10 Oktober 2011

catatan perjalanan umroh Ramadhan kami -16

Ke Ka’bah yuk...


Hari ini Selasa 23 Agustus 2011. Kami makan sahur bersama di ruang makan hotel yang letaknya satu lantai dibawah lobby hotel. Kalau mau cepat sampai ke lantai M biasanya kami turun dulu ke lobby baru melanjutkan turun lewat tangga. Mungkin karena jarang yang menggunakan jasa lift ke lantai M jadi lift ini suka ngadat kalau kita pencet M, hehehhe... gak lah!. Nggak masalah sih turun satu lantai lewat tangga, toh cuma lima belas sampai dua puluh anak tangga. Paling keringatan.

Kami harus makan kalau mau punya tenaga, jangan sampai asupan kurang dari yang dibutuhkan. Hehehe... teorinya memang oke, tapi kadang mulut ini nggak mau diajak kompromi. Begitu melihat menu yang disajikan tak sesuai harapan langsung deh menurunkan selera makan, alhasil makan jadi ogah-ogahan. Wah, ini nggak boleh dituruti, apapun yang disajikan sebaiknya tetap dimakan. Jangan sampai nanti siang lemes gara-gara nggak mood makan. Doping vitamin itu pasti, untungnya ya kalau punya adik yang punya apotik, obat-obatan dia yang nyiapin.

Diruang makan inilah saatnya ketemu dengan semuanya, baik saat buka puasa maupun pas makan sahur. Kesempatan yang baik untuk berbagi cerita, berbagi informasi dan membuat rencana. Disinilah lalu pembicaraan mengenai rencana pegang ka’bah sesi ke dua terluncur setelah rencana pertama gagal. “Habis subuh persis langsung ketemu di lampu hijau ya”, “oke”

Usai sahur kami langsung menuju masjid. Masih seperti hari kemarin suasananya, malah rasanya semakin hari semakin padat saja. Alhamdulillah kami sampai juga di halaman masjid. Tapi karena aku dan bungsuku punya rencana mau pegang ka’bah selepas subuh, sedang Ibu dan Atik tidak, maka kami berpisah di halaman masjid.

Selepas subuh aku dan bungsuku segera meranjak dan menuju ke lampu hijau. Singkat cerita, kami sudah sampai di lampu hijau. Mencari satu orang ganteng yang tadi jajian mau ketemu di lampu hijau ini. Woih! Kok ya susah ya mencari diantara begitu banyaknya orang yang lalu lalang. Tempatnya sudah benar, tapi ya bagaimana lagi, wong tempatnya juga luas. Lagian hampir semua mengenakan pakaian berwarna putih. Tapi untungnya kami berdua (aku dan bungsuku) memakai mukena dengan bordir bunga besar-besar, jadi mudah dikenali.

Kami segera turun kelokasi, ke pelataran halaman ka’bah yang saat ini sudah lumayan banyak yang tawaf. Kalau hanya turun terus pegang ka’bah saja ya nggak lucu, jadi kami pagi ini berniat selain pegang ka’bah juga akan towaf sunah. Untuk itu kami meyakinkan kalau diantara kami masih punya wudhu karena syarat melaksanakan towaf adalah suci dari hadast. Lalu kami niatkan untuk tawaf sunah, kami berjalan mengikuti arus orang-orang yang seang towaf sambil berusaha lebih masuk mendekat ke ka’bah. Semoga Allah memberi kemudahan dan kelancaran kami menunaikan niat suci ini.

Terbentur pada banyaknya jamaah yang sedang bertowaf hingga kami harus berkali-kali terdorong keluar. Tapi kami tetap berusaha dan terus berusaha. Barulah pada putaran ke tiga kami bisa mendekat dan memegang ka’bah. Alhamdulillahirobbil’alamin. Bertiga kami terus berjalan merapat ke ka’bah sambil terus berusaha tetap menempelkan tangan ke kiswah dan melantunkan doa. Keadaan ini tak berlanjut karena sampai di rukun yamani kami harus merelakan melepas tangan dan agak menjauh dari ka’bah karena disini macet. Disini jalurnya orang-orang yang mulai mengantri dan berdesak-desakan ke arah hajar aswad, disinilah orang berusaha dengan sekuat daya untuk bisa sampai di hajar aswad dan menciumnya. Sementara kami masih diputaran ke tiga, masih empat putaran lagi. Setelah melewati hajar aswad dan multazam kami baru bisa merapat lagi. Dari Hijir Ismail kami terus merapat hingga bisa memegang ka’bah lagi, ini berulang hingga putaran ketujuh.

Selesailah sudah towaf sunah kami dan kesampaian pegang ka’bah juga. Tapi keinginan lain terbersit, bagaimana kalau kami bisa ke multazam dan memegangnya syukur-syukur bisa ke hajar aswad dan menciumnya. Kami bertiga terus berusaha mendekati multazam diantara himpitan badan-badan yang besar dan tangan-tangan yang kekar. Terdesak dari depan, kanan dan kiri, tapi tidak dari belakang karena posisiku sekarang ada didepan kemudian bungsuku baru suamiku yang berusaha melindungi kami berdua dari belakang. Bagaimanapun ini usaha yang sangat keras. Kami terus berusaha dan berdoa. Terpental setelah sampai didepan adalah biasa karena semua orang berusaha mendekat dari berbagai arah.

Alhamdulillah, akhirnya tangan ini sampai juga menyentuh multazam sembari kaki naik ke tanjakan. Kalau nggak naik mana nyampai nyentuh multazamnya. Multazamnya terlalu tinggi untuk digapai. Segala doa dan harap kami panjatkan kehadirat ilahi. Bungsuku menyusul menyentuhnya “Ayo berdoa dik, berdoa yang banyak” dilanjutkan suamiku. Alhamdulillah kami bisa menyentuh semua. Kini giliran kami ke hajar aswad. Semoga Allah memberi kemudahan pada kami.

Kami terus berusaha maju dan bertahan dari dorongan dan himpitan berbagai arah, depan dan samping kanan kiri. Kali ini juga dari arah belakang. Berat sekali perjuangan yang kami butuhkan, besar sekali tenaga yang harus kami kerahkan. Himpitan dan dorongan membuat kami susah bergerak, suhu disekitar jadi begitu panas dan menyesakkan hingga keringat bercucuran deras sekali. Mengambil nafas saja susah sekali, hingga ingin rasanya muntah. Tangan ini sudah menyentuh bingkai hajar aswad, tinggal selangkah lagi. Kalau Allah berkehendak dan memberi kemudahan setelah orang yang satu itu selesai mencium hajar aswad, aku bisa menggantikan tempatnya. Tapi rupanya skenario perjalanan ke hajar aswad berkata lain. Tiba-tiba orang yang keluar dari hajar aswad ini mundur membalik kearahku, hingga aku ikut terbalik dan bungsuku yang ada dibelakangku persis langsung menjerit. “Ada apa?” Ternyata dia ikut terbalik. Kulihat air matanya disela isak tangisnya. “Pa, sudah! Cukup sampai sini saja”, “Kenapa?”, “Alma tidak kuat, mundur saja, aku juga mau muntah”. Kami lalu berusaha mundur, mundurpun juga butuh perjuangan.

Kini kami ditempat yang sudah lebih longgar, ditepi tembok Hijir Ismail, kami terus berjalan hingga kami akhirnya masuk ke dalamnya. Keadaan juga berdesak-desakan disini tapi tak separah di hajar aswad. Kami mencari tempat agar bisa melaksanakan sholat, kami masuk lebih dalam dan akhirnya nemu juga tempatnya. Saat kami sedang sholat ada yang berteriak-teriak entah apa yang diteriakinya. Yang terasa kemudian suasana di dalam Hijir Ismail sepi. Aku tetap melanjutkan sholat, sekarang keadaan begitu lengang disekitarku. Aku bisa mengerjakan sholat dengan tenang dan berdoa di sujut terakhir lebih lama. Saat salam dan pandangan mengarah ke kanan lalu kekiri, baru terlihat hanya tinggal aku dan beberapa orang yang baru saja menyelesaikan sholatnya. Ternyata semua disuruh keluar karena Hijir Ismailnya mau dibersihkan. Oooo....

Masih ada satu lagi yang harus kami kerjakan, sholat di belakang Makam Ibrahim. Segera kami keluar dari Hijir Ismail dan menuju ke Makam Ibrahim. Tunai sudah apa yang kami kerjakan hari ini. Walau menguras tenaga, tapi kami bisa tersenyum setelah melaluinya. Walau tak bisa mencium hajar Aswad, setidaknya kami sudah berusaha sekuat tenaga.

Kini saatnya istirahat sebelum balik ke hotel. Foto-fotoan dulu ah...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar