puyeng! Tangannya tetap tak mau lepas dan sekarang aku ditarik-tariknya menuju ke masjid sambil terus berucap “Mina... Sofa... Marwa...”. Bungsuku bolak-balik menanyakan “Apa ma... mau apa dia?”, ya aku nggak mudeng maksudnya. Cuma waktu dihalaman luar daerah sa’i ada terowongan tulisannya Mina, apa mungkin dia mau ke penginapannya dan penginapannya didaerah patokannya Mina? Kuturuti saja apa yang dibilang tadi. Setelah sampai di daerah pintu masuk arah bukit Sofa, kubilang sambil tanganku menunjuk “Sofa... Marwa... Mina” dia mengulang “Sofa... Marwa... Mina...” berkali-kali. Kasihan melihatnya, mungkin dia terlepas dari rombongan dan tak tahu jalan pulang, ah... entahlah. Didepan pintu bukit Sofa ada tiga Askar sedang bertugas. Sebaiknya kuserahkan pada mereka, mungkin mereka tahu bahasanya. Semoga saja mereka mengerti apa yang dimaksud jamaah perempuan renta itu dan segera memberi pertolongan.

Sekarang tinggal aku dan bungsuku di halaman luar masjidil haram, arahnya di daerah sa’i. Kemana kaki ini akan melangkah? Masuk masjid untuk mempersingkat jalan ke hotel tapi harus melewati jamaah yang mungkin menghalangi langkah kami atau lewat luar masjid saja. Secara posisi kami sekarang sama dengan waktu kami mau keluar masjid tadi, berseberangan dengan hotel.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar